Jumat, 13 Agustus 2010

PENCEMARAN LINGKUNGAN ANCAMAN MASA DEPAN BALI

PENCEMARAN LINGKUNGAN ANCAMAN MASA DEPAN BALI

Ketut Gede Dharma Putra*
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran
Email: kgdharmap@mipa.unud.ac.id

I. Pendahuluan

Pulau Bali yang dikenal sebagai salah satu “pulau terindah di dunia” saat ini menghadapi ancaman pencemaran lingkungan hidup yang parah. Hal ini bisa dilihat secara kasat mata dari semakin banyaknya sampah yang berserakan, terutama di kawasan pemukiman padat perkotaan serta bau yang menyengat dari air selokan yang buntu akibat tergenang cukup lama tanpa ada pengelolaan. Beberapa hasil penelitian tentang kualitas air (sungai dan laut), khususnya di Kawasan Teluk Benoa, menunjukan tingkat pencemaran yang tinggi. Di samping itu, di beberapa kawasan padat lalu lintas, tingkat pencemaran udara semakin bertambah setiap tahun. Tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi sangat mengkhawatirkan apabila dikaitkan dengan ketergantungan ekonomi masyarakat Bali pada pariwisata. Bila di masa yang akan datang polutan yang masuk ke lingkungan sudah jauh melebihi kemampuan daya dukung lingkungan Bali, maka pulau yang dikenal sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia ini akan ditinggalkan. Pada saatnya nanti, masa depan Bali benar-benar sangat kritis apabila tidak dilakukan langkah-langkah penyelamatan yang terpadu dan tepat sasaran.
Salah satu upaya penyelamatan masa depan Bali dari ancaman kerusakan lingkungan yang semakin parah adalah dicanangkannya Program Bali Clean and Green. Mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih merupakan sebuah gagasan yang cerdas. Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Sorga, Pulau Dewata, dan berbagai julukan indah lainnya tentu harus diimbangi kenyataan bahwa memang Bali adalah pulau yang indah, memiliki aura kesucian yang tinggi, bersih, aman, dan nyaman. Apakah program tersebut akan tepat sasaran, marilah kita lihat hasilnya nanti. Tapi dukungan semua pihak memang sangat diperlukan dalam menyelamatkan masa depan Bali ini.

2. Permasalahan Lingkungan Bali
Secara umum, permasalahan lingkungan hidup yang menjadi tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah terkait dengan potensi sumber daya alam yang semakin kritis, seperti keberadaan kawasan hutan di Bali yang belum mencapai luas yang ideal dan kondisi yang optimal. Luas lahan kritis di Bali semakin bertambah akibat perubahan alam dan aktivitas manusia. Lahan hijau semakin berkurang akibat desakan kebutuhan terhadap pembangunan pemukiman , akomodasi pariwisata, sarana dan prasarana infrastruktur dan lain lain. Secara kuantitas, potensi air bersih semakin berkurang setiap tahun, karena berkurangnya sumber air baku yang disebabkan oleh mengecilnya debit dan menurunnya kualitas air oleh adanya pencemaran. Berkurangnya cadangan air tanah diakibatkan oleh pengambilan yang melampaui kemampuannya, sehingga potensi air tanah menjadi menurun. Selain itu, kawasan terbuka hijau semakin hari semakin mengecil yang diikuti alih fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun. Hal ini banyak dijumpai di kawasan yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan pariwisata, pada daerah-daerah yang padat permukiman, atau pada jalur sepanjang jalan baru. Bahkan intrusi air laut sudah sudah dijumpai pada air tanah pantai di kawasan pariwisata Sanur, Kuta dan sekitarnya. Sedangkan pencemaran air permukaan telah pula terjadi pada sungai-sungai yang terutama berada di Kota Denpasar dan Badung.Tentu sangat tidak mungkin mengharapkan terjadinya peningkatan kawasan hijau yang subur di suatu kawasan apabila tidak tersedia cadangan air yang memadai. Selain itu, bertambahnya kawasan pantai yang mengalami abrasi merupakan masalah lingkungan yang sangat serius, karena telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil akibat hilangnya lahan-lahan penduduk serta rusaknya fasilitas umum.Permasalahan ketersediaan air ini merupakan tantang terbesar Program Bali Hijau, karena tidak mungkin tumbuhan dapat hidup dengan baik tanpa ada persediaan air yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah dan para pihak terkait benar-benar harus serius menangani permasalahan air ini apabila ingin program mewujudkan Bali Hijau tidak hanya program wacana.
Kedua, tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi yang Bersih berasal dari perilaku masyarakat dan aktivitas jasa/industri berkaitan dengan produksi sampah dan limbah. Masalah sampah dan limbah dijumpai terutama pada daerah-daerah yang mempunyai laju pembangunan yang cukup pesat, seperti Kota Denpasar dan Badung saat ini telah menjadi momok yang menakutkan. Memang masalah ini selalu akan berkaitan dengan jumlah dan aktivitas penduduknya, karena makin besar jumlah penduduk dan aktivitasnya makin besar pula jumlah sampah dan limbah yang dihasilkan. Tata ruang perkotaan yang mengabaikan asas keterpaduan antar sektor menimbulkan konflik dalam pengendalian masalah yang terjadi setelah adanya kegiatan pembangunan. Bila tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang terpadu, khususnya dari aspek pengendalian dan penegakan hukum yang konsisten, maka masalah sampah dan limbah ini akan menjadi ancaman serius terhadap masa depan Bali. Kerbersihan udara Bali saat ini juga semakin terusik dengan semakin banyaknya polutan yang masuk ke dalam udara ambien. Akibat tidak tersedianya sistem transportasi publik yang memadai, sehingga memicu peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor berdampak pada peningkatan pencemaran udara dan kebisingan. Penggunaan bahan bakar minyak (HSD/MFO) pada pembangkit listrik di Bali memberikan kontribusi terhadap perubahan kualitas lingkungan di sekitarnya seperti pencemaran air, udara, kebisingan dan getaran.
Ketiga, tantangan Program Bali Clean and Green juga berasal dari aspek sosial masyarakat Bali. Semakin bertambahnya penduduk pendatang yang bermukim di kawasan perkotaan yang padat serta masih ditemukannya penduduk miskin di Bali akan berkaitan dengan permasalahan lingkungan seperti perambahan hutan, pelanggaran tata ruang wilayah, pemukiman kumuh maupun masalah sanitasi yang buruk. Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan yang rendah, terutama pada aspek perizinan usaha, korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki kaitan dengan sikap apatisme masyarakat Bali terhadap program-program pembangunan.Di samping itu, sikap mau menang sendiri, arogran, dan mementingkan diri sendiri, kelompok dan golongan akan mendorong tindakan yang mengabaikan rasa kesetiakawanan sosial,gotong royong, dan empati yang sangat penting dalam pengendalian terhadap permasalahan lingkungan.
Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Bali tentunya memerlukan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang konsisten dan terpadu. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan partisipasi para pihak terkait dan perubahan perilaku masyarakat dalam memandang laju proses pembangunan. Harapan agar konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyeimbangkan aspek ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi harapan bersama dalam mewujudkan Bali yang maju dan sejahtera.

3. Peran Para Pihak dalam Mengatasi Ancaman Pencemaran Lingkungan
Pembangunan di suatu kawasan dengan segala aktivitasnya akan menyebabkan perkembangan wilayah yang menimbulkan berbagai implikasi. Selain menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang mengakibatkan terciptanya lapangan kerja baru, perkembangan wilayah dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Pemekaran dan pengembangan kawasan cenderung terus membengkak dan menimbulkan fenomena pembangunan fisik struktur menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan ruang terbuka hijau menuju arah minimal, terjadi kecenderungan perubahan wajah lingkungan alam. Perubahan bentang alam yang terjadi akibat pembangunan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan dalam waktu yang lama.
Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali perlu dihadapi dengan ketersediaan program pengendalian yang terpadu dan konsisten yang diimbangi dengan kecukupan dukungan sumber daya. Keberadaan tiga pilar utama yakni pemerintah, sektor industri/bisnis, dan masyarakat perlu bersatu padu mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan ini. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang. Sebagai regulator dan eksekutor pembangunan, peran pemerintah adalah yang utama dalam menghancurkan ancaman yang ada. Sementara itu, sektor industri sebagai kelompok bisnis yang melaksanakan kegiatan di bidang produksi dan jasa merupakan pilar pembangunan yang sangat strategis sebagai mitra pemerintah dan penyokong masyarakat. Peran masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan masa depan Bali dari ancaman pencemaran lingkungan.
Peran pemerintah dalam mengendalikan ancaman pencemaran lingkungan merupakan konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai dan mengamankan potensi sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan bersamaan dengan perangkat pendukungnya.
Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Fenomena peningkatan pencemaran lingkungan hidup merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan Bali. Peran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang sangat berpihak kepada pembangunan kepariwisataan, seperti kebijakan tentang kawasan pariwisata, didasari pada data empiris yang menunjukan pariwisata merupakan sektor pembangunan yang memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan perekonomian masyarakat. Pendapatan masyarakat Bali meningkat tajam sejak pariwisata mulai dikembangkan sebagai sektor unggulan yang diikuti dengan penurunan angka kemiskinan.
Wewenang dan tanggung jawab dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam peraturan perundangan dimiliki oleh pemerintah. Gubernur beserta bupati/walikota merupakan pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan tindakan-tindakan untuk pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup serta mengembangkan pendanaan guna terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Namun, keberpihakan dari para pejabat publik untuk melakukan kegiatan yang mampu mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup selalu terlambat dibandingkan dengan kebijakan untuk mendukung investasi. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah lebih banyak memberikan dukungan terhadap kegiatan investasi apabila dibandingkan dengan melakukan tugasnya dalam mengendalikan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Padahal, permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup berakibat langsung kepada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Peran fundamental pemerintah adalah memberikan pelayanan di bidang penyediaan sarana publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara, pemerintah dituntut untuk menyediakan kepentingan publik lainnya, seperti infrastruktur dan sarana perekonomian. Berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan hidup, peran pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah di bidang regulasi lingkungan hidup dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan warga negaranya. Untuk itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Upaya pemerintah Provinsi Bali dalam mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih perlu di dukung oleh suatu aturan hukum yang memadai dan diikuti dengan dukungan sumber daya dan anggaran yang memungkinkan dalam tuap tahun perbaikan kualitas lingkungan dapat terukur keberhasilannya.
Peran sektor industri dan jasa yang berkaitan dengan upaya pengendalian lingkungan hidup sangatlah besar melalui mekanisme pelaksanaan konsep green economy yang menekankan proses produksi yang ramah lingkungan. Sektor industri memberikan sumbangan pada perubahan struktur perekonomian Bali yang sebelumnya mengandalkan sektor pertanian. Sampai tahun 1980-an sektor pertanian masih menjadi primadona pembangunan berdasarkan kenyataan bahwa penyumbang terbesar bagi PDRB Bali berasal dari pertanian. Tahun 1983 sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Bali atas dasar harga konstan 1975 adalah 36,30 %, sedangkan sumbangan sektor perdagangan, restoran, dan hotel sebesar 13,90 %, sektor jasa-jasa (11,56 %), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,08%), dan sektor bangunan/konstruksi (6,72 %). Namun, sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri untuk mengubah struktur perekonomian yang berat sebelah pada sektor pertanian, peranan relatif dari sektor pertanian di Bali dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan. Pada periode 1969-1981, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB atas harga konstan 1975 telah mengalami penurunan dari 61,2 % menjadi 36,3%. Sumbangan dari empat sektor terbesar lainnya mengalami kenaikan selama periode tersebut, yakni sektor perdagangan, restoran dan perhotelan, naik dari 9,5 % menjadi 13,9 %, sektor jasa-jasa naik dari 11,7 % menjadi 15,6 %, sektor bangunan/konstruksi naik dari 5,4 % menjadi 6,7 %. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian Bali terus mengalami perubahan. Pada rentang tahun 1993 s.d. 1996 distribusi persentasi PDRB atas dasar harga konstan 1993 menunjukan peran sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebagai penyumbang terbesar, yakni berturut-turut dari tahun 1993 s.d. 1996 sebesar 29,28 %, 29,27 %, 30,27 %, dan 30,82 % sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan berturut-turut dari tahun 1993 s.d. 1996 sebesar 22,42 %, 21,26 %, 20,23 %, dan 19,45 %. Pada tahun 2006 pembangunan sektor pariwisata telah menjadi panglima dalam pembangunan perekonomian Bali. Pengembangan sektor pariwisata menyumbangkan PDRB sebanyak 63,0 % sehingga jauh meninggalkan sumbangan sektor pertanian sebesar 21,5 %. Pada sisi ini, apabila Bali ingin selamat dari ancaman permasalahan lingkungan, maka upaya untuk menerapkan strategi green economy perlu terus menerus diupayakan melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang mengedepankan produksi bersih dan ramah lingkungan.
Selain peran pemerintah dan dunia usaha/industri, peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat strategis dalam menyelamatkan masa depan Bali. Peran masyarakat dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup telah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Peran aktif masyarakat, khususnya dalam upaya mengelola sampah dan limbah yang dihasilkan berhubungan langsung dengan upaya mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan dengan cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan serta menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. Selain itu, masyarakat memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan sosial terhadap semua kegiatan yang berpotensi dalam menimbulkan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dengan segera menyampaikan informasi maupun melaporkan kegiatan tersebut. Namun, dalam kenyataannya terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup sebagian besar dilakukan oleh masyarakat yang seolah-olah tidak memikirkan keberlangsungan daya dukung lingkungan, sehingga kondisi tersebut sangat mengingkari hak sebagian masyarakat lainnya terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Partisipasi masyarakat meliputi suatu mekanisme yang melibatkan masyarakat dalam suatu program terpadu dan konsisten. Oleh karena itu, Program Bali Clean and Hreen harus melibatkan peranserta masyarakat mulai dari tahap identifikasi sampai implementasi dan evaluasi. Selanjutnya, masyarakat harus secara terus menerus diberikan informasi, dukungan dan penyertaan peran permodalan yang memadai agar semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kebersihan dan penyelamatan lingkungan dari ancaman kerusakan dan pencemaran semakin baik. Opini publik yang terbentuk dari beragam perspektif masyarakat terhadap suatu permasalahan dapat merupakan akal sehat (common sense) yang beredar di masyarakat dalam bentuk prasangka, kepentingan, dan keperluan ruang publisitas untuk dapat menjadi penentu perubahan. Apabila peran masyarakat ini diabaikan, akan menimbulkan perilaku apatisme dari masyarakat. Dalam beberapa kasus lingkungan hidup,apatisme masyarakat terhadap program pengelolaan lingkungan hidup ditunjukkan dengan berbagai bentuk, mulai dari sikap penolakan terhadap program yang direncanakan pemerintah hingga perilaku yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah dan limbah sembarangan ke lingkungan.
Pada umumnya, sikap penolakan masyarakat terhadap program pemerintah bermuara pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen aparatur pemerintah dalam menjalankan mekanisme kebijakan pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sikap penolakan masyarakat memiliki peran yang besar terhadap terhambatnya pelaksanaan program pembangunan. Untuk memperbaiki keadaan, perlu dilaksanakan kegiatan sosialisasi, penelitian, dan analisis akademis yang mendalam terhadap potensi keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan lingkungan hidup melalui mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, sehingga keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan lintas sektor dapat mencerminkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya. Dilihat dari peran masyarakat dalam mengawasi aktivitas yang berpotensi dalam mencemari lingkungan sudah dicantumkan dalam beberapa kebijakan di bidang lingkungan hidup, tetapi akibat belum optimalnya peran dan kemampuan masyarakat di bidang teknis pengawasan serta dukungan pengetahuan di bidang penegakan hukum lingkungan yang menyebabkan strategi pengendalian pencemaran lingkungan tersebut hanyalah bersifat formalitas. Terlebih lagi, belum adanya sistem informasi yang mampu memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk melaporkan kejadian pencemaran lingkungan hidup melalui saluran informasi yang ditanggapi secara cepat oleh aparat penegak hukum.
Lemahnya sistem informasi dan penegakan hukum terhadap permasalahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan kendala dalam pengendaliannya. Walaupun masyarakat misalnya memiliki komitmen yang besar untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup. Namun karena kondisi wilayah yang tidak memungkinkan serta desakan ekonomi yang mengabaikan kelestarian lingkungan mengakibatkan perhatian terhadap masalah lingkungan seperti program pengelolaan sampah dan limbah, tidak menjadi suatu program prioritas. Seharusnya, pemerintah menindak tegas setiap pelanggaran terhadap peraturan yang tidak memperbolehkan kegiatan pembuangan sampah dan limbah langsung ke lingkungan, tetapi hal itu tidak pernah dilaksanakan dengan serius. Kalau tetap seperti itu, masyarakat menjadi semakin apatis. Selain itu, masyarakat tidak tahu kepada siapa atau lembaga apa yang harus dilapori apabila menemukan kejadian pembuangan sampah yang mencemari lingkungan.
Upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup sudah dilakukan dengan memasukkan aturan-aturan tentang penanganan sampah dan limbah ke dalam awig-awig. Awig-awig pada beberapa desa adat telah menguraikan bahwa apabila ada seseorang yang melakukan perbuatan membuang kotoran, sampah, limbah, dan lain lain yang menyebabkan pencemaran lingkungan, akan dikenakan denda dengan melakukan upacara pecaruan yang bertempat di Pura Banjar. Ketentuan dalam awig-awig tersebut sudah diketahui oleh seluruh warga dan selalu disampaikan pada setiap pertemuan banjar. Hanya, kelemahan yang dirasakan adalah di bidang kegiatan pengawasan terhadap pelanggaran tersebut. Banyak pelanggaran yang terjadi yang tidak dapat diketahui, dilakukan oleh siapa dan tidak tepat waktu pembuangannya sehingga masih banyak sampah dan limbah yang begitu saja dibiarkan berserakan.

4. Strategi Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Strategi pengendalian pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti pendekatan kebijakan dan kelembagaan, teknologi, dan sosial ekonomi. Melalui penerapan aturan yang berkeadilan pelanggaran lingkungan dapat di kurangi secara bertahap. Hal ini akan dapat terjadi apabila aspek penegakan hukum lingkungan dijalankan secara konsisten. Selain itu, penerapan teknologi secara tepat dapat menurunkan produksi sampah dan limbah dari suatu proses produksi. Implementasi konsep green economy memungkinkan terjadinya keberlanjutan produksi ramah lingkungan karena pencitraan usaha menjadi lebih diterima oleh pasar.
Selain ketiga pendekatan di atas, pemahaman terhadap fenomena pencemaran lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari perilaku masyarakat yang mulai mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, pendekatan budaya yang berbasis pada perubahan perilaku masyarakat terkait pengelolaan sampah dan limbah yang dihasilkannya sangat berperan dalam mengurangi ancaman pencemaran lingkungan. Saat ini makin sedikit orang yang menghormati aliran sungai sebagai sumber kemakmuran, seperti yang tertuang dalam kitab suci. Mereka seenaknya saja membuang sampah ke sungai bahkan di dekat mata air. Dengan memberikan penjelasan tentang nilai-nilai kesucian air melalui kegiatan dharma wacana sebelum persembahyangan di pura dan menyiapkan sarana berupa tempat sampah yang memadai, maka akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang semakin menghargai kebersihan dan kesucian.
Program sosialisasi melalui kegiatan di tempat suci pada umumnya cukup efektif untuk mendidik masyarakat lebih mencintai lingkungan hidup. Hal ini dilihat dari ketertiban masyarakat yang bersembahyang di beberapa tempat suci/ pura yang menyampaikan pesan-pesan terkait pengelolaan sampah dan limbah sebagai bagian dari proses persembahyangan. Perubahan yang mendasar terjadi setelah beberapa kali ada kegiatan dharma wacana yang memasukkan aspek penghormatan terhadap lingkungan dengan melakukan kegiatan nyata, seperti kebersihan, pengolahan sampah, atau melakukan aktivitas penanaman pohon. Peran tokoh agama dan tokoh panutan sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau kecil dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan memiliki kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan kepercayaan mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan berbudaya.
Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan dalam hidup (Tri Hita Karana) sangat selaras dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Apabila didapatkan kemandirian dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup di Bali diyakini dapat membiayai potensi pencemaran lingkungan hidup yang terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, dapat dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Potensi kerusakan lingkungan di Bali akan sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah mengabaikan pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan ekonomi semata. Pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dapat meningkatkan apresiasi para pihak yang terlibat dalam program pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh sampah dan limbah yang semakin banyak diperlukan suatu strategi rekayasa budaya dengan mengimplemetasikan landasan filosofis pembangunan Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana secara konsisten dan terarah.
Strategi rekayasa budaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk menyelamatkan masa depan Bali dengan gerakan mengurangi timbunan sampah atau limbah secara konsisten dan berkelanjutan. Strategi tersebut dilakukan dengan mengimplementasikan melalui konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang), untuk setiap bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi (reduce) pemanfaatan sumber daya dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat diajak untuk dapat memanfaatan kembali (reuse) benda yang telah dikonsumsi, dan kalau memungkinkan melakukan upaya daur ulang (recycling) terhadap barang-barang yang telah dimanfaatkan. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, menarik, dan konsisten melalui program sosialisasi, pilot project, gerakan menyeluruh, serta tindakan nyata dengan memperbanyak keterlibatan intelektual dan tokoh masyarakat setempat dalam program pemberdayaan masyarakat. Strategi ini sangat selaras dengan upaya mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih.
Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan itu dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional, sehingga dapat dipahami secara universal.

Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan dan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia. Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Dengan demikian, kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas, dan kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Hal itu akan menyebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk

5. Kesimpulan
Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali adalah tantangan yang harus dihadapi secara bijak. Pemerintah dan para pihak terkait secara terpadu harus menyelesaikan permasalahan tersebut melalui program perlindungan dan pengelolaan lingkungan Bali. Tantangan yang harus diselesaiakan secara cepat dan terpadu meliputi masalah ketersediaan air, pemanfaatan energi ramah lingkungan, penyediaan transportasi publik yang nyaman dan aman serta manajemen transportasi yang terpadu, serta program pengelolaan sampah dan limbah yang menyeluruh. Disamping itu, upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga menghilangkan penduduk miskin akan sangat berperan dalam mengatasi pemukiman kumuh, sanitasi yang buruk serta kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Potensi Bali untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sangat besar melalui implementasi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya sejak lama. Upaya menumbuhkembangkan jadi diri masyarakat Bali yang positif memerlukan dukungan keteladanan dan program aksi yang secara nyata mampu mengurangi timbulan sampah dan limbah, meningkatkan ketersediaan air, penyiapan energi ramah lingkungan, ketersediaan sistem manajemen transportasi yang andal, murah dan nyaman, serta pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Bali skala dan niskala.

Daftar Pustaka

Dharma Putra, K.G.. 2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita Karana (THK). dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.
Dharma Putra,K.G..2010, Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata Bali.Denpasar: Penerbit PT Pustaka Manikgeni.
Greenpeace.2010. Energy Revolution A Sustainable World Energy Outlook.Amsterdam.
Kleden, I. 1997. Mencari Landasan Berpikir Yang mendukung Lingkungan Hidup dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Metzner, R. 2003. Pandangan Dunia Ekologis yang Sedang Muncul. dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Parining, N., Pitana, I.G., Dianta,I.M.P., Anom,I.P., Putra, K.G.D. 2003. Studi Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan. Denpasar: Bappeda Provinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.
Soemarwotto, O. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Kepada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suyoto, B. 2008. Fenomena Gerakan Mengolah Sampah. Jakarta: PT Prima Infosarana Media

Dr. Ketut Gede Dharma Putra,M.Sc. adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana, tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Denpasar Bali, e-mail: kgdharmap@mipa.unud.ac.id Tel/Fax.0361 467712, 08123970922.

DHARMA AGAMA DAN DHARMA NEGARA

DHARMA AGAMA DAN DHARMA NEGARA

Oleh
Ida Pedanda Gde Kt Sebali Tianyar Arimbawa

Dharma artinya agama, kebajikan, keadilan, kebenaran, bhudipekerti, moral, sradha/keyakinan, hukum, tugas/kewajiban, bakti dan kerja baik. Lawan dari dharma adalah adharma, peminpin wajib melawan adharma jika ingin rakyatnya memenangkan dharma. Dharma juga artinya sama dengan satya, hukum, kebenaran dan kewajiban yang harus dipegang teguh oleh seorang peminpin di dalam menjalankan swadharmanya. Dimana seorang peminpin berpikir kebenaran, berkata tentang kebenaran dan berprilaku berdasarkan kebenaran maka disana masyarakat akan mendapatkan pengayoman,kesejahtraan dan kedamaian.

Dharma juga berarti sabda Hyang Widhi karena itu dharma juga berarti peraturan, hukum, undang-undang, dalam kaitan ini dharma artinya mengatur tingkahlaku manusia untuk melaksanakan tugasnya yang digariskan dalam undang-undang. Tugas dan hak seseorang dalam undang-undang adalah sama-sama demi dharma. Karenannya dharma sama berarti keadilan,kebajikan, moral, perbuatan, dan kerja baik. Dharma mempunyai pengertian yang sangat luas dan dharma merupakan karakteristik agama Hindu yang tidak dapat dalam agama lain.

Sesuai maknanya Dharma artinya melindungi, menyangga, menjinjing dan memangku. Dimana peminpin menjalankan dharma maka rakyat akan dilindungi dari rasa takut, rakyat akan disangga kehidupannya, dibangun kesejahtraannya, rakyat akan diantarkan/dijinjing keluar dari kemiskinan dan kesamsaraan, rakyat akan dipangku menuju kedamaian. Karena dharma yang dijalankan oleh peminpin rakyatnya akan dlindungi oleh dharma, sebaliknya dimana peminpin melanggar dharma disana peminpin dan rakyat akan samsara.

Apabila seorang peminpin mendahulukan kepentingan pribadinya melampaui negara maka itu tandanya peminpin telah melenceng dari dharma sebagai seorang peminpin.
Jika peminpin berlindung dan menjalankan dharma maka seluruh rakyat akan terhindar oleh rasa takut.

Peminpin melaksanakan dharma secara bertahap melalui keagungan dharma itu sendiri/ dharma kerti, yakni melalui dharma karya, dharma kama, dharma karman, dharma kshetra,dharma dana, dharma daksina.

Bisma kepada Yudistira berkata : dengan menjalankan dharma maksudnya bagaimana peminpin menseimbangkan tugas-tugas kita dan hak-hak orang lain. Karena itu tetaplah jungjung tinggi dharmamu sebagai seorang peminpin anakku. Seorang peminpin yang dapat mengerti menjaga keseimbangan tugas dan hak-hak rakyat sajalah yang apat disebut telah menjalankan dharma negara dengan baik.
Perlu dingat ada dharma negara dan dharmaraja, dharmanegara adalah pengabdian kepada negara, ibu pertiwi dan bangsa. Dharmaraja tugas kewajiban sebagai seorang kepala negara (peminpin pemerintahan) menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa, menjaga hak-hak warga negaranya. Mensejahtrakan rakyat dibawah naungannya.
Dharmaraja harus mampu memenangkan keadilan dan kebenaran dari ketidak adilan dan kebohongan, memenangkan dharma dari adharma, memenangkan kebajikan dari kebatilan. Itulah dharmanegara yang diemban oleh seorang dharmaraja.
Berkaitan dengan dharmanegara hendaknya dipahani juga
- dharma karya; melakukan kerja dengan baik dan benar
- dharma-tattwa; memahami esensi hukun yang hakiki
- dharma-dharsana; pengetahuan filsafat tentang hukum
- dharma yudha; memperjuangkan kejujuran dan keadilan
- dharma-sabda; sidang untuk menegakan keadilan
- dharma-yadnya; mepersembahkan kerja sebagai sebuah yadnya secara iklas
- dharma-wijaya; menangnya keadilan dan kebajikan

dalam melaksanakan dharmanegara seorang peminpin ibarat matahari yang menyinari bumi, menghilangkan semua gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma memusnahkan segala macam dosa dan sesamsaraan raknyatnya.
Dharma itu merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya,orang yang tidak bimbang bahkan budinya tetap teguh untuk melaksanakan dharma maka orang itu akan sangat bahagia,diibaratkan sebagai air yang menggenangi tebu, tidak hanya tebu yang mendapatkan airnya tetapi tanaman disekitarnya juga dapat menikmatinya. Lagi pula mesti disemak-semak, dihutan, digunung,tempat berbahaya, dalam perang sekalipun dan segala tempat yang menimbulkan kesusahan tidak akan ada bahaya bagi orang yang melaksanakan dharma,karena perbuatan baiknya itulah yang melindungi.

Jadi jika dharma artinya kebenaran, hukum, kebajikan, maka negara artinya wilayah kekuasaan. Bila dharma adalah hukum maka negara adalah badannya, bila negara adalah badan maka dharma adalah jiwanya. Antara jiwa dan badan tidak bisa dipisahkan apabila menginginkan kehidupan yang bahagia dan sejahtra.

Sri Kresna bersabda: Manakala dharma hendak sirna, dan adharma merajalela, saat itu, wahai bharata, aku sendiri turun menjelma.

DHARMANEGARA :
KEWAJIBAN SEORANG PEMINPIN MENJALANKAN SWADHARMANYA DALAM MEMENANGKAN KEADILAN DAN KEBAIKAN MENUJU KESEJAHTERAAN BERSAMA.
DHARMA AGAMA KEWAJIBAN SEMUA UMAT UNTUK MELAKSANAKAN AJARAN AGAMANYA MELALUI CATUR MARGA; BHAKTI, KARMA, YOGA DAN JNANA. MENGENDALIKAN TRI KAYA PARISUDHA DALAM DIRINYA, WAJIB MENJALANKAN CATUR PURUSA ARTHA MENUJU JAGADHITA DAN MOKSA.

PERAN GANDA SUBAK DALAM MEWUJUDKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI BALI

PERAN GANDA SUBAK DALAM MEWUJUDKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI BALI

I Wayan Budiasa
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Jalan P.B. Sudirman, Denpasar 80232
Telp/Fax No: +62 361 223544
Email: wba_sosek_unud@yahoo.com


Pendahuluan

Subak adalah salah satu dari tiga pilar utama penopang kemasyuran Bali. Dua pilar yang tidak kalah penting adalah keberadaan desa adat yang sekarang dinamai desa pakraman dan keberadaan Agama Hindu. Agama Hindu telah menjadikan Bali dikenal sebagai Pulau Dewata, Kedua pilar, yaitu desa pakraman dan subak dilandasi oleh falsafah hidup Tri Hita Karana (THK) yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu adanya hubungan yang harmonis antara (a) manuasia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), (b) manusia dengan manusiannya, dan (c) manusia dengan alamnya serta dijiwai oleh Agama Hindu (Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 1995). Patut disadari, bahwa ketika salah satu atau lebih pilar penopang Bali itu runtuh, maka saat itu pula Bali akan kehilangan identitasnya.
Para pemerhati subak umumnya memandang sistem subak hanya dari dua aspek, yakni aspek sosial dan aspek teknis (Pitana 1993; Samudra 1993; Sushila 1993). Bahkan Geertz (Windia dkk, 2001) hanya memandang sistem subak dari aspek teknis saja, bahwa subak adalah suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber dan memiliki banyak saluran irigasi. Perda Propinsi Bali No. 2 Tahun 1972 mendefinisikan subak sebagai masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio-agraris-religius yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi pengusaha tanah dalam suatu daerah. Kanwil DPU Propinsi Bali (1989) mengemukan subak sebagai organisasi tradisional di Daerah Bali yang didasarkan pada Hukum Adat, serta bersifat otonom untuk mengatur organisasinya, dalam sutu kelompok wilayah hamparan yang bersumber pada sumber air yang sama dengan batas yang jelas. Sutawan dkk (1989) berdasarkan penelitian empiris mengemukakan bahwa subak adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), serta memiliki kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar. Selanjutnya, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali (1995) mendefinisikan subak sebagai adalah organisasi petani di Bali, yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang bersifat sosio-agraris, religius, ekonomis dan dinamis yang mempunyai wilayah tertentu dan kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumahtangganya sendiri.
Pertanian di Bali tidak terlepas dari keberadaan dan peran subak, baik yang menyangkut masalah pertanian di lahan sawah (subak lahan basah) maupun pertanian dilahan tegalan/kering (subak abian). Selanjutnya, subak lahan basah (sawah) di Bali identik dengan pertanian tanaman pangan, khususnya budidaya padi (Sutawan, 2009).


Paper ini disampaikan pada Semiloka “Mewujudkan Masa Depan Bali yang Lebih Baik” dalam Rangka Dies Natalis Universitas Udayana ke-48 Tahun 2010 Tanggal 3 Agustus 2010, Denpasar
Pertanian, terlebih-lebih pertanian tanaman pangan berfungsi untuk memproduksi pangan untuk menjaga ketahanan pangan. Sangat disadari, bahwa tanpa pangan manusia tak mungkin bertahan hidup, sehingga patut diakui pula selama manusia membutuhkan pangan selama itu pula pertanian tetap penting. Oleh sebab itu, membahas keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan Provinsi Bali tidak terlepas dari peran subak selama ini dan di masa yang akan datang. Dalam pembahasan ini yang dimaksud subak adalah subak pada lahan sawah.
Pertanian tanaman pangan di Bali berperan multi fungsi dan sangat strategis, yaitu sebagai pengahasil pangan, membuka kesempatan kerja, pelestarian sumberdaya alam dan budaya khususnya subak yang sangat dibutuhkan oleh industri pariwisata (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). Propinsi Bali dengan luas wilayah 5.632,86 Km2, yang terbagi kedalam 9 (sembilan) wilayah kabupaten/kota, memiliki sawah seluas 81.235 ha dengan produksi beras sebanyak 531.443,74 ton yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan sekitar 3.422.600 jiwa penduduk pada tahun 2007 (Budiasa dkk, 2009). SAKERNAS 2007 oleh BPS Provinsi Bali mencatat 36,03% tenaga kerja terserap di sektor pertanian (BPS Provinsi Bali, 2008)
Namun, pembangunan pertanian tanpa kecuali di Provinsi Bali juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan global seperti liberalisasi perdagangan, pemanasan global, dan komitmen negara-negara anggota PBB dalam mewujudkan Millennium Development Goals (MDGs). Fenomena internal mengindikasikan adanya penurunan minat generasi muda terhadap sektor pertanian dilihat dari rendahnya jumlah mahasiswa Fakultas Pertanian serta sedikitnya lulusan Fakultas Pertanian yang menekuni bidang keahliannya. Rata-rata petani sekarang berpendidikan rendah dan semakin lanjut usia, yang berdampak semakin menurunnya produktivitas tenaga kerja mereka. Disamping itu, di Bali telah terjadi alih fungsi lahan sawah ke non pertanian dari 85.776 ha pada tahun 2000 menjadi 81.144 ha pada tahun 2007 dengan rata-rata luas alih fungsi lahan lebih dari 660 ha per tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). Terlebih-lebih adanya fragmentasi lahan akibat sistem pembagian waris menyebabkan rata-rata skala usahatani mereka semakin kecil.
Studi diagnosis penguasaan lahan sawah di Kota Denpasar (Sedana dkk. 2003) me¬nunjukkan bahwa selama satu dasawarsa (1993 – 2003) telah terjadi penyusutan luas lahan sawah produktif sebanyak 49,71 persen, dari 5.753 ha pada tahun 1993 menjadi 2.888,8 ha pada akhir tahun 2002. Penyebab utama terjadinya pengurangan luas lahan sawah produktif tersebut adalah adanya land consolidation (LC) untuk pengadaan infrastruktur dan sarana pelayanan umum (public services), pengembangan pemukiman, serta perubahan lahan menjadi “lahan tidur” (lahan tidak produktif) akibat keterbatasan sumberdaya air atau terganggunya sarana dan prasarana jaringan irigasi sebagai penyedia air irigasi dan/atau terbatasnya sumberdaya manusia yang mau menjadi petani. Demikian pula, pada periode yang sama telah terjadi pengurangan jumlah subak dari 45 subak (berdasarkan Keputusan Wali Kotamadya No. 658 Tahun 1993) menjadi 41 subak.
Musnahnya beberapa subak dapat disebabkan oleh hilangnya satu atau lebih unsur sebagai penciri THK dalam sistem subak. Unsur-unsur yang dimaksud adalah hilangnya sistem fisik (lahan sawah, tata tanam, sarana dan prasarana jaringan irigasi) juga hilangnya sistem sosial akibat lahan sawah, status petani bahkan kepemilikan lahan berubah. Dalam hal terjadinya alih fungsi lahan sawah pada sistem subak maupun karena sawah bukan lagi dimiliki dan dikerjakan oleh umat Hindu sudah tentu akan berpengaruh besar terhadap eksistensi pura-pura subak serta penyelenggaraan sistem religius di dalamnya. Besar-kecilnya pengaruh tersebut tergantung pada seberapa banyak lahan yang telah beralih fungsi.
Berdasarkan uraian di atas, nampaknya keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan di Bali sangat tergantung pada keberadaan dan peran subak. Masalahnya adalah bagaimana meningkatkan peran subak agar mampu berperan ganda guna mewujudkan keberlanjutan pertanian di Provinsi Bali.


Konsep Pertanian Berkelanjutan

Secara operasional, SEARCA (1995) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai sistem usahatani yang dipandang secara holistic (holistic approach), secara ekonomi menguntungkan (economically viable), ramah lingkungan (environmentally sound), sesuai dengan budaya setempat serta dapat diterapkan oleh masyarakat (technically and culturally appropriate), dan secara sosial dapat diterima masyarakat (socially acceptable). Tujuan dari pertanian berkelanjutan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup. Hal ini dapat dicapai melalui: (a) pengembangan ekonomi, (b) peningkatan ketahanan pangan, (c) pengembangan dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, (d) kebebasan dan pemberdayaan petani, (e) jaminan stabilitas lingkungan (aman, bersih, seimbang dan terbarukan), dan (f) fokus pada tujuan-tujuan produktivitas jangka panjang.
Bagaimana pun, keberhasilan pembangunan pertanian berkelanjutan sangat ditentukan oleh dua paktor penting, yaitu praktek pengelolaan sumberdaya pertanian yang terbaik dan intervensi pemerintah (Sugino, 2003). Indikator pertanian berkelanjutan dapat dikelompokkan pada berbagai tingkatan, yaitu (1) tingkat usahatani/rumah-tangga, (2) tingkat masyarakat, dan (3) tingkat nasional dan pada berbagai ekosistem, yaitu (1) the lowland ecosystem, (2) the upland ecosystem, dan (3) the coastal ecosystem (SEARCA, 1995). Berbagai praktek manajemen terbaik telah tersedia untuk membangun system pertanian berkelanutan. Beberapa diantaranya adalah manajemen unsur hara tanah dengan aplikasi pupuk organik (organic or biological fertilizers), pengelolaan hama terpadu (integrated pest management), appropriate/inovative cropping system untuk mengurangi kerusakan tanaman dan konservasi tanah, dan efisiensi dalam pengelolaan irigasi (Budiasa, 2007).


Tantangan dan Peluang Subak dalam Berperan Ganda

Kebijakan Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) seperti tertuang dalam INPRES Nomor 3/1999 yang dalam UU RI Nomor 7/2004 dikenal sebagai Pengelolaan Irigasi Partisipatif (PIP), merupakan upaya pemerintah untuk memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat petani termasuk subak dalam pengelolaan irigasi, sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan pemerintah dari segi personil maupun dana terutama untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan (O & P) jaringan irigasi. Hal ini merupakan salah satu tantangan utama bagi keberlanjutan subak. Penyediaan dana pengelolaan irigasi di tingkat kabupaten/kota (DPIK) sebenarnya telah diatur melalui KEPMENKEU No.: 298/KMK.02/2003 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberi dukungan dan bantuan DPIK kepada lembaga pengelola irigasi termasuk subak di Bali dalam rangka pemenuhan standar pelayanan minimal irigasi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan nasional. Beban pembiayaan pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung jawab masing-masing (cost-sharing) diatur berdasarkan kesepakatan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat petani (subak).
Namun demikian, pemerintah juga mengupayakan keberlanjutan sistem irigasi seperti tertuang dalam INPRES Nomor 3/1999 yang salah satunya melalui pemberian peran ganda pada lembaga petani termasuk subak yang tidak saja sebagai pengelola sistem irigasi tetapi juga diberikan kemudahan dan peluang untuk secara demokratis membentuk unit usaha ekonomi dan bisnis yang berbadan hukum di tingkat usahatani. Apabila subak dapat melaksanakan aktivitas OP irigasi secara mantap dalam arti efficient operation and maintenance (EOM), maka pertanyaan selanjutnya adalah usaha ekonomi dan bisnis apa yang dapat menjadikan subak mampu menanggung beban OP jaringan irigasi sekaligus sebagai wadah bagi petani untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Sejalan dengan jiwa INPRES 3/1999, maka mulai Tahun 2008 Pemerintah melalui Departemen Pertanian akan melaksanakan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) melalui pembentukan lembaga mikro ekonomi perdesaan untuk membantu modal petani dalam menggarap lahannya. Melalui lembaga tersebut, Departemen Pertanian akan mengucurkan dana bantuan Rp100.000.000/desa (Suara Pembaharuan dalam Deri, 2008). Tahun 2008, sasaran PUAP sebesar 11.000 desa miskin/tertinggal yang mempunyai potensi pertanian di 33 provinsi (Ibrahim, 2008). Seharusnya, peluang ini dapat dimanfaatkan oleh subak-subak di Bali yang diawali dengan pembentukan koperasi tani (KOPTAN). Hal ini juga terkait dengan Program Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Agribisnis Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) yang dicanangkan oleh Departemen Pertanian (Ibrahim, 2008).
Menurut Menteri Koperasi dan UKM (Bali Post, 2 Desember 2003), koperasi tani (KOPTAN) sangat cocok dengan kondisi sosial ekonomi petani di Indonesia ketimbang bentuk usaha lainnya seperti perusahaan perseorangan, CV, Firma, atau pun PT sehingga sangat cocok pula dikembangkan di tingkat subak di Bali. Sesuai dengan jiwa UU RI Nomor 25/1992 tentang Perkoperasian, maka koperasi adalah badan usaha profesional yang harus mampu mandiri di tengah-tengah dinamika kehidupan perekonomian terutama di era pasar bebas. Badan usaha berbentuk koperasi memiliki kelebihan-kelebihan, yaitu (1) dapat memajukan kebutuhan materiil anggotanya, (2) mempunyai kemungkinan untuk mengumpulkan modal lebih banyak, dan (3) pemerintah sangat mendorong keberadaan koperasi dengan berbagai macam fasilitas dan prioritas karena organisasi ini dipandang cocok sebagai penge¬jawantahan pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Koperasi tani akan menjadi salah satu sumber dana subak terkait dengan tanggung jawab pembiayaan operasi dan pemeliharaan institusi subak. Selain itu, koperasi tani akan menjadi wahana peningkatan kesejahteraan ekonomi anggota.
Dari pengamatan lapangan, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang perlu mendapat prioritas dalam pengkajian dapat diidentifikasi sebagai berikut.
(a) Belum jelasnya kedudukan dan status hukum kelompok usaha agribisnis/koperasi sebagai institusi pengelola agribisnis sehingga belum memiliki posisi tawar yang sepadan dalam penyelesaian berbagai konflik yang mungkin timbul serta belum mampu menjadi salah satu dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mitra Bank.
(b) Rendahnya penguasaan IPTEK usahatani (terutama dalam pemahaman perlunya pemakaian pupuk berimbang dan pupuk organik) dan IPTEK pengolahan hasil pertanian (penanganan pasca panen) untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian.
(c) Belum dikuasainya pengelolaan keuangan usaha terutama dalam pembuatan Buku Kas, Laporan Rugi-Laba dan Neraca, serta kurangnya pemahaman tentang pos-pos yang masuk dalam laporan keuangan.
(d) Kurangnya fasilitas dan penguasaan program komputer seperti Word, Excel, dan Akuntansi dalam upaya melaksanakan tertib administrasi (surat-menyurat), dokumentasi dan manajemen keuangan.
(e) Belum dipahaminya aspek perkreditan/pinjaman, sehingga Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BLPM) sebagai dana pendukung kegiatan P3T yang wajib dikembalikan ingin diterima dengan bunga yang sangat rendah serta ada beberapa anggota kelompok usaha agribisnis/koperasi yang pengembalian pinjamannya kurang lancar.
(f) Belum adanya jalinan kerjasama antara kelompok usaha agribisnis/koperasi dan distributor saprodi serta antara kelompok usaha agribisnis/koperasi dan Lembaga Penyedia/Pemberi Kredit
(g) Belum berkembangnya pola produk, pola jenis usaha, dan pola kelembagaan pada kelompok usaha agribisnis/koperasi sebagai akibat kurangnya wawasan kewirausahaan serta pemahaman terhadap penilaian pilihan investasi (studi kelayakan) unit usaha agribisnis.


Pengembangan Kelembagaan Subak

Sebagai konsekuensi dari kemungkinan adanya peran ganda subak yaitu sebagai lembaga pengelola irigasi sekaligus pengelola unit usaha ekonomi dan bisnis di tingkat usahatani sesuai dengan jiwa INPRES RI No. 3/1999, maka subak tersebut harus mampu menempatkan unit ekonomi dan bisnis pada kedudukan yang tegas dan jelas dalam struktur organisasi subak (Budiasa, 2005). Artinya, subak yang bersangkutan bersedia melakukan restrukturisasi kelembagaan termasuk melakukan penyempurnaan AD/ART (awig-awig) yang dapat memenuhi tuntutan efisiensi dan profesionalisme kerja dalam melaksanakan peran ganda. Konsep restrukturisasi organisasi pada tingkat subak dapat diketengahkan seperti pada Gambar 1. Koperasi Tani akan menjadi salah satu sumber dana subak terkait dengan tanggung jawab pembiayaan operasi dan pemeliharaan institusi subak. Selain itu Koperasi Tani akan menjadi wahana peningkatan kesejahteraan ekonomi anggota.


Alternatif Peningkatan Kapasitas Koperasi Tani

Peningkatan kapasitas lembaga KOPTAN pada dasarnya dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, introduksi teknologi baru yang sesuai dan efisien, peningkatan kemampuan kewirausahaan, administrasi dan manajemen para pengelola KOPTAN melalui berbagai penyuluhan dan pelatihan-pelatihan. Materi penyuluhan dan pelatihan yang paling dibutuhkan antara lain: (1) Admnistrasi (surat-menyurat); (2) Manajemen Keuangan (Buku Kas dan Laporan Rugi-Laba & Neraca); (3) Program Komputer (Word, Excel & Akuntansi); (4) Pembentukan Badan Hukum Koperasi; (5) Pola Pengembangan Produk dan Unit Usaha Agribisnis yang Mandiri dan Berkelanjutan; (6) Penyusunan Studi Kelayakan Suatu Usaha; (7) Pengenalan Perkreditan; dan (8) Menjalankan Etika Bisnis.




















Gambar 1. Konsep restrukturisasi dan peran ganda subak

Pengembangan Pola Usaha Agribisnis pada Subak

Usaha ekonomi berbasis subak pada prinsipnya adalah agribisnis berbasis pangan atau lahan sawah. Dengan berprinsip bahwa usahatani itu identik dengan perusahaan, maka usahatani ini akan eksis dan berkembang jika mampu menjual hasilnya dengan nilai jual yang layak (Suherman, 2003). Di samping itu, untuk meningkatkan tingkat pendapatan petani, maka dalam pengembangan kelembagaan kita terapkan juga prinsip tanam – petik – olah – jual. Jika kebiasaan petani menjual hasilnya berupa gabah kering panen (GKP) di sawah, maka usaha yang perlu dikembangkan oleh KOPTAN adalah usaha lumbung padi (rice storage). Dengan adanya lumbung padi ini akan menjamin ketersediaan pangan di tingkat kelompok tani/subak. Pengembangan usaha selanjutnya adalah usaha penggilingan padi (Rice Milling Unit) yang layak dan memadai. Sarana dan prasarana penggilingan padi yang memadai dilengkapi dengan lantai jemur, mesin penggilingan, mesin pengering gabah, ruang produksi, gudang gabah, gudang beras, kantor, sarana transportasi serta ditunjang oleh SDM yang memadai. Penggilingan padi yang layak dan memadai tentu membutuhkan modal yang cukup besar pula, tetapi itu tidak menjadi masalah karena modal pengembangan usaha dapat bersumber dari dana pinjaman (kredit) dengan didukung oleh analisis kelayakan usaha yang akurat.
Aktivitas produksi dari usaha penggilingan padi ini akan menghasilkan pula produk sampingan berupa dedak dan sekam di samping produk utama berupa beras. Dedak akan bernilai jual lebih tinggi jika diolah menjadi pakan ternak uanggas, babi dan sapi. Ini berarti ada peluang bagi pengembangan usaha pakan ternak. Jika akan mengembangkan usaha pakan ternak, maka dapat diprediksi dari sekian ton produksi dedak berapa kebutuhan bahan pakan berupa jagung, polar, konsentrat, tepung ikan, tepung tulang dan lain-lain. Untuk bahan baku yang dapat diproduksi sendiri, seperti jagung, maka dapat diprediksi kebutuhan lahan untuk usahatani jagung. KOPTAN juga dapat mengembangkan sendiri usaha ternak ayam, itik, babi, sapi. Sekam dari hasil penggilingan padi dapat dijadikan alas pemeliharaan pada usaha ternak ayam pedaging/petelor di samping dapat dijual sebagai bahan bakar pada usaha bata merah/genteng. Sedangkan, sekam bekas alas pemeliharaan ayam bisa digunakan sebagai bahan pupuk kompos disamping kotoran ternak lainnya yang potensial sebagai pupuk organik yang sangat diperlukan dalam usahatani tanaman.
Di samping itu, untuk memenuhi segmen pasar tertentu KOPTAN juga dapat mengembangkan produk organik seperti beras organik, sayuran dan buah-buahan organik. Dengan harga produk organik yang jauh lebih tinggi dibandingkan produk konvensional, potensi keuntungan yang diperoleh KOPTAN dapat ditingkatkan.
Selanjutnya, jerami yang dihasilkan dari usahatani padi di samping sebagai bahan kompos juga dapat digunakan sebagai media usahatani jamur dan/atau bahan pakan ternak sapi. Dari usaha ternak sapi dapat dihasilkan kotoran sapi yang dapat dijadikan media usaha peternakan cacing. Cacing merupakan material organik yang sangat kaya akan protein dengan kandungan mencapai 70 persen. Protein yang tinggi ini berfungsi sebagai perbaikan kualitas ternak ayam dan ikan, dan juga dapat meningkatkan daya tahan ternak itik, ayam dan ikan terhadap penyakit. Pemanfaatan ternak cacing ini sebenarnya dapat dijadikan tepung cacing sebagai suplemen makanan ternak atau pelet ikan. Cacing sendiri berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dalam tanah. Tanah bekas ternak cacing (kascing) ini sebenarnya sangat baik sebagai pupuk organik yang telah matang untuk tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi atau usahatani bunga potong untuk memenuhi kebutuhan lokal (hotel dan/atau upacara adat) atau kebutuhan eksport.
Keterbatasan tenaga kerja di sektor pertanian dapat di substitusi dengan menyediaan alat-alat dan mesin pertanian, ini berarti peluang bagi pengembangan unit usaha bagi KOPTAN yaitu usaha jasa ALSINTAN. Demikian pula, petani pemilik lahan yang tidak mampu lagi mengerjakan lahannya dapat menyewakan/mengontrakkan lahannya kepada KOPTAN untuk pengembangan berbagai usahatani tanaman, ternak, dan ikan (mixed-farming).
Dengan berkembangnya divisi-divisi usaha di atas maka dibutuhkan pula divisi transportasi untuk mendistribusikan output dan input pertanian dari dan kedalam KOPTAN. Dari sini akan terbentuk pula statu divisi usaha pengadaan sarana produksi berupa pupuk anorgnik, pestisida, di samping sarana produksi yang dihasilkan sendiri oleh KOPTAN.
Pada wilayah kerja KOPTAN yang memiliki potensi pertanian lahan kering seperti kelapa, coklat, cengkeh dan industri kerajinan, maka KOPTAN dapat mengembangkan unit usaha suplier hasil pertanian lahan kering dan hasil industri kerajinan. Demikian pula, dengan meningkatnya daya beli masyarakat tidak tertutup kemungkinan KOPTAN untuk membuka divisi usaha warung serba ada (Waserda) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi anggota dan masyarakat luas. Divisi usaha simpan pinjam juga sangat potensial untuk menyediakan kebutuhan permodalan terutama bagi anggota dan tempat terpercaya bagi anggota untuk menyimpan kelebihan modalnya baik dalam bentuk tabungan maupun deposito.
Divisi usaha jasa perbengkelan juga tidak kalah pentingnya, karena adanya divisi alsintan, transportasi, juga dapat melayani servis alsintan dan kendaraan milik masyarakat luas. Komoditas agribisnis itu sangat banyak ragamnya. Setiap jenis memiliki karakteristik tersendiri, baik dari segi budidaya, permodalan, pemasaran, serta keuntungan yang akan diperolehnya. Untuk itu maka akan diperlukan divisi advokasi dan informasi usaha agar petani tidak mengalami kegagalan jika akan mengambil suatu keputusan dalam pengembangan usahanya.
Dengan berkembangnya divisi-divisi usaha dalam lembaga KOPTAN yang memberikan daya tarik dan image bisnis yang tinggi dan profesional, maka akan tercipta lapangan kerja baru di perdesaan yang dapat menyerap angkatan kerja yang ada terutama dari kalangan generasi muda yang selama ini kurang tertarik bekerja disektor pertanian. Dapat dibayangkan, jika semua divisi-divisi ini terealisasi maka pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (growth pole) telah tercipta dan pergerakan ekonomi di pedesaan akan lebih cepat. Di samping itu, dengan pestanya perkembangan agribisnis di perdesaan akan dapat mengurangi kerawanan sosial berupa rawan pangan, rawan pengangguran, dan rawan kemiskinan di wilayah perdesaan. Untuk lebih jelasnya konsep pengembangan pola usaha ekonomi oleh KOPTAN di tingkat subak dapat disajikan pada Lampiran 1 dan 2.


Penutup

Subak sebagai sumberdaya budaya sudah sewajarnya mendapat perhatian para pihak mengingat peranannya dalam mewujudkan keberlanjutan pertanian, ketahanan pangan, serta sebagai salah satu penciri kemasyuran Bali. Keberlanjutan pertanian terwujud apabila sistem pertanian dikembangkan secara holistik melalui pendekatan sistem usahatani yang secara ekonomi menguntungkan, menggunakan teknologi yang sepadan, ramah lingkungan, dan dapat diterima oleh masyarakat. Berbagai upaya efisiensi/optimasi penggunaan sumberdaya dan penerapan praktek pertanian yang baik serta kebijakan pemerintah yang kondusif adalah faktor kunci bagi keberlanjutan pertanian.
Peran ganda subak yaitu sebagai pengelola irigasi sekaligus sebagai pengelola bisnis sangat strategis dalam upaya mewujudkan keberlanjutan pertanian dan ketahanan pangan di Provinsi Bali. Upaya institution development and capacity building (IDCB) terhadap subak menjadi prioritas utama agar subak tersebut dapat menjalankan peran gandanya.


DAFTAR PUSTAKA

BPS Propinsi Bali. 2008. Sekilas Bali 2008
Budiasa, I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan Sistem Pertanian Beririgasi di Bali. Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP (Eds). Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Budiasa, I Wayan. 2007. Optimization of Groundwater Irrigation-Based Farming System Towards Sustainable Agriculture in North Coastal Plain, Bali. Unpublish PhD Thesis, Agricultural Economics Study Program, Gadjah Mada Graduate School, Yogyakarta.
Budiasa, I Wayan; I Nyoman Gede Ustriyana; dan IGAA Lies Anggreni. 2009. Persepsi Masyarakat Terhadap Kemungkinan Pengembangan Lumbung Desa di Kabupaten Tabanan, Bali. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SOCA) Vol. 9 No. 3 November 2009, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Deri, Ansel. 2008. ”Dana Petani Rp100 Juta per Desa”. http://ansel-boto.blogspot.com.
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. 1995. Subak dan Museum Subak di Bali. Proyek Pemantapan Lembaga Adat Tersebar di 9 Dati II TA 1995/1996.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. 2008. Kebijakan Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Bali Dalam Rangka Memantapkan Ketahanan pangan dan Meningkatkan Pendapatan Petani. Disampaikan pada Seminar dalam Rangka HUT ke-40 FP Unud Tahun 2008.
Ibrahim, H. 2008. “Revitalisasi Pertanian, Ketahanan pangan, dan Penyediaan SDM Pertanian yang Handal”. Paper Lokakarya Nasional FKPT-PI Ke-8 Tahun 2008 dengan tema: ”Restrukturisasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia Menuju Pencapaian Kompetensi Pertanian Modern”. Jambi, Mei 2008.
INPRES RI, Nomor 3, Tahun 1999 Tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi. Jakarta.
Kanwil DPU Propinsi Bali. 1989. Subak. Denpasar.
KEPMENKEU RI, Nomor 298/KMK.02/2003 Tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota. Jakarta.
Merrey, D.J. 1993. Konteks Kelembagaan untuk Pengelolaan Pertanian Beririgasi. Padang: VISI Irigasi Indonesia 10 (5, 1995).
Pitana, I Gde. 1993. Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali: Sebuah Deskripsi Umum. Dalam I Gde Pitana (ed): Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Samudra, N.M. 1993. Lomba Subak sebagai Usaha Pelestarian dan Pengem¬bangan Subak. Dalam I Gde Pitana (ed): Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
SEARCA, 1995. Working Paper on Sustainable Agriculture Indicators. SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA). College, Laguna 4031, Philippines.
Sedana, G., I W. Budiasa, N. Sudiarta, dan W. Kariati. 2003. Studi Diagnosis Penguasaan Lahan Sawah di Kota Denpasar. Kerjasama antara Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar dan Pusat penelitian Universitas Dwijendra. Denpasar.
Sugino, T., 2003. Identification of Pulling Factors for Enhancing the Sustainable Development of Diverse Agriculture in Selected Asian Countries. Palawija News The CGPRT Centre Newsletter. Bogor: CGPRT Centre Publication Section, 20 (3): 1-6.
Suherman, A. 2003. Pola Pengembangan Usaha Ekonomi di Daerah Irigasi Melalui Pembangunan Usahatani Terpadu, dan Pengembangan Kelembagaan yang Berbasis Agribisnis. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia, Jakarta.
Sushila, J. 1993. Mandala Mathika Subak: Suatu Usaha Konservasi. Dalam I Gde Pitana (ed) Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Sutawan, N., M.Swara,W.Windia, dan W. Sudana. 1989. Laporan Akhir Pilot Proyek Pengembangan Sistem Irigasi yang Menggabungkan Beberapa Empelan Subak di Kab. Tabanan dan Kab. Buleleng, Kerjasama DPU Prop. Bali dan Univ. Udayana, Denpasar.
Undang-Undang RI, Nomor 7, Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air. Jakarta.
Undang-Undang RI, Nomor 25, Tahun 1992 Tentang Koperasi. Jakarta.
Windia, W., N.G. Ustriyana, I W. Budiasa, I W. Ginarsa, dan I W. Sudarta. 2001. Keberlanjutan Nilai-nilai Tri Hita Karana untuk Pelestarian Sumberdaya Budaya di Kabupaten Gianyar. Kerjasama antara Bappeda Kabupaten Gianyar dan Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.

Lampiran 1. Pola pengembangan produk-produk pertanian di wilayah kerja KOPTAN

No KOMODITAS PRODUK PENGOLAHAN USAHA
PENGEMBANGAN
1 Padi Sawah Gabah GKP dijemur
GKS disimpan Usaha Lumbung Padi
GKG digiling Usaha Penggilingan Padi
Beras Distributor beras
Dedak Bahan pakan ternak
Sekam Alas penggemukan ayam,
Bahan pupuk kompos,
Bahan pembakaran bata merah
Jerami Jerami Mulsa
Jerami dipotong-potong Bahan untuk kompos
Jerami dicuci Media jamur merang
2 Jagung Buah Jagung Butir jagung digiling Industri tepung mayzena
Butir jagung digiling Bahan pakan ternak ayam
Tongkol digiling Industri pakan ternak sapi
Daun Daun dipotong-potong Pakan ternak kambing, sapi
Batang Batang dikeringkan Bahan kayu bakar
3 Sapi, kambing, babi, unggas Kotoran Kotoran difermentasi Pupuk organik
Sisa pakan Sisa pakan dipermentasi Pupuk kompos
Daging Digrading Distributor daging
4 Cacing Cacing Cacing kering digiing menjadi tepung cacing Bahan pakan ternak ayam/ikan
Kascing Kascing dikeringkan Pupuk organik siap kemas dan siap pakai
5 Hortikultura Sayuran dan buah siap dikonsumsi Grading Diversifikasi usahatani
Distributor sayuran dan buah-buahan










Lampiran 2. Pola pengembangan unit usaha ekonomi di wilayah kerja KOPTAN

No JENIS USAHA KELENGKAPAN KETERANGAN
1 Stok/lumbung Padi Gudang Untuk ketahanan pangan, kepastian harga sebagai insentif bagi petani untuk tetap berproduksi padi
2 Industri Penggilingan Padi dan Suplier Beras Mesin giling Harus ditunjang oleh kegiatan lumbung padi dan
Mesin pengering Kerjasama pendanaan oleh pihak Lembaga Keuangan
Mesin packing
Alat uji kadar air
Lantai Jemur
Gudang Gabah
Gudang Beras
3 Industri Pakan Ternak Mesin pencampur Harus ditunjang oleh kegiatan penggilingan padi,
Mesin packing Usahatani jagung yang cukup dan
Suplemen/Vit Tepung cacing yang memadai sebagai sumber
Gudang Protein
4 Usaha Jasa Mekanisasi Alsintan Karena langkanya TK sektor pertanian
Pertanian Membuka lapangan kerja baru penunjang
Alsintan
5 Peternakan Ayam, dan Uanggas lainnya Kandang Memanfaatkan hasil samping dari penggilingan padi yaitu dedak dan sekam
6 Peternakan Sapi, Kambing Kandang Memanfaatkan by-product dan hijauan pakan ternak
7 Industri Pupuk Organik Gudang dan Pabrik Memanfaatkan by-product (hijauan dan kotoran ternak)
8 Industri Tepung Cacing Pabrik Kandungan protein cacing > 70%, sangat ampuh meningkatkan daya tahan tubuh ternak
9 Usaha Produk Organik Lahan sawah/ pekarangan/tidur Diversifikasi usahatani, memanfaatkan lahan pekarangan/tidur
10 Suplier Saprodi Gudang Memfasilitasi pengadaan saprodi bagi petani
Toko/Show room
11 Usaha Transportasi Gudang, Kendaraan Alat distribusi input dan output
12 Usaha Perbengkelan Peralatan bengkel Melayani perbaikan alsintan dan sarana transportasi/kendaraan milik KUAT dan masyarakat umum
13 Usaha Simpan Pinjam Kantor
Kelengkapan Kator dan adimnistrasi Melayani kebutuhan kredit anggota dan melayani jasa simpanan dana anggota dan masyarakat luas di wilayah kerja KUAT

INTELLIGENCE BASED LEADERSHIP -LEADERSHIP CHALLENGES IN THE ERA OF LIMIT

INTELLIGENCE BASED LEADERSHIP -LEADERSHIP
CHALLENGES IN THE ERA OF LIMIT

Oleh:
Dr. I Putu Gede Ary Suta

Abstrak
Berbagai krisis yang terjadi telah menempatkan aspek kepemimpinan (leadership) dan kecerdasan (intelligence) menjadi semakin penting, terlebih lagi setelah adanya penemuan yang lebih luas terhadap fungsi-fungsi brain & mind. Implikasi yang timbul adalah diperlukan adanya pemahaman tentang cakupan aspek intelligence dalam kaitannya dengan kepemimpinan (leadership), serta perlunya pemanfaatan secara maksimal potensi brain atau mind untuk mencapai tingkat kompetensi kepemimpinan (leadership competence) guna menjawab tantangan yang ada untuk mencapai kinerja kepemimpinan yang maksimal. Leadership competence dapat dicapai melalui learning (study, observation, dan experience) dan mentoring sehingga dapat tercipta tingkat kecerdasan rational, emotional serta spiritual yang mutlak harus dimiliki oleh setiap pemimpin yang sukses (great leader)

Kata kunci: brain, critical thinking, happiness, intelligence (executive intelligence), leadership, mind, neuron, wisdom

INTRODUCTION

Terjadinya krisis global yang menimpa hampir seluruh belahan dunia ini telah menempatkan isu kepemimpinan menjadi semakin sentral. Di samping itu penemuan-penemuan baru di bidang brain science telah menjadikan isu kecerdasan (intelligence) menjadi perhatian mengingat banyaknya perubahan yang terjadi yang selama ini diyakini oleh mainstream neuroscientists.

Brain Power atau Intelligence merupakan determinant factor untuk meraih kesuksesan dalam kepemimpinan (leadership performance). Setiap pembicaraan yang menyangkut brain atau mind tidak pernah lepas dari pembahasan tentang intelligence. Faktor intelligence inilah yang secara mendasar membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa intelligence factor ini demikian pentingnya sehingga menjadi topik bahasan tidak hanya bagi neuroscientists dan psychologists, tetapi juga bagi para ahli dari disiplin ilmu lainnya termasuk ahli manajemen dan leadership.

Intelligence merupakan kapabilitas mental, emotional, dan spiritual yang melibatkan kemampuan manusia untuk berfikir, membuat rencana, berimajinasi, memecahkan masalah, mengerti dan memahami ide-ide yang bersifat kompleks serta mampu mentransformasikan pengalaman menjadi pengetahuan. Oleh karenanya masalah intelligence ini menjadi sangat relevan baik bagi pemimpin maupun para pengikutnya.

Intelligence factor menjadi semakin penting dengan perkembangan terakhir yang terjadi menunjukkan bahwa otak (brain) manusia tidak lagi bersifat tetap, namun telah menjadi plasticity (tidak tetap). Artinya bahwa brain dapat mempengaruhi pengalaman manusia dan sebaliknya pengalaman itu sendiri berpengaruh terhadap brain tersebut.

A great leader harus memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri (adaptive capacity). Penyesuaian diri ini menjadi semakin penting dengan adanya perubahan lingkungan termasuk krisis yang kerap menjadi tanggung jawab seorang leader untuk menghadapinya. Adaptive capacity bagi seorang great leader membutuhkan pembelajaran secara terus menerus (learning & learning).

Pada dasarnya fungsi utama seorang leader adalah mendesain masa depan bangsa atau organisasi yang dipimpinnya dan leader yang bersangkutan dituntut untuk berani dan mampu menghadapi perubahan (deal with change). Karena pentingnya fungsi yang diembannya, maka greatness memerlukan great leader dan great leader memerlukan great leadership.Seorang leader dituntut memiliki kemampuan untuk membangun executive intelligence pada dirinya dan jajarannya. Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa semua great leaders memiliki executive intelligence (Menkes, J., 2006). Brain power (executive intelligence) akan menentukan kualitas kepemimpinan seorang leader dalam membangun visinya dan membuat atau memilih strategi yang tepat guna mencapai tujuan organisasi. A great leader tidak akan pernah berhenti belajar dan belajar. Dengan pembelajaran ini seorang great leader akan mampu untuk:
• mentransformasi pengalaman yang dimiliki menjadi knowledge,
• menyederhanakan persoalan yang dihadapi,
• secara skillful menggunakan informasi atau pengalaman yang ada untuk memecahkan persoalan yang dihadapi.

Berdasarkan pemikiran ini, seorang great leader harus memberikan perhatian lebih serius terhadap brain power (intelligence) karena dampaknya yang dapat ditimbulkan terhadap fungsi-fungsi kepemimpinan. Neuroplasticity mengandung arti juga bahwa otak akan mengalami perubahan secara berkelanjutan (the brain continously changes itself). Kemajuan yang luar biasa telah terjadi di bidang neuroscience beberapa tahun terakhir yang menunjukkan semakin pentingnya fungsi otak kanan (right brain) dalam menentukan masa depan umat manusia. Bagian selanjutnya dari paper ini akan membahas brain dan fungsi brain; jenis-jenis intelligence; hubungan intelligence, talent, competence, dan happiness; newmind dan neuroplasticity; leadership challenges; era of limit; dan leadership performance.

BRAIN AND ITS FUNCTIONS

Brain and Mind Interface

Tidaklah mudah untuk membedakan antara Brain and Mind, dan lebih tidak mudah lagi memahami fungsi sesungguhnya dari otak (brain) manusia. Bahkan Neuroscientists menganggap bahwa sulitnya memahami brain sama dengan sulitnya memahami alam semesta (brain is the most complex living structure). Selama ini kalangan kedokteran dan ilmu pengetahuan (mainstream medicine and science) berpendapat dan percaya bahwa anatomi daripada brain manusia bersifat tetap, dan permanen. Perkembangan terakhir menunjukkan telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dimana sebelumnya diyakini oleh neuroscientists bahwa anatomi brain bersifat tetap dan kini diperoleh temuan yang berbeda dan bahkan cenderung terbalik, dimana anatomi dari pada brain tersebut bersifat berubah-ubah (neuroplasticity). Ini berarti kemungkinan dapat terjadi perubahan pemahaman manusia terhadap love, grief, relationship, learning, culture, dan teknologi berakibat pada perubahan otak (brain) manusia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa brain merupakan anatomi dan bagian dari tubuh manusia, sedangkan mind merupakan fungsi dari brain itu sendiri. Oleh karenanya, walaupun telah terdapat kemajuan yang pesat di bidang neuroscience, namun untuk memahami keseluruhan fungsi brain secara sempurna masih jauh dari cita cita para ahli, terutama tatkala menyentuh hal-hal yang bersifat unconscious (subconscious mind).

Secara umum fungsi brain dapat dikelompokkan sebagai berikut:
• mengatur proses berpikir atau pikiran (thought), memory, judgment, identitas personal dan aspek lainnya dari mind.
• tempat bersemayamnya harapan dan cita-cita (hope) mimpi (dream), dan imajinasi.
• merupakan pusat pembelajaran (center of learning).

Namun jika dilihat dari aktivitas yang dilaksanakan, maka brain manusia memiliki tiga kelompok kegiatan sebagai berikut:
• Information gathering (sensoric activities).
Brain menerima informasi melalui sensoric instruments: penglihatan, pendengaran, dan panca indera lainnya.
• Decoding (storing) information.
Brain akan melakukan decoding terhadap informasi yang diterima dan selanjutnya menyimpannya dalam memory.
• Predicting activities.
Di sini brain akan memanggil (retrieving) dan meman-faatkan informasi tadi untuk melakukan prediksi.

Jika diperhatikan, ketiga aktivitas brain di atas terkait dengan informasi sehingga hubungan dengan fungsi-fungsi leadership semakin nyata. Pada tahap pemikiran, maka informasi akan sangat terkait dengan imajinasi, prediksi, dan kreativitas. Selanjutnya imajinasi, prediksi dan kreativitas akan mempengaruhi kualitas visi, misi, strategi dan perencanaan organisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi realitas atau kinerja (leadership performance).

Jika fungsi brain dibedah berdasarkan bentuk dan lokasinya (hemispheres), otak manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri (left hemisphere) dan otak kanan (right hemisphere). Fungsi dari masing-masing bagian otak, dapat digambarkan sebagai berikut:


Gambar 1. Left and Right Brain Functions

Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar dari kedua hemispheres otak manusia dimana otak kiri menekankan pada hal-hal yang bersifat sequential, logical dan analytical, sedangkan otak kanan menekankan pada fungsi-fungsi yang bersifat non linear, intuitive, dan holistic. Dalam era sebelumnya (Pink, D.H.,2005) mulai dari era pertanian (agriculture age) pada abad 18, era industri (industrial age) pada abad 19, dan era informasi (information age) pada abad 20, manusia pada umumnya lebih banyak memberikan perhatian pada pemanfaatan otak kiri (left hemisphere).

Dengan semakin cepatnya perubahan peradaban manusia, telah melahirkan percepatan era yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sebagai akibatnya dengan semakin banyaknya jumlah manusia, semakin sempitnya peluang bagi kehidupannya, semakin tingginya harapan dan semakin banyaknya imajinasi yang dimiliki, mengharuskan manusia memanfaatkan brain power (intelligence) yang menjadi aset utama bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya. Para ahli telah memprediksi bahwa era setelah information age ini mengarah pada era of conceptual age dimana era ini akan menjadi eranya para inventor (creator) dan empathizer, the right brainers will rule the future (Pink, D. H., 2006). Pemanfaatan otak kiri semata dipandang tidak cukup untuk menghadapi kebutuhan pada era of conceptual age karena era tersebut membutuhkan inventor yang berkualitas, empathy, joyfulness, dan meaning of life. Prediksi ini perlu disikapi terutama dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas visi kepemimpinan, formulasi strategi dan implementasinya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas kepemimpinan (leadership performance).



Gambar 2. Brain Power and Leadership Performance

Gambar 2 di atas menunjukkan pengaruh brain power terhadap leadership competence yang selanjutnya berpengaruh terhadap kualitas kinerja kepemimpinan (leadership performance).

Talent, Genius, Competence and Wisdom

Sampai saat ini belum ditemukan definisi yang baku tentang pengertian intelligence. Namun unsur-unsur penting dari intelligence perlu diketahui, sebagaimana dijelaskan oleh Gibb, Barry J. (2007), sebagai berikut: Intelligence is a very general mental capability that among other things, involve the ability to
• reason;
• plan;
• solve problem;
• think abstractly;
• comprehend complex ideas;
• learn quickly and learn form experience.

Definisi diatas secara tersirat lebih memberikan bobot pada fungsi mind (brain) mengingat secara umum dikatakan bahwa intelligence merupakan mental capability. Banyak klasifikasi yang kita temukan untuk menjelaskan jenis intelligence yang dimiliki manusia, antara lain Mental/Rational Intelligence (IQ), Emotional Intelligence (EQ), dan Spiritual Intelligence (SQ).


TYPES ATTRIBUTE
Mental/Rational Intelligence ( IQ ) Material Capital
Emotional Intelligence ( EQ ) Social Capital
Spiritual Intelligence (SQ) Spiritual Capital

Tabel 1. Intelligence Types

Masyarakat luas telah mengetahui bahwa rational intelligence (Intelligent Quotient/ IQ) merupakan pengukuran tingkat kecerdasan manusia secara umum yang dimulai pada awal abad ke-20. Pengukuran dengan IQ dimaksudkan untuk mengukur kecerdasan (intelligence) melalui serangkaian tes yang mencakup kemampuan spatial, numerical, dan linguistic abilities. Selanjutnya IQ test digunakan pada sistem pendidikan dan bisnis untuk melihat kemampuan (kecerdasan) yang berkaitan dengan rational, logical, linear intelligence, untuk memecahkan problem-problem tertentu dari strategic thinking.

Emotional Intelligence (EQ) merupakan intelligence yang terkait dengan seberapa jauh kita mampu untuk menghubungkan dan memahami orang lain dalam situasi tertentu. EQ juga berhubungan dengan kemampuan untuk memahami dan mengendalikan emosi. Dalam hal emosi tidak dapat dikendalikan, maka manusia itu sendiri akan dikendalikan olehnya (Goleman, D., 1996). Selanjutnya Goleman, D. (1996) mendefinisikan EQ sebagai kemampuan untuk melakukan assessment dan untuk memahami situasi dimana kita berada agar bisa membaca emosi kita sendiri dan emosi orang lain secara wajar.

Spiritual Intelligence (SQ) merupakan moral intelligence yang memberikan kemampuan untuk membedakan benar dan salah, dan memberikan kemampuan untuk memahami dan mengerti tentang deepest meanings, nilai-nilai (values), purposes, dan motivasi (Zohar, D. & Marshall, I., 2005).
Dalam kaitannya dengan ketiga jenis intelligence di atas, pertanyaan mendasar yang dijawab oleh masing-masing intelligence adalah:
• Mental Intelligence (IQ) merupakan rational intelligence untuk menjawab pertanyaan apa yang saya pikirkan dan apa alternatif yang tersedia untuk menjawab suatu tantangan atau memecahkan suatu problem (What I think). IQ ini akan melahirkan kemampuan yang bersifat material, yaitu material capital.
• Emotional Intelligence (EQ) merupakan intelligence untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan emosi manusia baik pemimpin maupun yang dipimpin tentang apa yang dirasakan menyangkut kejadian tertentu dan perasaan terhadap orang lain (What I feel). EQ ini akan melahirkan kemampuan yang bersifat sosial atau sering disebut dengan social capital.
• Spiritual Intelligence (SQ) merupakan intelligence yang memberi dan menambah kemampuan manusia untuk peduli (shared meaning), nilai, dan tujuan akhir kehidupan. Bagi organisasi intelligence ini akan memberikan jawaban untuk pertanyaan untuk apa organisasi ini didirikan. SQ ini akan menambah kemampuan manusia yang menyangkut spiritual (spiritual capital).

Banyak di antara kita belum berhasil memahami atau menempatkan secara tepat posisi intelligence dalam kaitannya dengan talent, genius, competence, maupun wisdom. Berdasarkan definisi intelligence yang disebutkan di atas, penulis mencoba untuk membuat framework hubungan antara intelligence dengan talent, genius, competence, dan wisdom tersebut sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.








Gambar 3. Intelligent-Competence-Wisdom Framework

Critical thinking merupakan dasar bagi kelahiran intelligence, yang mencakup disiplin atau seni untuk menjamin proses berpikir terbaik (best thinking) yang seharusnya mampu dilakukan dalam situasi tertentu (Paul, R.W. & Elder, L., 2002). Critical thinking dipercaya sebagai mental ability untuk terciptanya kesuksesan di bidang bisnis, karena meliputi kemampuan untuk probing, proving, asking the right question dan mengantisipasi permasalahan. Semua hal tersebut merupakan aspek besar dari leadership.

Intelligence akan melahirkan talent maupun competencies, yang dapat mempengaruhi kinerja kepemimpinan melalui kelahiran wisdom. Dalam hal ini talent didefinisikan sebagai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang original atau baru di bidang tertentu yang dikuasainya. Bidang tersebut mengandung hal baru yang dijamin keasliannya dan secara mendasar berbeda dengan pemikiran atau body of work sebelumnya di bidang ideas, art, technology, industrial product, dan social structures. Sedangkan genius merupakan bentuk ekstrim (extreme form) dari talent. Kedua bentuk intelligence – talent dan genius – masih berada pada tahap yang belum terealisir (level of promises).

Competence merupakan kemampuan manusia dalam bidang tertentu untuk mengidentifikasi dan memahami persamaan dan perbedaan antara permasalahan yang baru dengan masalah-masalah sebelumnya yang telah terselesaikan. Selanjutnya wisdom merupakan kemampuan untuk menghubungkan hal-hal yang baru dengan hal-hal lama atau sebelumnya, kemampuan untuk mengaplikasikan pengalaman terdahulu (solusi) terhadap problem yang baru muncul dan merupakan bentuk ekstrem (extreme form) dari competence. Kedua bentuk intelligence ini, competence dan wisdom, berada pada tahap realisasi (level of realized). Talent dan genius biasanya berhubungan erat dengan masa muda (youth), sedangkan competence dan wisdom berhubungan dan merupakan elemen penting dari kedewasaan (maturity).

Dalam kaitannya dengan leadership, intelligence dalam segala bentuknya merupakan prasyarat penting untuk kelahiran happiness, yang pada dasarnya merupakan prasyarat penting bagi seorang pemimpin. Artinya pemimpin yang mengalami atau yang telah merasakan kebahagiaan (happiness) dapat diharapkan memiliki peluang yang besar untuk lebih sukses dan akan dapat membagikan kebahagiaan kepada orang yang dipimpinnya.

Dengan kebahagiaan (happiness) dimaksudkan bahwa manusia atau pemimpin harus mampu mengoptimalkan fungsi elemen kehidupannya yaitu:
• mampu untuk mengotimalkan fungsi badan (body);
• mampu untuk mengoptimalkan fungsi brain (mind);dan
• mampu untuk mengoptimalkan fungsi soul.


NEW MIND AND NEUROPLASTICITY

Conceptual Age

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, era mendatang (abad 21) diperkirakan mengarah kepada era konseptual (conceptual of age), dimana akan terjadi perubahan dari knowledge worker yang masuk ke dalam information age menjadi era bagi creator dan empathizer. Conceptual age ini mengharuskan terjadinya perubahan dalam pemanfaatan otak (brain), yang tadinya lebih banyak menggunakan otak kiri (left hemisphere) menjadi otak kanan (right hemisphere). Di sini memerlukan perubahan orientasi pemahaman tentang intelligence (brain power) terutama yang berhubungan dengan fungsi otak kanan yang bersifat non linear, intuitive dan holistic. Perubahan ini menuntut perlunya peningkatan kemampuan bagi pemimpin terhadap hal-hal sebagai berikut:
• kemampuan mendeteksi pola (pattern recognizer), dan opportunities,
• kemampuan untuk menciptakan keindahan yang artistik,
• kemampuan untuk menggabungkan ide-ide yang tidak berhubungan dan mendesain sesuatu yang baru,
• kemampuan untuk memahami perasaan dan berbagi dengan orang lain (empathyzer)

Menurut Pink, D.H. (2006), untuk merealisasikan kemampuan tersebut di atas diperlukan adanya perubahan pendekatan baru terhadap pemanfaatan otak kiri dan otak kanan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4 berikut.












Gambar 4. Skema Perubahan Pemanfaatan Otak


Neuroplasticity and Sub-Conscious Mind



Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian brain and its function di atas, pemahaman tentang brain telah mengalami perubahan. Selama ini kalangan brain scienctist yakin bahwa fungsi-fungsi otak (mind) bersifat tetap dan tidak akan berubah. Penemuan terakhir menunjukkan bahwa fungsi-fungsi otak mengalami perubahan dan berakibat timbal balik terhadap pengalaman manusia. Dari sisi anatomi ditemukan perubahan bahwa semula kandungan neuron pada otak manusia diperkirakan sebanyak 10 milyar neuron (Hawkins, J. & Blakeslee, S., 2004) dan sekarang telah mencapai 100 milyar neuron (Doidge, N., 2007). Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan yang besar dalam kapasitas otak manusia dengan bertambahnya neuron, yang merupakan sel otak (nerve cells) yang mengatur (menghubungkan) otak dan nervous systems manusia.

Dampak dari perubahan ini adalah meningkatnya kemampuan manusia untuk menerima, menyimpan, dan membuat prediksi sehingga manusia terutama pemimpin sangat berkepentingan untuk mengantisipasi perubahan ini agar diperoleh hasil yang maksimal dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemim-pinannya.

Di sisi lain, para ahli terutama neuroscientists telah melakukan berbagai penelitian dan diskusi mengenai peranan subconscious mind dalam mencapai kesuksesan baik pada level pribadi, hubungan antar manusia, bisnis maupun untuk peningkatan kualitas kehidupan. Sebagaimana diungkapkan oleh Murphy, J., (2000), bahwa terdapat dua level mind, yaitu conscious mind (rational level) dan subconscious mind (irrational level) yang merupakan tempat bersemayamnya emosi (the seat of emotion). Hal-hal penting lainnya perlu diketahui bahwa subconscious mind adalah merupakan gudang (storehouse) memory dan merupakan creative mind yang akan menentukan kualitas imajinasi dan efektivitas pengambilan keputusan. Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan antara conscious dan subconscious mind adalah sebagai berikut: the action is your thought, and the reaction is the response of your subconscious mind. If your thoughts are wise, your actions and decisions will be wise.

Perlu dikemukakan bahwa conscious dan subconscious mind bukanlah dua hal yang berbeda, akan tetapi merupakan dua kegiatan yang paralel dalam satu mind. Conscious mind merupakan reasoning mind dan merupakan fase untuk memilih. Semua keputusan tentang pilihan ini merupakan pemanfaatan conscious mind. Di lain pihak terdapat aktivitas yang tidak memerlukan conscious choices, seperti nafas, sirkulasi darah, fungsi-fungsi utama metabolism, yang kesemuanya dilaksanakan atau dikendalikan oleh subconscious mind. Banyak karya-karya yang besar di bidang arts and science merupakan pemanfaatan dari kekuatan subconscious mind.

Bertitik tolak dari sini dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pendalaman terhadap kekuatan subconscious mind mutlak dilakukan sehingga dapat dimanfaatkan untuk maksimalisasi kinerja kepemimpinan (leadership performance).

Human (Leadership) Strengths and Paradox of Choices

Manusia dan juga pemimpin memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kekuatan seorang pemimpin dapat dikelompokkan ke dalam empat domain, yaitu executing, influencing, relationship building, dan strategic thinking. Keempat domain ini dapat dirinci lebih lanjut ke dalam 34 (tiga puluh empat) kekuatan (leadership strengths), dan setiap pemimpin perlu mengembangkan kemampuan untuk memahami kekuatannya atau kelemahannya (strenghts finder). Rincian dari kekuatan tersebut (Rath, T. & Conchie, B., 2008) disajikan di tabel 2.

Pemimpin yang memiliki kekuatan pada domain eksekusi (executing) akan memahami bagaimana caranya menjadikan sesuatu (make things happen). Sedangkan pemimpin yang memiliki kekuatan pada domain influencing akan memperoleh keuntungan dalam hubungannya dengan mempengaruhi lingkungan manusia yang lebih besar dan manusia yang memiliki kekuatan ini cenderung untuk selalu menjual ide-ide tim baik di dalam maupun di luar organisasi. Kekuatan pemimpin pada domain relationship building merupakan perekat bagi anggota tim secara keseluruhan. Selanjutnya kekuatan pemimpin pada domain strategic thinking akan mengajak anggota organisasi untuk fokus mencapai apa yang seharusnya dicapai dan mengerahkan anggota tim untuk membuat keputusan yang lebih baik.




Executing Influencing Relationship Building Strategic Thinking
Achiever
Arranger
Belief
Consistency
Deliberative
Discipline
Focus
Responsibility
Restorative Activator
Command
Communication
Competition
Maximizer
Self-Assurance
Significance
Woo Adaptability
Developer
Connectedness
Empathy
Harmony
Includer
Individualization
Positivity
Relator Analytical
Context
Futuristic
Ideation
Input
Intellection
Learner
Strategic
Sumber: Rath, T. & Conchie, B., 2008

Tabel 2. Leadership Strength

Memahami dan menyadari kekuatan merupakan modal yang sangat penting dan efektif untuk menjadi pemimpin. Tanpa memahami kekuatan sendiri tidak mungkin efektif menjadi pemimpin. Winston Churchill dan Mahatma Gandhi menyatakan bahwa kesuksesan mereka didorong oleh perbedaan. Selanjutnya mantan Komandan NATO (Former NATO Supreme Allied Commander) Wesley Clark menyatakan bahwa “I’ve never met an effective leader who wasn’t aware of his talents and working to sharpen them”. (Rath, T. & Conchie, B., 2008).

Dengan memahami kekuatan akan memberikan pemahaman kepada pemimpin untuk mengidentifikasi kelemahan. Penelitian menunjukkan (Rath, T. & Conchie, B., 2008), kekuatan seorang pemimpin tidaklah mungkin mengandung seluruh unsur dalam empat domain di atas. Oleh karenanya teridentifikasinya kekuatan yang dimiliki akan mempermudah untuk mengoptimalkan fungsi tim, mengingat pemimpin sama halnya dengan karakteristik manusia, tanpa kecuali memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. A great leader harus memiliki pemahaman tentang kekuatannya dan keterbatasannya sehingga dapat menginvestasikan effort-nya pada tema-tema yang dapat memperkuat kekuatan tadi, dan mengetahui tema-tema, dimana mereka tidak memiliki talenta, sehingga akan dilaksanakan oleh orang lain. Dalam hal ini team building menjadi sangat relevan (team work maximization).

Dalam kehidupan ini sering terjadi beragam pilihan sebelum keputusan dibuat. Dalam dekade terakhir, pilihan yang dihadapi semakin banyak. Tadinya diharapkan bahwa adanya lebih banyak pilihan akan membuat suatu keputusan menjadi lebih baik. Namun menurut Schwartz, B. (2004), masyarakat modern merasakan semakin tidak puas walaupun kebebasan mereka untuk memilih diperluas. Mengapa hal ini terjadi? Masyarakat modern pada umumnya sepakat untuk memegang teguh komitmen tentang kebebasan individu. Namun diperlukan pembelajaran untuk membuat pilihan yang terbaik dan pada saat yang bersamaan diharuskan membuat pilihan dari sekian banyak alternatif.

Beberapa pelajaran dan kesimpulan dari penelitian tentang the paradox of choice (Schwartz, B., 2004), terdapat beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran:
• Masyarakat akan lebih baik jika menetapkan batasan (constraint) terhadap kebebasan memilih daripada tidak memberi pilihan.
• Masyarakat akan lebih baik jika mencari apa yang disebut taraf good enough (cukup baik), dan bukan terbaik.
• Masyarakat akan lebih baik jika menurunkan tingkat ekspektasi hasil dari keputusan yang dibuat.
• Masyarakat akan lebih baik jika keputusan yang dibuat bersifat non reversible (tidak bolak-balik),
• Masyarakat akan lebih baik jika kita memberikan perhatian yang tidak berlebihan terhadap hal-hal di luar kewajaran

Dalam kesimpulan di atas, Schwartz, B. ingin menunjukkan bahwa conventional wisdom yang menyatakan semakin banyak pilihan bagi masyarakat akan menjadikannya lebih baik tidak sepenuhnya benar, paling tidak terhadap kepuasan yang dicapai dari keputusan yang dibuat.

LEADERSHIP CHALLENGES

Critical Thinking As A Foundation

Intelligence merupakan bagian terpenting dari fungsi brain. Oleh karenanya, membahas intelligence sesungguhnya menyentuh bagian terpenting dari Human Living Structure. Kecerdasan tidak lahir begitu saja. Namun sumber dari intelligence tersebut adalah critical thinking. Paul, R. N. & Elder, L. (2009) mendefinisikan “Critical Thinking is the disciplined art of ensuring that you use the best thinking you are capable of in any set of circumstances.“

Dari definisi Critical Thinking ini dapat disimpulkan bahwa arti yang terkandung menyangkut mental ability behind the success of organization. Secara nyata dapat dikatakan bahwa Critical Thinking merupakan salah satu bentuk intelligence. Selanjutnya kalau dilihat Elements of Critical Thinking meliputi:
• probing;
• proving;
• asking the right questions; and
• anticipating problems.

Keempat elemen critical thinking diatas pada dasarnya merupakan big aspect of leadership. Beberapa praktisi secara jelas mengakui pentingnya peranan critical thinking bagi pemimpin (leader). Sptizer & Evans, 1977 mengatakan bahwa “The great executive throughout recent history were not just people in action, but also people capable of thoughts (critical thinking). Bahkan Jack Welch, 2001 mengatakan juga bahwa “I don’t care if an executive went to a top business school. That does not matter to me, it is more about a way of thinking something I call Healthy & Skepticism”.

Untuk melihat hubungan antara critical thinking, intelligence, leadership competence, dan leadership performance, dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini:



Gambar 5. Hubungan antara Critical Thinking, Intelligence, Leadership Competence, dan Leadership Performance

Critical thinking dapat terbentuk apabila terdapat paling tidak tiga kondisi: terciptanya situasi yang terbebas dari ketakutan (freedom of thinking), berpikir positif, dan adanya komitmen untuk menerima perbedaan. Rasa takut (fear) akan membunuh tumbuhnya kecerdasan. Musuh terbesar dari intelligence adalah terciptanya rasa takut yang biasanya dianut oleh pemimpin yang anti kecerdasan atau yang mengedepankan kekuasaan. Positive thinking diperlukan karena proses berpikir positif akan menciptakan perasaan positif dan pada akhirnya akan melahirkan keinginan (desire) yang positif.

Komitmen untuk menerima perbedaan sangat besar pengaruhnya karena berkaitan dengan kebebasan untuk menghargai diri sendiri dan pada saat yang bersamaan menghargai pendapat dan kehendak orang lain, Perbedaan kalau dimaknai secara positif dapat merupakan kekayaan yang menjadi penyubur critical thinking.

Dengan critical thinking dapat tercipta intelligence melalui pembelajaran (learning) dan mentoring. Pembelajaran (learning) dapat dilakukan melalui proses belajar (study), observasi dan pengalaman. Sedangkan mentoring, baik tradisional (klasik) maupun power mentoring merupakan salah satu bentuk atau cara mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru melalui transformasi pengalaman, baik yang bersifat keberhasilan maupun kegagalan.

Apabila tingkat intelligence dapat dicapai, maka terciptalah leadership competence yang mencakup kemampuan pemimpin untuk menyesuaikan diri (adaptive capacity), kemampuan untuk berbagi dengan yang dipimpin (share of meaning), kemampuan emotional intelligence dan pemilikan integritas yang meliputi kompetensi, ambisi dan moral compass (kejujuran). Kesemuanya ini, jika dirangkum akan melahirkan kinerja kempemimpinan yang dapat diukur paling tidak dari fungsi utama seorang pemimpin, yaitu: (1) seberapa jauh pemimpin yang bersangkutan mampu menyusun dan mewujudkan masa depan negara atau organisasi yang dipimpinnya; (2) seberapa jauh, pemimpin yang bersangkutan, mampu menyikapi dan membuat keputusan menghadapi perubahan.

Executive Intelligence for Great Leader

Istilah executive intelligence sering mengemuka tatkala intelligence dihubungkan dengan fungsi seorang pemimpin. Istilah Great Leader, biasanya ditujukan untuk mendefinisikan pemimpin yang memiliki kemampuan luar biasa dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan. Beberapa istilah lain, misalnya master conductor, business guru, sering digunakan secara silih berganti untuk menunjukkan kehebatan seorang pemimpin.Setiap great leader memiliki executive intelligence. Executive intelligence merupakan kemampuan yang distinctive dari manusia (leader) yang ditunjukkan melalui tiga jenis kemampuan: penyelesaian tugas, mengerjakan tugas melalui orang lain, dan kemampuan untuk menentukan sikap dan penyesuaian yang diperlukan (Menkes, J., 2005).

Tahapan kelahiran executive intelligence dimulai dari proses berpikir, karena proses berpikir mempengaruhi feeling manusia, dan selanjutnya feeling ini akan mempengaruhi desire/wanting (keinginan) manusia. Pikiran yang positif akan melahirkan feeling positif dan feeling prositif melahirkan keinginan dan tindakan positif. Dengan dibarengi oleh adanya komitmen menerima perbedaan, lahirlah critical thinking yang menjadi landasan kelahiran executive intelligence. The leadership challenge yang muncul adalah perlu pemahaman dan komitmen untuk mengembangkan kualitas kepemimpinan yang mengedepankan kecerdasan (intelligence). Salah satu pendekatan yang dapat ditentukan adalah inisiatif untuk melahirkan learning organization dengan mengedepankan prinsip-prinsip learning: melalui proses belajar baik bagi pemimpin maupun masyarakat yang dipimpin, observasi dari kejadian-kejadian yang bersifat substantive bagi organisasi dan membuka kesempatan untuk mengembangkan pengalaman bagi seluruh jajaran

A Need for Great Leader

Kualitas kepemimpinan maksimal yang hendak dicapai (greatness) membutuhkan keberadaan great leader. Great leader membutuhkan level kecerdasan excecutive (excecutive intelligent). Dan great leader pada akhirnya memerlukan great leadership. Lahirnya great leader umumnya melalui proses yang panjang karena tidak hanya melibatkan satu jenis kecerdasan. Dalam lingkungan yang sangat kompleks, penguasaan berbagai jenis intelligence,rasional, emotional dan spiritual, mutlak dimiliki oleh seorang great leader. Mengingat great leadership merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan great leader, maka untuk mencapai itu, pendekatan yang dapat digunakan adalah intelligence based leadership.

Intelligence based leadership ini mencakup pemahaman tentang intelligence dan implementasinya ke dalam fungsi-fungsi leadership, seperti:
• pencegahan masalah sebelum terjadi. Ini dapat dilakukan dengan mengetahui kesalahan kesalahan mendasar bagi pemimpin antara lain: kurang fokus terhadap orientasi masa depan;
• kurang perhatian terhadap mentoring;
• lemahnya sistem komunikasi;
• pengambilan keputuan yang sewenang-wenang (dictatorship);
• ketiadaan passion, empathy, dan compassion (emotional intelligence);

Untuk mencapainya perlu dikembangkan budaya organisasi yang selalu melakukan transformasi pengalaman menjadi pengetahuan (transform experiences into knowledge). Hal yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui, bahwa penghalang utama lahirnya intelligence adalah adanya rasa takut (fear). Oleh karena itu pendekatan yang harus diikuti hendaknya mengedepankan pola kepemimpinan yang menjauhkan lahirnya rasa takut bagi keseluruhan level organisasi. Dalam hal ini pengembangan tema relationship building menjadi prioritas. Kepemimpinan yang mengedepankan domain relationship building memiliki unsur-unsur: adaptability, developer, connectedness, empathy, harmony, include, individualization, positivity, dan relator. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Klann, G. (2007) yang menyatakan atribut terpenting dalam character building adalah:

• courage;
• caring;
• optimism;
• self-control;dan
• communication.

Sedangkan menurut Kouzes & Posner (2007), karakteristik yang berpengaruh dalam menentukan Admired Leaders, adalah sebagai berikut:
• honest;
• forward-looking;
• inspiring;
• competent;
• strengths finder;
• team maximization;dan
• emotional intelligence;

Era of Limit

Era of limit ini merupakan aspek kepemimpinan yang penting namun kurang memperoleh perhatian yang seharusnya. Era of Limit menjadi semakin penting bukan karena ditujukan pada perseorangan, namun era tersebut memberikan informasi atau fakta sejarah, budaya, dan arena yang memungkinkan pemimpin untuk bertindak. Era of Limit ini berbeda dengan generasi yang berubah setiap periode tertentu. Namun era dimaksud ditandai oleh peristiwa penting (defining events) yang mungkin terjadi setiap kurang lebih dua puluh tahun. Sebagai contoh era dimana kita dibesarkan hingga menjelang dewasa tetap merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap kehidupan kita.

Dalam dua puluh tahun terakhir telah terjadi berbagai peristiwa penting yang ditandai oleh kelahiran internet, dan berakhirnya perang dingin. Sebagai contoh, pada era ini telah terjadi pergeseran dari era analog ke era digital. Perubahan era ini mengakibatkan karakter kepemimpinan yang diperlukan juga berubah mengingat challenge yang dihadapi juga berbeda. Perbedaan tersebut meliputi antara lain pandangan hidup, aspirasi, live balance, dan tantangan lainnya. Perbedaan antar era dapat memunculkan isu-isu kepemimpinan yang penting antara lain:
• sejalan dengan keterbatasan usia manusia (limit of human presence) maka pemimpin juga tak terkecualikan, sehingga pertanyaan yang muncul adalah kapankah seorang pemimpin harus turun (step down),
• kondisi apa yang menjadi faktor untuk dipertimbangkan (new era is waiting),
• sudahkah pemimpin yang bersangkutan menyiapkan penggantinya (successor),
• siapkah secara mental sebagai pemimpin untuk dikalahkan oleh pemimpin lainnya (leadership transition). Kesalahan umum dilakukan dalam transisi kepemimpinan adalah bahwa pemimpin cenderung untuk mempertahankan jabatannya lebih lama dari yang seharusnya, dan pemimpin yang memegang jabatan terlalu lama dari seharusnya, cenderung membuat kerusakan yang lebih besar dari yang memimpin terlalu pendek dari yang seharusnya.

Semua pertanyaan di atas terkait dengan kemampuan dan kepekaan pemimpin untuk mengetahui tanda-tanda (era of limit). Disinilah pentingnya peran intelligence terutama emotional, dan spiritual intelligence.


LEADERSHIP PERFORMANCE

Designing the Future of Nation (Organization)

Fungsi utama seorang pemimpin adalah mendesain masa depan dari masyarakat (organisasi) yang dipimpinnya. Mendesain masa depan memerlukan kemampuan dan seni tersendiri yang mensyaratkan pemimpin tersebut mampu melahirkan visi dan misi serta strategi yang tepat. Selama melibatkan masa depan, berarti peranan kemampuan dan intelligence menjadi sangat menonjol terutama pemanfaatan right hemishpere (otak kanan) karena melibatkan imajinasi dan kreativitas pemimpin tersebut. Disamping itu perlu diingat bahwa executive intelligence, sebagaimana diuraikan pada bagian leadership challenge, merupakan elemen yang penting dalam proses ini.

Fungsi kedua berhubungan dengan bagaimana menyikapi perubahan yang terjadi, melalui penetapan paradigma baru, dan berani mengambil keputusan serta bersedia untuk menanggung risiko terhadap kemungkinan yang terjadi. Di sini diperlukan keberanian untuk berkorban (willing to sacrifice) karena seorang pemimpin perlu menyadari fungsinya untuk memberikan pelayanan, mengajak dan menciptakan harapan untuk kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Perubahan dapat bersumber dari dalam organisasi atau dipaksakan oleh lingkungan yang selalu berubah. Untuk menyikapi perubahan yang terjadi perlu dikembangkan leadership competencies (Bennis, G. W. & Thomas, J. R., 2007), yang terdiri dari :

• Adaptive capacity, kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan melalui kerja keras, pembelajaran, first class noticer) dan kreativitas.
• Share of meaning, memahami perasaan pihak lain melalui empathy, dan
• Voice, kemampuan untuk menetapkan tujuan, self awareness, self confidence dan emotional intelligence
• Integrity, memiliki keseimbangan ambisi, kompeten, dan moral compass.

Leadership performance akan selalu dikaitkan dengan kedua fungsi penting kepemimpinan di atas, selain fungsi manajemen lainnya yang sudah seharusnya dikuasai oleh pemimpin agar kinerjanya menjadi maksimal, termasuk membangun distinctive competence dan resources atau sumber daya dalam penciptaan nilai (value creation) sehingga akan tercipta competitive advantages secara berkesinambungan.




CONCLUSION

Berdasarkan pembahasan berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, beberapa kesimpulan penting dapat diambil: Pertama, bahwa peranan intelligence menjadi semakin penting setelah adanya pemahaman yang lebih luas terhadap fungsi-fungsi brain & mind. Kedua, akar dari kecerdasan adalah critical thinking dan intelligence merupakan akar dari talenta atau competencies. Selanjutnya competence akan melahirkan pendewasaan yang merupakan penyubur kelahiran wisdom. Wisdom akan merupakan the prime seater dari kebahagiaan. Ketiga, kebahagiaan yang berakar dari intelligence dan menjadi persyaratan penting yang menentukan kinerja kepemimpinan, karena hanya pemimpin yang cerdas dan pernah merasakan kebahagiaan berpeluang memberikan harapan dan kebahagiaan kepada masyarakat.

Keempat, Perkembangan terbaru dari brain science menunjukan tren kehadiran conceptual age, neuroplasticity dan kekuatan subsconcious mind yang perlu dimanfaatkan, munculnya masalah paradox of choices yang berakibat tingkat kepuasan masyarakat menurun akan menjadi tantangan tersendiri. Kelima, human (leadership strength) perlu diidentifikasi oleh setiap pemimpin karena merupakan syarat bagi kesuksesannya. Melalui strength finder ini akan memungkinkan pemimpin sekaligus memahami kelemahannya sehingga dapat memaksimalkan team work yang dimilikinya. Keenam, Setiap pemimpin yang sukses sudah sewajarnya mengetahui dan memahami tanda-tanda perubahan era (era of limit). Perubahan era ini mengakibatkan karakter kepemimpinan yang diperlukan juga berubah mengingat challenge yang dihadapi juga berbeda. Perbedaan tersebut meliputi antara lain pandangan hidup, aspirasi, live balance, dan tantangan lainnya. Perbedaan antar era memunculkan isu-isu kepemimpinan yang penting, antara lain: sejalan dengan keterbatasan usia manusia (limit of human presence), kapankah seorang pemimpin harus turun; kondisi apa yang menjadi faktor untuk dipertimbangkan (new era is waiting); sudahkah pemimpin menyiapkan pengganti (successor); dan siapkah secara mental sebagai pemimpin untuk dikalahkan oleh pemimpin lainnya (leadership transition).

Ketujuh, Implikasi yang timbul adalah diperlukannya intelligence based leadership yang memanfaatkan secara maksimal potensi otak atau mind untuk menjawab tantangan yang ada dan mencapai kinerja kepemimpinan yang maksimal, melalui learning (study, observation, dan experience), mentoring dan pengembangan rational, emotional dan spiritual intelligence secara terus menerus disamping executive intelligence yang mutlak harus dimiliki setiap pemimpin yang sukses.

REFERENSI
Bennis, Warren G., & Thomas, Robert J. 2007. Leading For A Lifetime. Harvard Business School Press, Boston.
Brockman, John. 2005. What We Believe But Cannot Prove: Todays leading thinkers on science in the age of certainty. Simon & Schuster, London.
Doidge, Norman. 2007. The Brain That Changes Itself. Penguin Group, New York.
Finzel, Hans. 1994. The Top Ten Mistakes Leaders Make. Cook Coomunication Ministries, Colorado.
Freston, Kathy, 2008. Quantum Wellness: A step-by-step guide to health and happiness. Ebury Publishing. New York.
Goldberg, Elkhonon. 2006. The Wisdom Paradox. Gotham Books, New York.
Golemen, Daniel. 2006. Social Intelligence: The new science of human relationship. Bantam Book, New York.
Klann, Gene. 2007. Building Character: Strengthening the heart of good leadership. John-Wiley & Sons, New York.
Kouzes, James M., & Posner, Barry Z. 2007. The Leadership Challenge. John Willey & Sons, San Fransisco.
Menkes, Justin. 2006. Executive Intelligence. Harper Collins Publisher. New York.
Murphy, Joseph. 2000. The Power of Subconscious Mind. Prentice Hall Press. New York.
Newberg, Andrew, & Waldman, Mark R. 2006. Born to Believe. Simon & Schuster, New York.
Osho. 1999. Courage: The joy of living dangerously. St. Martin Griffin. New York.
Schwartz, Barry. 2004. The Paradox of Choice. Harper Collins Publisher, New York.
Pfeiffer, Trish., Mack, John E., & Deveraux, Paul. 2007. Mind Before Matter. John Hunt Publishing. London.
Pink, Daniel H. 2005. A Whole New Mind. Penguin Group. New York.
Rath, Tom, & Conche, Barry. 2008. Strengths Based Leadership. Gallup Press, New York.
Roberto, Michael A. 2009. Know What You Don’t Know. Wharton Publishing School. New York.
Zohar, Danah. & Marshall, Ian. 2004. Spiritual Capital. Bloomsbury Publishing Plc., London