Jumat, 13 Agustus 2010

KESEIMBANGAN BALI SELATAN - UTARA

KESEIMBANGAN BALI SELATAN - UTARA

Agus S Mantik

Kenyataan yang ada sekarang ini bukan saja tiadanya keseimbangan diantara Bali Selatan dengan Bali Utara melainkan diantara Kabupaten Badung dengan daerah lainnya di Bali, bahkan diantara Kuta dengan keseluruhan Bali yang lainnya. Jadi yang ada adalah Badung dan sisanya merupakan keseluruhan Bali yang lainnya. Mengapa bisa terjadi demikian? Padahal dari sudut sejarah Buleleng yang paling dahulu dijajah Belanda dan sejak itu pengenalan kebudayaan Barat oleh Belanda didalam dunia pendidikan misalnya sangat terasa. Di Buleleng yang paling dahulu terjadi gerakan pembaharuan agama dan sosial dan sejak jaman kemerdekaan guru guru sekolah paling banyak datang dari Buleleng. Di Buleleng barangkali yang paling dahulu terjadi demokratisasi dan hal ini bisa kita lihat dari perbendaharaan bahasa Bali nya yang egaliter (sama dan hampir hampir tidak ada perbedaan bahasa halus dan kasar).
Bibit dari perkembangan yang demikian barangkali terjadi sejak dilaksanakannya keputusan untuk memindahkan ibukota Bali dari Singaraja ke Denpassar. Pemerintahan (pada waktu itu) memandang perlu bahwa (barangkali secara logistik) terlalu jauh berhubungan dengan dunia luar kalau ibu kota tetap di Singaraja. Jadi pertimbangan satu satunya adalah pertimbangan tiada nyamannya (inconveniences) bagi mereka yang memerintah untuk naik mobil 2 samppai 3 jam kalau mau naik pesawat terbang keluar daerah atau kalau menjemput tamu atau atasan dari Pusat yang berkunjung ke daerah. Mereka tidak pernah berfikir bahwa pandangan cupet dan mementingkan diri sendiri seperti ini (short sightedness) akan membawa implikasi yang luar biasa bagi kemajuan sebahagian besar Pulau Bali. Yang lebih mengerikan lagi mereka menunjuk daerah Renon sebagai pusat pemerintahan (civic centre) padahal Renon adalah daerah sawah yang subur dengan aroma nasi yang khas dan terkenal diseluruh Bali (Yang satunya lagi adalah beras Gelgel yang biasanya disantap oleh ratu Belanda akan tetapi akhirnya tertimbun lahar. Jadi dengan sirnanya Gelgel dan Renon Bali sesungguhnya kehilangan cukup banyak).
Ketika perpindahan terjadi, bibit bibit bahwa pariwisata akan menjadi andalan perekonomian Bali sudah lama terlihat ; pantai pantainya serta pemandangan umumnya yang indah dan kebudayaannya sudah lama menjadi perhatian publik dunia. Pariwisata di Bali berkembang karena kekuatannya sendiri dan pemerintah (baik pusat maupun daerah) mungkin baru memahaminya ketika perkembangannya sudah jauh dan sampai sekarang barangkali belum tahu apa yang mereka harus perbuat. Apabila kita memiliki pemerintah yang mengerti maka barangkali pemindahan ibukota tidak akan terjadi.
Yang terjadi sekarang, Badung menjadi demikian strategisnya dan ’bersahabatnya’ dari sudut ekonomi sehingga kegiatan apapun kelihatan paling menguntungkan kalau dimulai dari kabupaten ini ; disamping itu konsumen juga ada disini sehingga tidak diperlukan tambahan biaya transportasi untuk sampai kepada mereka. Proses menjadi ghetto (ghettoization) yaitu segregasi suatu daerah dibandingkan dengan lingkungannya sendiri sudah terjadi dan ini berbahaya. Disatu fihak ‘kemajuan ekonomi’ akan menarik demikian banyaknya buruh migrant sehingga suatu saat akan terjadi keadaan dimana sebuah daerah bahkan sebuah kota menjadi tidak bisa diperintah (tidak manageable) dan ambruk atau bangkrut. Hal ini pernah terjadi dimana mana termasuk di New York dan Cleveland Amerika. Yang kedua pemerintah setempat akan selalu keteter didalam pelayanan sosial dan hal ini sudah sangat terasa di Denpassar apalagi di Kuta.
Dari semua hal yang menjadi penyebab maka ada satu hal yang patut disebutkan juga yaitu rasa rendah diri para pemimpin lokal akan segala sesuatu yang datang dari ‘Pusat.’ Contoh paling akhir adalah pembangunan Garuda Wisnu Kencana di kawasan Kuta. Ketika rencana pembangunan ini disosialisasikan para pemimpin Bali yang ada di Pusat berceritera tentang perlunya ada landmark (1) kalau wisatawan mau melihat Bali. Yang kedua (2) adalah gagasan bahwa di Bali ada limaribuan sekeha seni (pada waktu itu) sehingga andaikata 10 macam kesenian yang berbeda di pentaskan di GWK setiap hari maka jumlahnya tidak akan habis habisnya. Orang orantg bodoh yang merencanakan hal ini semestinya paham bahwa Bali sudah terlalu termashur sehingga tidak memerlukan landmark baru dan andaikatapun memang harus dibangun maka timbul pertanyaan mengapa tidak dibangun di Teluk Terima atau di Tejakula saja sehingga daerah itu juga berkembang dan menikmati kemakmuran Badung?
Masih adakah harapan bahwa akan ada pembangunan yang merata (equitable) diseluruh kawasan di Bali? Hal tersebut adalah mungkin akan tetapi diperlukan persyaratan yang tidak mudah. Yang pertama tentu saja adanya sebuah perencanaan yang terintegrasi untuk keseluruhan Bali dan rencana itu tentu saja dikordinasikan dengan daerah tetanggga Bali yaitu Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Keinginan Sutiyoso mengenai megapolitan sebenarnya tidak berbeda dengan keperluan Bali untuk memiliki perencanaan yang terintegrasi untuk seluruh Bali. Perencanaan yang terpenggal penggal seperti sekarang atas nama otonomi daerah sebenarnya sangat merugikan Bali ; Bali terlalu kecil untuk memiliki perencanaan individual seperti itu. Perencanaan seperti ini akan mengurangi teriakan dan wacana klise tentang pemindahan ibukota seeperti yang sekarang lagi gencar gencarnya di Jakarta. Memang pemindahan ibukota sangat ideal akan tetapi berapa biayanya? Berapa lamanya dan apakah ada biaya untuk itu? Apakah hal itu bisa menjadi prioritas didalam keadaan rakyat yang memprihatinkan seperti sekarang? Hal yang lebih mungkin adalah adanya semacam moratorium misalnya sebuah daerah (dalam hal ini Kabupaten Badung) untuk diproyeksikam memiliki zero growth didalam waktu 10 tahun. Zero growth bukan berarti Badung tidak berkembang melainkan tetap berkembang akan tetapi beberapa kegiatan (baik ekonomi, sosial dan pemerintahan) mulai dipindahkan keluar Badung. Hal ini misalnya bisa dimulai dengan pemindahan kegiatan kegiatan yang menimbulkan polusi seperti pemeliharaan babi, ayam atau usaha sablon dll. Khusus untuk daerah Kuta, semua bentuk industri seperti kegiatan produksi garment, sepatu, kerajinan dan sejenisnya agar di-phased-out didalam waktu maksimal 3 tahun. Phase-out dan relokasi ini harus dengan persiapan matang dan disini pentingnya ada perencanaan yang terintegrasikan serta juga kerjasama dengan daerah tetangga. Sebab kalau pemindahan dari areal Kuta hanya ke Dalung saja misalnya maka tidak akan ada artnya ; daerah yang akan menerima tentu saja juga dipersiapkan. Hal yang juga mungkin adalah rencana relokasi dari pendidikan tinggi keluar dari daerah Badung misalnya didalam rencana 6 – 8 tahun. Pusat pendidikan bisa menjadi semacam locomotive yang menggerakkkan perekonomian sebuah daerah apalagi kalau pusat pendidikan ini disiapkan untuk menjadi pusat pendidikan yang par excellence.
Hal terakhir yang mungkin adalah memindahkan keagenan semua barang import keluar dari daerah Badung sebab kalau dilihat dari biaya transportasi, jauhnya Denpassar dibandingkan dengan Singaraja (misalnya) dari Jakarta tentu saja relative sama sehingga relokasi ini tidak akan menambah biaya yang berarti ; dengan demikian pengangkutan dan kemudian distribusinya sudah tidak lagi mulai dari Badung. Disamping itu dengan perbaikan yang berarti (penambahan beberapa fasilitas) barangkali dimungkinkan untuk mengangkut barang barang import itu melalui entry port Buleleng. Hal ini sangat penting sebab dari sudut transportasi kita tidak tahu sampai berapa lebar jalan Gilimanuk Denpassar bisa dibangun. Penambahan beberapa port of entry(ies) akan sangat banyak membantu meringankan beban jalan jalan di Bali.
Barangkali pengkajian mengenai relokasi ini perlu pembahasan yang lebih mendalam akan tetapi ada satu hal yang patut dipastikan : dengan relokasi ini sudah pasti Badung, juga daerah Kuta dan Denpassar akan mengalami kwalitas hidup yang lebih baik. Disamping itu daerah daerah ini akan menjadi lebih fokus didalam kegiatan yang memang diperuntukkan bagi daerah mereka.
Inti dari semua pembicaraan mengenai pembangunan Bali sesungguhnya menyangkut hal yang paling pokok yaitu adanya equitable distribution of wealth dan hal ini hanya mungkin dicapai apabila daerah lain selain Badung dberi kesempatan dan kesempatan ini hanya akan terjadi kalau ada otoritas pembangunan yang mencakup keseluruhan Bali.
Banyak sekali hal yang patut diperdebatkan secara luas misalnya saja bagaimana Bali 10 tahun atau 20 tahun yang akan datang. Bagaimana jadinya kecenderungan pembangunan kalau apa yang sedang berjalan sekarang dibiarkan saja berjalan demikian.
Sebab sekarang ini perkembangan Bali mengarah kepada pariwisata supermarket, dimana segala sesuatu yang menghasilkan uang dibiarkan saja berkembang. Contoh yang paling actual adalah wisata naik gajah (anda akan menangis kalau melihat bagaimana binatang langka ini dilatih), Bali sebagai shopping destination dst. Bahkan dipelbagai daerah ada kecenderungan seperti orang yang mati akal dan menyambut dengan enthusiasme tinggi proyek apa saja yang masuk termasuk juga proyek miras dan café masuk desa.
Sebagai contoh apa jadinya segitiga Denpassar-Sanur-Kuta kalau mass tourism benar benar terealisir kalau suatu saat nanti pesawat superjumbo seperti Airbus A 380 masuk Ngurah Rai. Dengan keperluan pelayanan catering dll-nya yang sekian kali pesawat jumbo jet biasa maka kedatangan satu pesawat saja akan membuat segitiga ini macet total.
Apakah sudah terlambat kalau sekarang difikirkan kembali dan dikaji ulang mengenai tourisme budaya, rohani dan alam sesuatu yang pada saat yang lalu pernah kita anggap sebagai tujuan?
Ada juga beberapa orang yang menyebut diri mereka pakar dan mengatakan bahwa kita tinggalkan saja kegiatan pariwisata dan kembali menekankan kepada pertanian. Kalau saja hal seperti itu dilaksanakan maka disektor pariwisata dimana kita sekarang ini hanya sebagai pemain pembantu saja, kita akan sungguh sungguh tersisih. Sektor itu tentu dengan gembira akan diambil alih oleh fihak lain.
Apakah identitas ke-Bali-an kita dan dalam pada itu kita memperoleh kemakmuran melalui modernisasi dan pembangunan bisa berjalan bersama? Artinya yang satu tidak menghilangkan yang lainnya. Atau apakah identitas ke-Bali-an itu perlu?
Saya teringat akan kisah didalam Injil ketika seluruh bangsa Israel dibuang ke Babylonia setelah ditaklukkan. Ketika itu Nabi mereka Nehemiah hanya menasihati mereka agar dipembuangan mereka jangan saling berjauhan akan tetapi tetap saling berdekatan. Didalam waktu yang tidak terlalu lama bangsa Israel yang asalnya adalah pengangon domba berhasil menguasai perekonomian Babylonia dan pada akhirnye menyebar keseluruh dunia sebagai pedagang, bankir dan industrialist yang hebat. Mereka tidak kehilangan identitas ke-Yahudi-an mereka dan nasihat Nehemiah itu ternyata sangat bijak ; kalau mereka terpencar maka melalui kawin silang dsb mereka akan lenyap sebagai bangsa. Sebaliknya orang Bali yang dijual ke Batavia dan pada abad ke 18 mencapai jumlah 50% populasi budak (yang sebahagian besar akhirnya menjadi laskar VOC) sama sekali kehilangan identitas mereka ; si Pitung dan Untung Suropati adalah dua contoh yang termashur.
Atau barangkali harus dipertanyakan apakah identitas Ke-Bali-an itu perlu?


MODAL BERGULIR BAGI UKM


Saya merasa perlu untuk mengetengahkan dasar falsafah seperti ini karena sejak kita merdeka maka siapa saja yang berkuasa selalu saja mengabaikan rakyat kecil. Barangkali perangkap kekuasaan (the trappings of power) menyebabkan mereka terlena sehingga semboyan yang mereka dengung-dengungkan yang mengatas-namakan rakyat tinggal hanya sebagai semboyan saja. Padahal didalam susastera dengan jelas dikatakan bahwa kehidupan politik dan ekonomi dari masyarakat diharapkan untuk memperoleh ilhamnya dari hal yang bersifat rohani. Azas ini kalau dipertahankan dan terus diingat oleh mereka yang memerintah tentu saja akan menyelamatkan negara dari korupsi dan ketidak-adilan sosial. Kedaulatan tidaklah disamakan dengan kepentingan dari kelas yang memerintah melainkan dari seluruh rakyat. Saya mengutip Prof Radhakrishnan yang mendasarkan pendapatnya pada susastera bahwa masyarakat adalah organisasi yang hidup, satu pada asal dan tujuannya dan berbagai bentuk didalam operasinya. Tidak akan ada kemerdekaan yang sesungguhnya dibahagian atau kelas yang manapun didalam masyarakat selama ada sebahagian yang terbelenggu. Adalah cita cita demokrasi yang sesungguhnya yang digumamkan didalam mantra : saras taratu durgani sarvo bhadrani pasyatu / sarvas tad buddhim apnotu sarvas savatra nandatu. Semoga semuanya menyeberangi dengan aman tempat yang sulit didalam kehidupan, semoga semuanya melihat muka dari kebahagiaan. Semoga semuanya mencapai pengetahuan yang benar itu, semoga semuanya bersyukur dimanapun mereka berada. 1)
Apa yang dikatakan oleh Prof Radhakrishnan ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Amartya Sen, seorang ekonom tulen didalam pengertian kedisiplinan ilmu ekonomi modern. Prof Sen yang sangat memahami sejarah terutama sejarah negerinya memasukkan dimensi dimensi filosofis dan etika didalam analisanya. Dia berpendapat bahwa model Barat yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi ternyata kurang berhasil menjangkau kesejahteraan kaum miskin. Karya Sen, peraih Nobel untuk Ekonomi pada tahun 1998, sangat berarti karena perhatiannya yang sungguh sungguh tentang bagaimana sumberdaya didistribusikan dengan fokus anggota masyarakat yang paling miskin. 2).
Prof Sen banyak mempergunakan istilah entitlemment (hak milik) dan deprivation (perampasan hak hak) dan berkata bahwa pembangunan dapat dilihat sebagai proses perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh rakyat. Jadi pembangunan bukan hanya menyangkut pertumbuhan GNP atau peningkatan pendapatan pribadi, industrialisasi, kemajuan teknologi dan modernisasi masyarakat. Tentu saja pertumbuhan GNP atau peningkatan pendapatan per orang bisa merupakan alat untuk mempperluas kebebasan yang dinikmati oleh anggota masyarakat. Akan tetapi kebebasan juga tergantung dari determinan determinan yang lain, misalnya pengaturan sosial-ekonomi, seperti penyediaan fasilitas pendidikan, pemeliharaan kesehatan, demikian pula jaminan atas hak hak sipil dan politik. Dengan demikian pusat perhatian pembangunan adalah perluasan kebebasan substantive.
Pendapat ini kemudian diperluas didalam bukunya Development as Freedom dimana dia menjelaskan bahwa negara atau masyarakat yang lebih siap untuk industrialisasi adalah dimana terdapat tingkat melek huruf yang tinggi dan juga pelayanan kesehatan masyarakat yang ekstensive. Dia mengambil salah satu contoh Jepang pada tahun 1860 yang tingkat melek huruf dan basic health care- nya sudah lebih luas daripada di Inggris. 3). Sen juga mengambil contoh diberbagai negara dan berkaca dari analisis Prof Sen ini maka tidak boleh tidak kita bisa mengambil dua kesimpulan : yang pertama bahwasanya peranan pemerintah atau yang memerintah adalah penting ; peranan negara didalam mendistribusikan kemakmuran tidak bisa dikesampingkan. Yang kedua kalau kita melihat sejarah politik negara kita maka tiada satupun dari mereka yang pernah memegang kekuasaan dinegara ini pernah secara serious menangani basic education dan basic health care.
Dengan mempergunakann acuan Prof Radjhakrishnan diatas dan analisa Prof Sen ini kita sampai pada pendapat bahwasanya penganak tirian dan tiada bersungguh sungguhnya pemerintah didalam menangani kemajuan kelompok usaha yang paling besar jumlah anggotanya didalam masyarakat ini adalah juga perampasan hak dan tiadanya kebebasan (unfreedom) ; sebagai warga negara mereka tidak ikut memperoleh kesempatan untuk memakai fasilitas dana yang disediakan oleh pemerintah maupun sektor pembiayaan swasta. Dari sudut ekonomi mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk meminjam (borrowing capacity) akan tetapi dari sudut persyaratan tekhnis mereka menjadi tidak bankable. Pendekatan terhadap usaha UKM, pembiayaan mikro dan koperasi memerlukan pendekatan yang berbeda dengan corporate finance. Disatu fihak persyaratannya barangkali bisa lebih diperkendor karena jumlah yang dipinjam tidaklah besar dibandingkan dengan pembiayaan perusahan besar (korporat) akan tetapi sangat diperlukan institusi pendanaan yang mengkhususkan diri didalam pembiayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. Jaman dahulu BRI dan BDN (yang mewarisi tradisi Belanda), para ’agen Bank’ berkeliling kepasar pasar dan menawarkan pembiayaan on the spot. Bank Bank ini sangat dirasakan sebagai bahagian dari masyarakat didalam pembangunan keseluruhan komunitas (community development). Agen agen ini memahami komunitas dimana mereka bergerak, mengenal dengan baik toko toko atau usaha yang akan mereka bantu pembiayaannya. Ciri ciri dari bank untuk rakyat kecil mereka pertahankan dan bina. Bankir bankir ini tidak membangun citra bahwa mereka adalah makhluk yang lebih superior atau kalau kita masuk kekantor Bank ini tidak ada kesan keangkeran. Citibank yang di negara bahagian New York memiliki 1000 cabang atau Wells Fargo Bank dan Bank of America di California memiliki sejarah permulaan seperti ini. Hanya saja untuk tetap bisa bersaing mereka kemudian merambah ke corporate finance tanpa melupakan dari mana mereka berasal. Bank Grameen di Bangladesh tetap bertahan hanya didalam tradisi ini. Penanganan kredit kecil, menengah dan mikro tentu saja bukan atas dasar kelengkapann dokumen atau paperworks akan tetapi juga dari atas dasar pengenalan yang lebih mendalam dari pejabat Bank terhadap komunitas dimana mereka berada. Bank yang membiayai UKM atau koperasi barangkali kelihatan tidak segagah atau sementereng Bank yang mengurusi corporate finance akan tetapi didalam hal resiko Bank Bank yang terakhir ini tentu memiliki resiko yang jauh lebih besar.
Hal lain yang patut juga memperoleh perhatian adalah bahwasanya UKM dan koperasi memiliki jangkauan informasi yang tidak sebanding dengan perusahan perusahan besar dan dari sinilah sebenarnya pembinaan UKM bisa dilaksanakan dengan tepat guna. Pembinaan UKM dan koperasi oleh perusahan besar tidaklah dimulai dan berakhir pada penunjukan oleh perusahan besar peluang business apa saja yang tersedia. Pembinaan dimulai ketika perusahaan besar itu belajar keseluruhan proses produksi dari peluang itu dan mendidik anak asuhnya berupa UKM atau koperasi untuk pada akhirnya memahami dengan benar proses produksi itu. Sesudah itu perusahan besar Pembina (baik swasta maupun BUMN) memastikan kepada UKM atau koperasi yang dibinanya bahwa berapapun produk yang dihasilkan oleh mereka, asalkan sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Pembina akan dibeli oleh Pembina dengan harga tertentu. Disini ada semacam buy back guarantee oleh Pembina kepada mereka yang dibinanya.
Banyak kesuksesan atas gagasan mengenai buy back guarantee ini. BAT (British American Tobacco sudah sejak sebelum perang membeli tembakau rakyat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan bahkan di Buleleng dengan menerapkan persyaratan ini. Demikian juga Monsanto di Sulsel walaupun kemudian berhenti karena issue kapas transgenic yang dihembuskan oleh Uni Eropa karena takut tersaing ; belum pernah ada penanaman kapas seberhasil apa yang dilaksanakan oleh bimbingan Monsanto. Contoh didalam dunia otomotive adalah produksi knalpot dari sebuah fabrik mobil Jepang di Indonesia. Fabrik ini memiliki banyak pemasok dengan kwalitas yang beragam. Pada akhirnya fabrikan ini memanggil semua pemasok knalpotnya dan menjelaskkan kepada mereka bahwa sejak saat itu, jenis knalpot yang akan diterima oleh fabrik adalah dari pemasok yang mengikuti standard mutu bahan baku dan urutan produksi sesuai dengan yang ditentukan oleh fabrikan ; urutan produksi dari A sampai Z diajarkan dan diawasi oleh fabrik dan ketika para pemasok memulai produksi dengan standard seperti itu, fabrik memang memenuhi janjinya untuk membeli semua produk yang dihasilkan.
Perusahaan besar yang menjadi Bapak angkat ini kalau memang serious ingin membantu seyogyanya membentuk sebuah unit usaha yang khusus menangani masalah ini, menjadikan unit usaha ini sebagai buying and marketing agent. Sudah pasti pertimbangan pokoknya tetap pertimbangan ekonomi sebab untuk apa membina unit usaha yang merugi yang tentu saja juga akan merugikan para anak angkatnya. Didalam unit usaha ini tranparansi sangatlah penting serta juga partisipasi aktif dari para anak angkat, sebab pada akhirnya kalau unit usaha ini berhasil atau menjadi besar, para anak angkat akan ikut berpartisipasi didalam management.
Didalam perkembangan berikutnya unit usaha dari Bapak Angkat ini bisa menjadi alat untuk menstabilkan harga komoditas tertentu sebab didalam fluktuasi harga seperti ini produsen (dalam hal ini petani) tidaklah diuntungkan. Misalnya didalam pembelian cabe atau bawang merah dari petani, pada saat harga tinggi barangkali Uniit Usaha akan membeli produksi dengan harga tertentu yang dibawah harga pasar akan tetapi ketika harga jatuh, Unit Usaha ini tetap membeli dengan harga yang sama atau tidak serendah harga pasar. Dengan demikian petani produsen diselamatkan akan tetapi didalam pada itu Unit Usaha memang akan memiliki simpanan yang akan dimanfaatkan pada saat harga jatuh.
Unit Usaha seperti ini sesungguhnya merupakan cikal bakal dari Induk Koperasi dan management dari Perusahaan Besar yang menjadi Bapak Angkat bisa memutuskan apakah Unit Usaha ini akan di-spin-off untuk dijual atau diberikan kepada para Anak Angkat atau dibiarkan menjadi bahagian yang permamen dari Perusahaan Besar itu sendiri.
Sekarang mengenai peranan pemerintah :
Didalam meningkatkan pendapatan petani fresh produce di Bedugul, Petang, Penebel, Tirta Gangga skema mengenai buyback guarantee akan sangat ideal. Petani perseorangan, koperasi atau kelompok tani tentu saja tidak mungkin diminta untuk membuat semua fasilitas pengawetan ditempat maupun di bandara serta juga berhubungan dengan calon pembeli dinegeri tetangga. Persiapan beragam ini hanya mungkin dilaksanakan oleh pemerintah dan perusahaan besar yang memiliki jangkauan yang luas walaupun sudah ada beberapa yang mencobanya. Konsekwensi daripada hal ini adalah tiada mampunya petani/kelompok tani/koperasi untuk bertahan. Mereka menghasilkan banyak fresh produce dengan kwalitas yang bagus akan tetapi harga akhirnya menjadi sangat mahal dan tidak bisa bersaing. Saya melihat sendiri kebun strawberry dengan hasil yang sangat bagus akan tetapi harga pokoknya lebih tinggi. Beberapa tahun yang lalu saya pernah ikut survey mengenai kemungkinan export kiku (bunga Chrysantemum) dari Bedugul ke Jepang ; Bedugul memiliki hawa yang tidak begitu beda dengan Jepang Selatan akan tetapi mereka mundur karena mereka harus pula menanam modal mereka untuk kamar pendingin di bandara.
Hal hal seperti inilah yang harus dilihat oleh penguasa ; pemerintah harus menyediakan fasilitas yang tidak mungkin disediakan oleh perusahaan perseorangan. Disinilah sebenarnya letak peranan pemerintah dan bukan terjun langsung didalam kehidupan koperasi. Sebab seperti dikatakan didalam setiap textbook, pada saat koperasi bahkan unit usaha apapun menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah maka unit itu akan hancur. Pemerintah memfasilitasi, menyediakan sarana sehingga dunia usaha dan koperasi bisa berjalan dengan baik. Medan yang kondusive yang harus difasilitasi oleh pemerintah.
Saya ingin melihat keadaan seperti di Muang Thai bahkan di Singapura dimana petaninya sendiri yang menjadi exportir dan bukan pedagang atau pedagang perantara ; kedekatan bandara dan pemerintah yang care dan tahu apa yang harus mereka kerjakan menyebabkan petani langsung bisa mengepak barang mereka (didalam jumlah yang relative sedikit) membawanya ke bandara dan mengirimnya ke pelanggan yang mereka memang kenal. Mereka tidak perlu stok barang yang besar.


1). Hindu Dharma, oleh Prof SRadhakrishnan, Pustaka Manikgeni
2). Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin? Oleh Amartya Sen, Pustaka Mizan
3). Develeopment As Freedom, Oxford University Press 1999

1 komentar:

  1. Pelajari Injil dan kitab suci lain dengan baik. Berdialoglah. Bukan menang2an. Bukan karena beragama A dan B atau C.

    BalasHapus