Jumat, 13 Agustus 2010

KAJIAN TATA RUANG DAN PENGELOLAAN KAWASAN SUBAK, UNTUK BALI YANG LEBIH BAIK

KAJIAN TATA RUANG DAN PENGELOLAAN KAWASAN SUBAK,
UNTUK BALI YANG LEBIH BAIK

Oleh : Wayan Windia


PENGANTAR
Dalam Perda Prov.Bali No.02/PD/DPRD/l972 pada dasarnya diisyaratkan bahwa subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Kemudian Arif (l999) memperluas pengertian sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan bahwa adalah lebih tepat kalau subak itu disebut memiliki karakter sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk di dalamnya teknis pertanian dan teknis irigasi.
Selanjutnya, Sutawan dkk (l989) melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak di Bali. Gatra religius pada sistem subak ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih pura yang dikelola subak. Disamping itu, ada juga Sanggah Catu (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra religius pada sistem subak di Bali mencerminkan keberadaan dari konsep parhyangan sebagai salah satu komponen dari THK, disamping tentunya, konsep palemahan dan pawongan. Kalau konsep parhyangan ditunjukkan dengan adanya pura pada kawasan subak, maka konsep palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah pada sistem subak, dan konsep pawongan ditunjukkan dengan adanya petani dan organisasinya. Parhyangan, palemahan dan pawongan yang merupakan komponen dari THK, pada dasarnya memiliki hubungan timbal-balik dalam melandasi eksistensi sistem subak di Bali. Sedangkan THK adalah merupakan suatu konsep pemikiran yang dijiwai oleh Agama Hindu, dan relevan dalam kaitannya dengan sistem kebudayaan.
Adapun hubungan antar elemen THK (parhyangan, palemahan, dan pawongan) sebagai landasan kegiatan sistem subak, serta kaitannya dengan elemen/subsistem kebudayaan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1.


















Gambar 1. Hubungan antar elemen THK, dan kaitannya dengan sistem kebudayaan.


Dari kajian yang disebutkan sebelumnya, kiranya dapat dikemukakan bahwa sistem irigasi subak pada hakekatnya sudah menyatu dengan kehidupan dan sosio-kultural masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Atau dengan kata lain, sistem irigasi subak pada hakekatnya adalah suatu sistem irigasi yang yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat. Suatu sistem irigasi yang didasarkan atas sosial-kultural masyarakat sering dianggap sebagai sistem irigasi yang sepadan dengan berbagai keunggulannya, karena merupakan sistem irigasi yang kuat, yang pada dasarnya mampu mengetahui dan memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri (otonum). Dalam bahasa ilmu politik, organisasi seperti ini sering disebutkan sebagai organisasi dengan predikat good governance (McGinnis, 1999). Adapun kekuatan yang ada pada sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural masyarakat, seperti halnya pada sistem subak di Bali adalah karena kemampuannya untuk menyerap teknologi yang berkembang dalam kurun waktu tertentu, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya (Windia, 2002).
Disamping keunggulan-keunggulannya, maka organisasi sistem irigasi yang bersifat sosio-kultural mengandung kelemahan yakni ia tidak sanggup menahan intervensi dari pihak luar. Hal ini tercermin dari adanya alih fungsi lahan yang sangat deras. Kalau lahannya sudah semakin sempit, maka pengelolaan sistem subak akan semakin kacau, yang pada gilirannya akan menghancurkan sistem subak tersebut. Kalau hal ini sampai terjadi secara besar-besaran, dan sistem subak menjadi hilang dalam kepustakaan sistem irigasi dunia, maka dunia pada dasarnya telah kehilangan sebuah sistem irigasi yang paling baik di dunia, dan Bali telah kehilangan sebagian dari kebudayaannya. Sutawan (2005) menyebutkan bahwa kalau sistem subak di Bali hancur, maka kebudayaan Bali akan ikut hancur.
Oleh karenanya, kalau kita ingin melestarikan sistem irigasi subak di Bali, maka kita harus : (i) mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Bali; (ii) mempertahankan keberlanjutan sumberdaya air untuk irigasi; (iii) mempertahankan batas-batas antar subak yang jelas; (iv) mempertahankan sistem organisasi subak yang fleksibel, yakni sistem organisasi yang disesuaikan dengan kepentingan setempat; (v) memperkokoh kelembagaan subak; dan (vi) mempertahankan konsep harmoni dan kebersamaan dalam pola-pikir masyarakat (petani) dalam pengelolaan sistem irigasi, sesuai dengan konsep THK yang melandasi sistem irigasi subak. Dalam kaitan ini, kawasan subak sangat penting ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Dengan demikian keberlanjutannya akan lebih terjamin.

KEBERADAAN SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALI

Keberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumberdaya air yang tersedia. Tumpang tindih kawasan sistem subak dengan sistem desa (adat/pakraman dan dinas) di Bali dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 2.











Gambar 2. : Tumpang tindih antara desa adat,desa dinas, dan subak di Bali.

Sementara itu keberadaan subak di Bali, dapat digambarkan pula seperti terlihat pada Gambar 3. Di mana terlihat ada satu subak yang mendapat air dari satu bendung, dan selanjutnya ada beberapa subak yang mendapat air dari satu bendung, dan keberadaannya tumpang tindih dengan kawasan desa.

Gambar 3. Eksistensi satu subak yang mendapat air dari satu bendung dan beberapa subak yang mendapat dari satu bendung

Selanjutnya, adanya otonomi pada sistem subak, sistem desa pakraman, dan sistem desa dinas, ternyata sangat membantu menghindari konflik, meskipun lahannya saling tumpang tindih. Sebab dengan adanya otonomi, maka masing-masing sistem akan membuat keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain, serta masing-masing diantara mereka mampu mengadakan kordinasi untuk mencegah konflik. Misalnya, kalau ada konflik dalam suatu subak, maka mereka akan berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kalau tidak bisa, maka pada umumnya mereka akan mengadakan kordinasi dengan pimpinan desa pakraman atau desa dinas untuk ikut memecahkan masalahnya, tergantung dari, dengan pihak mana , sistem subak itu bermasalah. Dalam bahasa ilmu politik, kondisi semacam ini disebut sepadan dengan konsep polisentri (McGinnis, l999).
Dalam beberapa kasus yang sempat dicatat, tampaknya petani (subak) berada dalam posisi yang lemah, dalam berhadapan dengan sistem desa pakraman dan sistem desa dinas. Misalnya, kasus yang berkait dengan penyungsungan (pengelolaan) pura subak. Dengan adanya alih fungsi lahan yang kini terjadi dengan sangat cepat, maka banyak areal subak yang semakin menyempit. Akibatnya iuran yang masuk ke kas subak untuk mengayom dan menyungsung pura subak semakin sedikit. Kenyataan ini sangat menggelisahkan subak, karena petani harus menanggung beban yang semakin berat. Karena kemampuan petani yang sangat terbatas, maka banyak pura subak yang tampaknya terlantar dan tidak terpelihara. Arif (l999) menyebutkan bahwa tampaknya ada hubungan yang kuat antara kondisi pura subak dengan baik-buruknya organisasi sistem subak yang bersangkutan.
Interview yang dilakukan terhadap beberapa tokoh desa pakraman dan desa dinas, tampaknya mereka enggan untuk menerima beban tambahan guna mengayom dan menyungsung pura subak yang terlantar. Mereka menginginkan adanya fatwa dari pemda setempat tentang bagaimana harus mengayom pura subak yang terlantar tsb. Sebab untuk mem-preline (menghancurkan/tidak mengelola lagi) pura subak yang eksis di kawasanya, mereka sama sekali tidak berani. Mereka juga menginginkan agar penduduk yang dahulu membeli sawah di sebuah kawasan subak untuk dibangun menjadi rumah, diharapkan menjadi pengayom/penyungsung pura subak yang terlantar tsb. Namun ada kecendrungan penduduk tsb. tidak bersedia, karena banyak diantara mereka sudah mengayom pura di tempat asalnya, atau mereka bukan umat yang beragama Hindu.
Tampaknya, sesuatu yang sebaliknya terjadi di kalangan subak. Kasus Subak Pelengan di kawasan Desa Bitra-Gianyar, pada mulanya kawasan subak itu adalah bekas kawasan desa pakraman yang ditinggalkan penghuninya, karena ada bencana alam. Ketika kawasan desa itu dirubah menjadi sawah (subak), maka petani di kawasan subak yang baru dibuat itu, dengan tulus mengayom pura-pura kahyangan - tiga (tiga pura milik desa pakraman, yakni pura desa,puseh, dan dalem) yang berlokasi di kawasan subak tsb. Hal ini menunjukkan bahwa petani anggota subak lebih loyal dalam mengambil tanggung-jawab pengelolaan pura yang diterlantarkan oleh masyarakat desa pakraman tertentu, dibandingkan dengan loyalitas masyarakat desa pakraman untuk mengelola pura subak yang terlantar.
Hal ini berarti bahwa di satu pihak, petani kita selalu berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan masyarakat hukum adat yang lain, karena selalu bersedia mengambil alih tanggung-jawab pengelolaan pura yang terlantar. Sedangkan di pihak lain dapat pula dianggap bahwa petani tampaknya lebih religius dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini tampaknya seirama dengan penelitian yang dilakukan Windia dkk (2001) di Gianyar, yang menemukan bahwa pada dasarnya keberlanjutan THK di kalangan subak, tampaknya lebih besar dibandingkan dengan keberlanjutan THK pada masyarakat desa pakraman. Sementara itu, dalam suatu penelitian di Kenya ditunjukkan bahwa tampaknya ada hubungan antara aktivitas penduduk dalam melakukan upacara keagamaan dengan etos kerja dari masyarakat yang bersangkutan. Kalau hal itu benar, maka tampaknya berarti bahwa etos kerja di kalangan petani lebih baik dibandingkan dengan etos kerja di kalangan masyarakat desa pakraman.
Selanjutnya dapat disebutkan bahwa keberadaan sistem subak di Bali tidak terlepas dari peranan para raja yang memegang pemerintahan di Bali. Tercatat bahwa keberadaan sistem subak di Bali telah didahului dengan keberadaan sistem pertanian yang telah berkembang di Bali sejak tahun 678 (Wardha,l989; dan Arfian. 1989). Hal ini berarti bahwa keberadaan sistem subak di Bali memerlukan waktu sekitar 393 tahun sejak perkembangan sistem pertanian. Adapun keberadaan sistem subak di Bali adalah sejak tahun 1071 (Purwitha, l993).
Peranan raja-raja dalam sistem irigasi di Bali, ditemukan dalam penelitian arkeologi yang menunjukkan adanya subsidi berupa pembebasan bagi petani yang bekerja di lahan beririgasi. Subsidi seperti itu, tidak diberikan kepada petani di lahan kering. Pada zamannya, para raja memberikan ijin bagi pembukaan sawah baru dengan memanfaatkan kawasan hutan yang ada di sekitar kawasan sawah yang sudah eksis. Sekaligus memberikan ijin untuk mengalirkan air sungai ke lahan sawah yang telah dibuat oleh petani. Karena pengaruh raja yang sangat kuat pada sistem pertanian dan sistem irigasi (subak), dan raja adalah pada hakekatnya juga sebagai pimpinan adat di kawasan ybs. maka sistem irigasi subakpun berkembang pula sebagai lembaga adat yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat. Dengan demikian sistem irigasi subak dapat juga disebutkan sebagai suatu lembaga adat yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya, karena Agama Hindu yang berkembang saat terjadinya perkembangan subak di Bali memiliki konsep THK, maka sistem subakpun berkembang berlandaskan konsep THK tsb. yang diterapkan oleh subak dalam pengelolaan sistem irigasinya.
Selanjutnya sistem irigasi subak terus berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini dianggap sebagai suatu yang lumrah, karena sistem irigasi yang berdasarkan pada sosio-kultural masyarakat setempat selalu akan berkembang seirama dengan perkembangan lingkungannya. Pusposutardjo (l996) menyebutkan keadaan itu sebagai suatu proses transformasi sistem subak dengan lingkungannya. Adapun perkembangan yang saat ini terjadi dalam sistem subak di Bali adalah : (i) cakupan pengelolaan sistem subak; (ii) kelembagaan sistem subak; (iii) kewenangan pengelolaan sistem subak; dan (iv) stakeholders/komponen-komponen yang berperan dalam sistem subak.

WUJUD KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SISTEM SUBAK

Sistem irigasi subak sejatinya adalah suatu sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Artinya, aspek teknis yang diterapkan dalam sistem subak dalam mengelola sistem organsasi dan sistem irigasinya, disesuaikan dengan aspek sosial yang berkembang di kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan aturan-aturan yang berkait dengan sistem irigasi yang menyatakan bahwa pada dasarnya suatu sistem irigasi seharusnya bersifat sosio-teknis. Jadi,sistem subak telah jauh sebelumnya membuktikan dirinya sebagai sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Adapun karakter teknis ataupun karakter teknologi yang berkembang pada sistem subak adalah karakter teknologi yang sudah berkembang sesuai dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Jadi dengan demikian, sistem subak di Bali dapat juga dipandang sebagai suatu teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat setempat, atau suatu teknologi yang sudah sesuai dengan fenomena budaya masyarakat setempat (Poespowardojo, 1993). Karena sistem subak dapat dianggap sebagai suatu sistem kebudayaan (teknologi yang sudah menjadi budaya masyarakat), maka elemen-elemennya dapat dikaji berdasarkan subsistem pola-pikir/nilai, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Selanjutnya, kalau kita coba mengkaji elemen-elemen sistem subak yang sejatinya merupakan wujud dari penerapan konsep THK dalam kesehariannya, kiranya dapat disebutkan sebagai berikut.

1.Subsistem pola-pikir/nilai/konsep atau Parhyangan
• Air dianggap sangat bernilai dan sangat dihormati, dan dianggap sebagai ciptaan Tuhan YME.
• Adanya sistem pura dalam sistem subak sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, yang juga dianggap sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap sistem pengelolaan irigasi yang dilakukan oleh subak ybs.
• Secara rutin menyelenggarakan upacara keagamaan.
• Pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan konsep harmoni dan kebersamaan.
• Disediakan lahan khusus untuk bangunan suci pada lokasi yang dianggap penting.
• Lahan yang mungkin tersisa pada lokasi bangunan-bagi (tembuku) umumnya dibangun bangunan suci, mungkin untuk menghindari konflik atas lahan tsb.

2.Subsistem sosial atau Pawongan
• Ada awig-awig subak.
• Pengelolaan air terakuntabilitas.
• Hak atas air dan lahan, sangat dihormati.
• Ada sistem pelampias dalam pengelolaan sistem irigasi.
• Adanya sistem organisasi (subak) yang strukturnya sangat fleksibel.
• Ada kegiatan gotong royong dan pembayaran iuran secara proporsional untuk mensukseskan kegiatan subak.
• Ada rapat subak secara rutin.
• Anggota subak umumnya tidak keberatan kalau lahan yang tersisa pada pembangunan bangunan-bagi dimanfaatkan untuk bangunan suci.

3.Subsistem artefak/kebendaan atau Palemahan
• Air irigasi mengalir secara kontinyu melalui bangunan bagi, dan ikut “diawasi” oleh para Dewa yang bersemayam pada sistem pura yang ada di kawasan itu.
• Ada konsep tektek dalam pembagian air irigasi, yang merupakan konsep pembagian air secara proporsional (berkeadilan).
• Air irigasi yang diperoleh petani-anggota subak, adalah proporsional dengan iuran yang dibayarkan dan tenaga kerja yang harus disediakan oleh petani dalam kegiatan-kegiatan subak.
• Adanya kebiasaan saling pinjam meminjam air irigasi.
• Adanya kerjasama antar pengurus dan anggota dalam pelaksanaan program subak.
• Adanya koordinasi antar pimpinan subak dengan pimpinan lembaga lain di lingkungan sekitarnya (misalnya, dengan pimpinan desa pakraman, kepala desa dinas dll.).
• Topografi lahan subak pada umumnya miring.
• Setiap komplek/blok sawah milik petani anggota subak, memiliki bangunan sadap dan saluran pembuangan (draenasi) sendiri-sendiri (one inlet and one outlet system).
• Adanya batas wilayah subak yang jelas,
• Adanya bangunan dan jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan petani.
• Subak pada umumnya memanfaatkan bahan lokal untuk kepentingan pembangunan jaringan irigasinya.

Selanjutnya, sesuai pula dengan prinsip-prinsip THK, maka pembangunan dan pemanfaatan artefak (sarana irigasi) dalam sistem subak tampaknya telah diarahkan sedemikian rupa agar mampu mewujudkan kebersamaan dan harmoni di kalangan anggota subak. Adapun artefak yang dimanfaatkan oleh sistem subak antara lain adalah sebagai berikut.

1. Bendung (empelan), pada umumnya dibangun dengan mencoba-coba, sehingga ditemukan lokasi yang paling efektif dan efisien. Bangunan bendung umumnya dibangun pada sebuah tikungan sungai.
2. Saluran irigasi (telabah), umumnya dibangun dengan sistem terbuka. Hal ini memungkinkan karena kawasan subak pada umumnya dengan topografi miring.
3. Trowongan (aungan), akan dibangun oleh petani, kalau ia gagal membangun saluran irigasi yang terbuka. Bagian atas trowongan selalu dibuat melengkung, agar selalu ada udara di atas permukaan air yang masuk ke trowongan itu.
4. Bangunan-bagi (tembuku), selalu dibangun dengan prinsip pembagian air secara proporsional, dan umumnya dibangun dengan sistem numbak, dan tidak dengan sistem ngerirun.

Selanjutnya karena melihat keunggulan-keunggulan dari sistem subak kita, maka pada dasarnya sistem subak ini dapat saja ditransformasikan ke daerah lain, meski dengan latar belakar budaya yang lain. Asalkan saja, sistem subak yang ditransformasikan adalah sistem/konsepnya yang bersifat universal. Sebab konsep THK pada dasarnya sangat universal yang selalu ada pada adat dan budaya masyarakat lain, yakni yang kita sebut dengan konsep harmoni dan kebersamaan. Inti dari penerapan THK pada dasarnya adalah harmoni dan kebersamaan. Konsep universal inilah yang selalu harus kita dengung-dengungkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat luas. Khususnya dalam pengelolaan kawasan yang semakin kompleks dan mungkin ada potensi konflik.

SUBAK DAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN BALI

Seperti dikemukakan di depan bahwa sistem subak berlandaskan THK. Dalam konsep sistem kebudayaan, THK yang melandasi sistem subak adalah analog dengan sistem kebudayaan. Parhyangan analog dengan sistem pola pikir/nilai/konsep, pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak/kebendaan.
Pertama, dalam aspek parhyangan/subsistem pola-pikir, kegiatan yang dilakukan subak adalah berkait dengan pelaksanaan upacara, kebersamaan/harmoni, kepercayaan adanya kekuatan spiritual yang ikut mengontrol/mengawasi pelaksanaan kegiatan di kawasan subak, dll. Kedua, dalam aspek pawongan/subsistem sosial, kegiatan yang dilakukan subak adalah mengatur organisasinya agar sesuai dengan kondisi lokal, adanya sanksi sosial bagi pelanggar aturan subak, adanya awig-awig subak, adanya kerjasama dalam pemanfaatan air irigasi, adanya pelaksanaan gotong-royong, dll. Ketiga, dalam aspek palemahan/subsistem artefak (kebendaan), kegiatan yang dilakukan subak adalah membagi air irigasi secara proporsional, adanya sistem one inlet and one outlet, membangun bangunan suci pada kawasan tertentu yang dianggap rawan konflik, dll. Harus dicatat bahwa semua kegiatan subak tersebut, bertujuan dan menuju pada harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat THK tersebut. Kajian di atas (yakni melalui kajian dari aspek pola pikir/nilai/konsep, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan) dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengkaji organisasi-organisasi yang menyebut dirinya dengan sebutan “subak”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada sistem subak adalah kegiatan-kegiatan yang analogis dengan implementasi dari kebudayaan Bali. Sementara itu sistem subak pada hakekatnya adalah salah satu wujud dari sistem kebudayaan Bali. Wajarlah kalau disebutkan bahwa eksistensi subak dengan segala kegiatan yang dilakukan adalah suatu wujud untuk melestarikan kebudayaan Bali. Persoalannya saat ini adalah bagaimana caranya agar sistem subak di Bali tetap dapat eksis dalam rangka melaksanakan dharmanya melestarikaan kebudayaan Bali.
Sejak adanya opini publik yang menyatakan bahwa pemda telah bertindak tidak adil dengan hanya membantu desa-pakraman (dengan memberikan bantuan finansial, dan berbagai fasilitas lainnya), dan sebaliknya tidak memberikan bantuan yang sepadan pada sistem subak, maka kini pihak pemda tercatat telah mulai memberikan perhatian yang memadai pada sistem subak.
Kini, Pemda Bali telah memberikan bantuan berupa block grant pada semua subak di Bali masing-masing Rp.20 juta. Demikian pula hanya pemda Badung telah memberikan bantuan langsung kepada masing-masing subak di daerah ini sebesar Rp. 10 juta. Banyak lagi bantuan yang diberikan oleh pemda Badung kepada subak di daerah ini, baik berupa kebijakan dan berupa finansial, yang dimaksudkan untuk memberdayakan dan memperkokoh eksistensi subak.
Dukungan dan bantuan yang seharusnya diberikan kepada sistem subak agar tetap dapat mampu berperan sebagai bamper arus global dan melestarikan kebudayaan Bali, seharusnya dilihat dari ketiga aspek seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yakni aspek/subsistem pola pikir, aspek/subsistem sosial, dan aspek/subsistem artefak (kebendaan).

1. Subsistem pola pikir/konsep
• Pemerintah daerah perlu memiliki kebijakan yang jelas yang memihak pada sektor pertanian (termasuk subak dan subak abian), di mana salah satu indikatornya adalah cerminan pada alokasi dana pada APBD.
• Perlu fasilitasi untuk bisa dikembangkan konsep harmoni dan kebersamaan antar sector perekonomian, yang dapat mendorong terwujudnya percepatan pembangunan pertanian. Selama ini dominasi sektor pariwisata sangat dominan.
• Perlu dibangun kesadaran bahwa sektor pertanian tidak hanya sebagai produsen bahan makanan (fungsi tangible), namun juga memiliki fungsi intangible (fungsi yang tak dapat dilihat secara nyata).
• Perlu ada kebijakan/dorongan untuk mengembangkan pendidikan menengah di sektor pertanian, namun dengan kurikulum yang mampu mendidik keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman (misalnya, pendidikan tentang keterampilan hidroponik, dll.) .
• Perlu ada kebijakan untuk meringankan beban masyarakat yang bekerja di sektor pertanian (misalnya keringanan pajak, ada subsidi, proteksi, dll.).
• Perlu ada kebijakan/aturan yang tegas tentang berapa seharusnya ada sawah dan kebun di daerah tertentu.
• Perlu ada peraturan daerah (perda) tentang sistem subak, yang bersisi substansi-substansi tentang kewajiban pemerintah untuk memperkokoh subak.

2. Subsistem sosial
• Sistem subak (termasuk subak-abian) perlu lebih diberdayakan, dan diarahkan untuk kegiatan di bidang ekonomi (membangun koperasi tani). Sebelumnya perlu dibangun beberapa proyek percontohan pembangunan koperasi tani pada beberapa subak, dan juga di subak-abian.
• Bantuan pemerintah untuk kegiatan bisnis di sektor pertanian, perlu diberikan kepada subak dan juga subak-abian yang sudah memiliki koperasi tani.
• Petani perlu dididik untuk berdagang.
• Perlu dibentuk wadah koordinasi antar subak (subak-gede) yang mengkoordinasikan subak-subak yang mendapatkanair irigasi dari satu sumber air irigasi/bangunan-bagi.
• Perlu dibentuk wadah koordinasi antar semua sistem irigasi (subak-agung) yang mengkoordinasikan subak-subak dalam satu aliran sungai.
• Perlu dibentuk lembaga sedahan-agung yang mandiri yang setara dengan dinas/badan di tingkat kabupaten.

3. Subsistem artefak/kebendaan.
• Perlu ada dana yang bersifat block grant pada petani/subak, dan besarnya dana tersebut perlu diberikan secara proporsional.
• Kredit perbankan perlu lebih memihak pada sector pertanian (perkebunan).
• Sawah dan kebun yang ditetapkan harus dipertahankan di suatu wilayah tertentu perlu diberikan kompensasi yang sepadan.
• Sebelum ditetapkan aturan (perda) untuk menetapkan sejumlah sawah dan kebun yang harus dipertahankan, perlu ada proyek percontohan untuk beberapa subak dan subak-abian tertentu.
• Perlu ada bantuan peralatan kepada petani/subak dan subak abian.
• Perlu ada pengembangan industri hilir (industri yang mengolah produk pertanian), dan lembaga pasar yang sepadan untuk menjamin adanya pasar bagi produk pertanian.

KAJIAN TATA RUANG DAN SUBAK
Di depan telah dibahas tentang eksistensi subak dan hal-hal yang harus mendapatkan perhatian. Hal ini penting, agar petani mampu mendapatkan kesejahteraannya. Sementara itu sektor pertanian dapat berkembang optimal dan tidak tersisihkan. Berbicara tentang tata-ruang tak bisa dilepaskan dari kesejahteraan masyarakat di kawasan tsb. Kalau masyarakat masih miskin, tidak mendapatkan manfaat nyata dari kebijakan tata ruang tertentu, maka kondisi itu tampaknya sangat rawan. Karena kebijakan apapun yang akan dibuat, termasuk kebijakan tata ruang, tampaknya akan gagal. Masyarakat akan melabraknya.
Seperti diketahui bahwa batas kawasan subak pada dasarnya adalah merupakan batas-batas hidroligis. Artinya, sampai di mana suatu sumber air tertentu mampu mengairi suatu lahan (sawah), maka sampai di sanalah batas subak yang bersangkutan. Tata ruang kawasan itu hanya diperuntukkan bagi bangunan Pura Subak (Pura Bedugul dan Pura Ulun Carik), bangunan balai subak, dan sisanya adalah merupakan kawasan persawahan. Penerapan sistem tanam di kawasan subak, disesuaikan dengan ketersediaan air irigasi pada suatu waktu tertentu. Kalau air irigasi tersedia (misalnya pada musim hujan), maka seluruh kawasan subak melakukan penanaman (padi) secara bersamaan. Kalau air tidak tersedia cukup, maka pertanaman dapat dilakukan secara bergilir, misalnya dibagi dalam dua bagian (hulu dan hilir), atau digilir menjadi tiga bagian (hulu, tengah, dan hilir).
Kalau beberapa subak mendapatkan air irigasi dari satu sumber (bendung yang besar), maka seluruh subak-subak yang mendapatkan air irigasi dari satu bendung tersebut, umumnya membuat wadah koordinasi yang disebut dengan Subak-gde. Selanjutnya subak-subak yang berada dalam satu sungai atau lebih, di mana di kawasan itu minimal sudah ada satu subak-gde, maka mereka umumnya dapat membuat satu wadah koordinasi yang disebut dengan Subak-agung. Dengan adanya sistem organisasi seperti ini, maka organisasi subak dapat dilibatkan dalam proses pengelolaan irigasi/ sumberdaya air, dan dalam proses pengelolaan sistem pertanian.
Dengan adanya wadah koordinasi seperti ini, maka subak mampu melakukan sinergi dan koordinasi dengan seluruh stakeholders internal dan eksternal. Misalnya melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah, lembaga swasta/perusahan, lembaga masyarakat lainnya, dll.
Disamping perlu memperhatikan kesejahteraan petani, maka masyarakat di sekitar kawasan pertanianpun harus diperhatikan kesejahteraannya. Kalau tidak, maka hal itu merupakan potensi konflik. Sementara itu, patut pula dicatat bahwa berbicara tentang kesejahteraan bagi petani, maknanya adalah memperhatikan faktor kunci yang dibutuhkan. Misalnya, jaminan ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk (dan input lainnya) dengan harga yang terjangkau, pajak (PBB) yang tidak mencekik, dan kalau memungkinkan harga output harus dapat dibeli dengan harga yang wajar dan menguntungkan petani. Hal ini akan menyebabakan kondisi Bali yang lebih baik di masa yang akan datang.
Bila hal ini dapat dilakukan, maka petani dengan senang hati akan memelihara ruang hamparan sawahnya. Bahkan mereka akan berkenan menjaga hingga kawasan hulu yang dianggap sebagai sumber air bagi persawahannya. Petani yang tergabung dalam subak di Bali sudah terbiasa mengelola air irigasinya hingga ke kawasan hulu, atau hingga pada sumber air irigasinya.---

DAFTAR PUSTAKA

Arfian S. l989. Pendayagunaan sumberdaya air dan lahan pada zaman Indonesia Kuno di Bali, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak.Sastra UNUD, Denpasar.
Arif,S.S. 1999. Applying philosophy of tri hita karana in design and management of subak irrigation system, dalam a study of subak as indigenous cultural, social, and technological system to establish a culturally based integrated water resources management vol.III (ed : S.Susanto), Fac.of agricultural technology, Gadjah Mada University, Yogya.
Huppert,W and H.H.Walker. l989. Management of irrigation systems : guiding principles, GTZ, Eschborn.
Maskey,R.K. and K.E.Weber. l996. Evaluating factors influencing farmers satisfaction with their irrigation system, a case from the hill of Nepal, dalam Irrigation and Dranage Systems, Vo.l0 th.l996,p.331, Kluwer Academic Publishers, Netherland.
Mc.Ginnis,M.D. l999. Introduction, dalam Polycentric governance and development (ed: McGinnis), The Univ.of Michigan Press, Ann Arbor-USA.
Poespowardojo,S. l993. Strategi kebudayaan, Gramedia, Jakarta.
Purwitha,I.B.P. l993. Kajian sejarah subak di Bali, dalam Subak, sistem irigasi tradisional di Bali (ed; I Gde Pitana), Upada Sastra, Denpasar.
Pusposutardjo, S. l996. Konsep konservasi tanah dan air untuk keberlanjutan irigasi, pidato pengukuhan guru besar di UGM, UGM, Yogya.
Pusposutardjo, S. l997. Nilai ekonomi sumberdaya air, makalah yang disampaikan dalam Forum diskusi kelembagaan sektor pengairan, Surakarta.
Pusposutardjo, S. 2001. Pengembangan irigasi, usahatani berkelanjutan, dan gerakan hemat air, Ditjen Dikti, Jakarta.
Sudira,P. 1999. Pemodelan dan simulasi (diktat), FTP, UGM, Yogya.
Sutawan,N; M.Swara; W.Windia; dan W.Sudana. l989. Laporan akhir pilot proyek pengembangan sistem irigasi yang menggabungkan beberapa empelan/subak di Kab.Tabanan dan Kab.Buleleng, Kerjasama DPU Prop.Bali dan Univ.Udayana, Denpasar.
Sutawan, N. 2005. Subak menghadapi tantangan globalisasi, dalam Revitalisasi subak dalam memasuki era globalisasi (ed : Pitana dan Setiawan), Penerbit Andi, Yogyakarta.
Wardha, I W. l989. Subak dari segi perkumpulan, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak. Satra UNUD, Denpasar.
Windia, W. 2002. Transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan konsep tri hita karana (disertasi, tidak dipublikasikan), PPS-UGM, Yogyakarta.
Windia, W; W.Budiasa; W.Ginarsa; N.G.Ustryana; dan W.Sudarta. 2001. Keberlanjutan sumbnerdaya budaya di Kab.Gianyar, kerjasama Jurusan Sosek Fak.Pertanian UNUD dan Bappeda Kab.Gianyar, FP-UNUD, Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar