Jumat, 13 Agustus 2010

SUMBER DAYA MANUSIA MASYARAKAT LOKAL DALAM INDUSTRI PARIWISTA DI BALI

SUMBER DAYA MANUSIA
MASYARAKAT LOKAL DALAM INDUSTRI PARIWISTA DI BALI

Nyoman Parining*
Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Email: parining@telkom.net


Pendahuluan

Masyarakat dalam bahasa Inggrisnya society yang berasal dari kata Latin yaitu socius yang berarti kawan. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab, yaitu syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi.

Koetjaraningrat mengungkapkan bahwa : “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terkait oleh suatu rasa identitas bersama” (Koentjaraningrat, 1983).

Hassan Shadily mengungkapkan bahwa masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan, pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya (Shadily, 1984).

Dalam masyarakat modern sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dengan masyarakat perkotaan (urban community). Ciri-ciri masyarakat pedesaan sebagai berikut :
• Warga-warga dari masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan mendalam daripada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya.
• Sistem kehidupannya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan.

• Penduduk umumnya hidup dari pertanian. Pekerjaan di luar pertanian hanya merupakan sambilan.
• Pada masyarakat pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja berdasarkan keahlian, akan tetapi biasanya pembagian kerja berdasarkan pada usia, mengingat kemampuan fisik masing-masing dan juga atas dasar perbedaan kelamin.
• Pengendalian sosial masyarakat amat kuat, yang menyebabkan perkembangan jiwa individu sangat sukar dilaksanakan.
• Rasa persatuan sangat erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling kenal dan tolong menolong yang akrab.
• Apabila ditinjau dari sudut pemerintahannya segala sesuatunya disentralisasikan pada diri kepala desa tersebut (Soekanto, 1990).

Sedangkan ciri-ciri masyarakat perkotaan (urban community) sebagai berikut :
• Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa, di kota bersifat secular trend artinya arah kehidupannya cenderung keduniawian, sedangkan kehidupan warga desa cenderung ke arah keagamaan.
• Orang kota umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.
• Pembagian kerja diantara warga-warganya (orang kota) lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata, misalnya guru SMA lebih banyak bergaul dengan rekan-rekannya sesama guru SMA lainnya.
• Kemungkinan pula memperoleh pekerjaan dari warga kota lebih banyak dari warga desa, karena sistem pembagian kerja yang lebih tegas.
• Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi didasarkan pada faktor kepentingan dari faktor pribadi.
• Jalan kehidupan yang cepat di kota mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang diteliti sangat penting untuk mengejar kebutuhan individu.
• Perubahan-perubahan social tampak dengan nyata di kota karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar (Soekamto, 1990).

Partisipasi Masyarakat Lokal

Pembangunan ekonomi pedesaan dengan mengimplementasikan pariwisata pedesaan merupakan tantangan bagi pemerintah terutama kalau mengikutsertakan penduduk lokal sebagai pelaku bisnis pariwisata (Parining, 1997). Masyarakat pedesaan biasanya kurang berpengalaman di dalam mengelola bisnis pariwisata secara profesional, terutama pada negara yang sedang berkembang.

Mengapa penduduk lokal perlu dilibatkan sebagai pelaku dalam industri pariwisata di pedesaan? Salah satu idenya adalah pariwisata pedesaan berdasarkan kebudayaan dan alam. Wisatawan datang ke daerah pedesaan karena keindahan alamnya dan kebudayaannya. Sementara masyarakat yang paling mengerti tentang alam sekitar pedesaan dan kebudayaan lokal tersebut adalah penduduk lokal sendiri. Dengan demikian diharapkan kelestarian alam dan kebudayaan masyarakat setempat bisa terjaga kelestariannya. Ide yang kedua adalah dengan lebih banyak melibatkan penduduk lokal dalam pembangunan pedesaan diharapkan konflik kepentingan baik sosial dan ekonomi bisa dikurangi (Parining, 1997).

Tanpa penyertaan penduduk lokal dalam pariwisata akan bisa menimbulkan kecemasan pada penduduk lokal. Salah satunya adalah persaingan dalam kekayaan alam seperti air dan infrastruktur yang di bangun oleh penduduk lokal. Selanjutnya anak-anak muda takut tanah leluhurnya akan terjual kepada investor (Mormont, 1987). Kalau penduduk lokal dilibatkan lebih banyak, tanah leluhurnya bisa di pertahankan dan diberdayakan secara optimal. Konflik yang disebabkan oleh pariwisata biasanya datang dari penduduk lokal, pelaku ekonomi dan perencana wilayah (Mormont, 1987).

Pelaku ekonomi cendrung mempromosikan ide-ide bahwa pariwisata akan memberdayakan masyarakat lokal, perbaikan infrastruktur dan peningkatan fasilitas kesehatan yang akan menguntungkan daerah setempat (Khan et.al, 1990; Suandra, 1991). Bukti menunjukkan bahwa partisipasi penduduk lokal sangat signifikan pada daerah tujuan wisata di Pulau Grand Cayman, sehingga resort tersebut mendapat dukungan yang besar dari masyarakat lokal (Weaper, 1990). Sebaliknya kasus pada daerah wisata di Walloon, aktivitas pariwisata sebagian besar dijalankan oleh orang asing dari daerah lain. Fasilitas umum seperti air dan jalan-jalan dimana harus berbagi dengan penduduk lokal menyebabkan beberapa protes dari penduduk lokal yang tidak terlibat dalam pariwisata. Konflik yang mirip terjadi juga di Tortuguero Park yang disebabkan karena minimnya partisipasi masyarakat lokal. Hal ini disinyalemen karena sumber daya masyarakat lokal sangat rendah sehingga tidak bisa terserap di sektor pariwisata. Beberapa ratus pendatang yang cukup terampil berdatangan ke daerah tersebut, sementara penduduk lokal meninggalkan daerahnya karena tidak bisa memenuhi syarat untuk bekerja pada industri pariwisata (Place, 1995). Dalam kasus seperti ini, peranan pemerintah diperlukan untuk meningkatkan keterlibatan penduduk lokal, terutama untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan penduduk lokal sehingga bisa terserap pada industri pariwisata.

Konflik horizontal antara penduduk asli dengan pendatang (jumlahnya semakin lama semakin meningkat) di daerah Kuta sudah sampai pada tahap “tention” (ketegangan-ketegangan dalam masyarakat) sebagai akibat adanya persaingan di bidang sosial ekonomi (Suyatna dan Wardana, 1999).


Tenaga Kerja Hotel
Jumlah karyawan hotel sebagian besar berasal dari Bali, kemudian diikuti yang berasal dari luar Bali tapi masih dalam negeri Indonesia dan dari luar negeri. Dari seluruh tenaga kerja yang terserap di sektor hotel, 79,93% terserap pada hotel yang berbintang tinggi.

Tabel 1. Jumlah Karyawan Hotel dan Kelas Hotel di Bali

Kelas Hotel Asal Karyawan Grand Total
Bali
Total Luar Bali
Total Luar Negeri
Total
Hindu Non Hindu Hindu Non Hindu Hindu Non Hindu
Tinggi 10.250 553 10.803 5 1.608 1.613 65 65 12.480
Menengah 1.975 80 2.055 60 60 15 15 2.130
Rendah 920 67 987 20 20 1.007
Total 13.145 699 13.844 5 1.688 1.693 78 78 15.614
Sumber: Diolah dari data primer

Walaupun tenaga kerja yang bekerja di hotel sebagian besar berasal dari Bali, namun managemen hotel juga memerlukan karyawan dari luar daerah Bali. Alasan yang dikemukakan antara lain: (1) umumnya karyawan dari luar Bali beragama Non Hindu, sehingga pada saat hari raya Hindu hotel tidak tutup karena karyawan Hindu banyak yang libur; (2) kebetulan tenaga yang berasal dari luar Bali melamar dan memenuhi persyaratan; (3) nasionalisme dan Indonesia adalah Negara kesatuan sehingga tidak tidak ada pengkotaan SARA sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928, (4) Bali kekurangan tenaga terampil, sehingga diperlukan tenaga dari luar Bali yang cukup terampil, dimana pendidikan di bidang pariwisata di Bali relatip baru; (5) bukan perusahaan daerah; (6) bisa saling tukar keahlian; (7) ownernya dari luar Bali; dan (8) karena pada saat pertama kali hotel dibuka, diperlukan karyawan cukup banyak, sehingga beberapa karyawan dari luar Bali diserap.

Sebagian besar karyawan yang termasuk kategori pimpinan hotel berasal dari Bali baik pada hotel berbintang tinggi, menengah maupun rendah. Namun pucuk pimpinan (General Manager) pada hotel berbintang tinggi sebagian besar berasal dari luar negeri, sementara untuk hotel yang berbintang menengah dan rendah, sebagian besar General Managernya berasal dari Bali (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis dan Asal Pimpinan Hotel dan Kelas Hotel di Bali
Jenis Pimpinan Hotel Asal Karyawan
Hotel kelas Tinggi Hotel kelas Menengah Hotel kelas Rendah
Bali Luar Bali Luar Negeri Bali Luar Bali Luar Negeri Bali Luar Bali Luar Negeri
General Manager 4 7 9 14 3 3 15 5 0
Director of Sales 3 0 0 8 10 2 0 0 0
Sales Manager 6 28 9 19 9 10 13 0 0
F & B Manager 1 10 9 6 0 0 0 0 0
Acct Manager 15 5 0 9 0 0 6 0 0
Chief Security Manager 13 7 0 3 0 0 0 0 0
Personal Manager 0 0 3 16 0 0 9 6 0
Executive Chief 3 0 6 3 0 0 3 0 0
Director of Human Resources 13 0 0 0 3 0 6 0 0
Director of Engineering 0 6 3 0 10 0 0 0 0
Director of Finance 6 0 0 3 17 0 6 0 0
Purchasing Manager 6 8 0 6 3 0 0 1 0
Gm Support 0 0 0 0 4 0 0 0 0
Resident Manager 6 0 0 3 0 0 0 0 0
Dir of Convention 3 0 0 0 0 0 0 0 0
Room Division 9 11 5 6 0 0 0 0 0
Front Office Manager 3 0 0 0 0 0 0 0 0
Material Manager 3 0 0 0 0 0 0 0 0
Controller 0 3 0 0 0 0 0 0 0
Total 94 85 44 96 59 15 58 12 0
Sumber: Diolah dari data primer

Posisi Pimpinan juga diisi oleh tenaga kerja dari luar Bali, bahkan dari luar negeri. Beberapa alasan yang dikemukakan kenapa hotel mempergunakan bukan orang lokal antara lain: (1) karena pertimbangan kemampuan; (2) keseimbangan operasional, terutama untuk mengisi kekosongan pada saat orang lokal (pimpinan yang beragama Hindu) berhari raya; (3) orang lokal kurang disiplin dan kurang mantap dalam berbisnis, karena masih terikat dalam kegiatan kekeluargaan sehingga orang lokal masih terkesan masih lemah dalam menjalankan roda bisnis; (4) karena memakai modal asing, sehingga pimpinanya dipegang oleh orang asing; (5) merupakan cabang perusahaan internasional, sehingga keputusan untuk menentukan posisi pimpinan ditentukan oleh pusat; (6) karena pimpinan seperti sale manager banyak yang ada di luar Bali; (7) stock untuk tingkat pimpinan sangat terbatas di Bali (8) dunia perhotelan lebih dulu ada di luar negeri, sehingga untuk pengembangan hotel masih memerlukan pimpinan di bidang tertentu seperti F&B manager; dan (9) transfer keakhlian, dari tenaga yang terampil di luar orang lokal kepada tenaga kerja lokal dalam pengembangan perhotelan.

Sebagian karyawan yang bekerja di hotel adalah berasal dari Bali, namun hanya sebagian kecil (1,79%) saja dari seluruh karyawan yang berasal dari Bali yang menduduki jabatan pimpinan hotel. Sebaliknya, karyawan yang dari luar Bali dalam negeri Indonesia, prosentasi karyawan yang menduduki jabatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan yang berasal dari Bali. Apalagi kalau dibandingkan dengan karyawan yang berasal dari luar negeri. Dari seluruh karyawan luar negeri yang bekerja di hotel, 70% menduduki jabatan yang cukup penting di industri pariwisata Bali ini.

Tabel 3. Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan
Hotel di Bali.

Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri

Jumlah karyawan 13.844 1.693 80
Pimpinan 248 156 56
Pimpinan/jumlah karyawan 1,79% 9,21% 70,00%
Sumber: Diolah dari data primer

Hal ini berarti bahwa orang Bali baik yang beragama Hindu maupun non Hindu hanya sebagian kecil saja dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan arah dari pembangunan pariwisata di Bali. Hal ini perlu disikapi dengan baik, mengingat orang lokal hanya sebagai buruh rendahan saja di daerahnya sendiri.

Kalau dilihat berdasarkan kelas hotel, semakin rendah kelas hotel, maka persentase dari perbandingan antara karyawan dan pimpinan yang berasal dari Bali semakin tinggi, walaupun persentasenya masih jauh lebih kecil dari tenaga kerja yang berasal dari luar Bali dan luar negeri (Tabel 4). Ini berarti bahwa semakin kecil skala bisnis yang ditekuni, maka semakin besar jumlah masyarakat lokal yang memegang posisi strategis (sebagai pimpinan hotel).










Tabel 4. Asal Karyawan,Kelas Hotel dan Perbandingan yang
Menduduki Pimpinan Hotel di Bali.

Jenis Tenaga Kerja Kelas Hotel
Tinggi Menengah Rendah
Bali Luar Bali Luar Negeri Bali Luar Bali Luar Negeri Bali Luar Bali
Jumlah
karyawan 10.803 1.613 65 2.055 60 15 987 20

Pimpinan 94 85 41 96 59 15 58 12

Pimpinan/
jumlah karyawan 0,87% 5,27% 63,08% 4,67% 98,33% 100% 5,88% 60%
Sumber: Diolah dari data primer

Tenaga Kerja Restoran

Tenaga kerja restoran sebagian besar berasal dari Bali (88,28%) kemudian disusul oleh yang berasal dari luar Bali tapi masih dalam negeri Indonesia dan dari luar negeri (Tabel 5).

Tabel 5. Asal dan Jumlah Karyawan Restoran di Bali

Jumlah
Asal dan Agama Karyawan Orang Persen
Bali Hindu 313 81,51
Non Hindu 26 6,77
Total 339 88,28
Luar Bali Hindu
Non Hindu 43 11,20
Total 43 11,20
Luar Negeri Hindu
Non Hindu 2 0,52
Total 2 0,52
Grand Total 384 100
Sumber: Diolah dari data primer

Alasan memakai karyawan bukan orang lokal antara lain (1) hari rayanya setahun sekali atau tidak terlalu banyak libur karena alasan hari raya; (2) sangat jarang libur karena alasan kepentingan adat; dan (3) karena mempunyai skill yang dibutuhkan oleh managemen restoran.

Pimpinan restoran sebagian besar berasal dari Bali (60,61%) selanjutnya diikuti oleh pimpinan yang berasal dari luar Bali tapi masih dalam Negara Indonesia dan dari luar negeri (Tabel 6).

Namun tingkat pucuk pimpinan (General manager) sebagian besar di pegang oleh karyawan yang berasal dari luar Bali.

Tabel 6. Jenis dan Asal Pimpinan Restoran di Bali

Jenis Pimpinan Asal Pimpinan Restoran
Bali Luar Bali Luar Negeri
General Manager 3 4 2
Sales Manager 4 4 0
Cost control 4 0 0
Kasir 7 1 0
Acc Manager 1 1 0
Personel manager 1 0 0
Chef cook 0 1 0
Jumlah 20 11 2
Persen 60,61 33,33 6,06
Sumber: Diolah dari data primer

Alasan memakai pimpinan yang bukan orang lokal adalah (1) waktu kerjanya sangat disiplin dan (2) mau bekerja keras.

Hal yang mirip terjadi pada karyawan lokal yang bekerja pada restoran, dimana tenaga luar Bali baik yang masih dalam negeri Indonesia maupun luar negeri prosentase yang menduduki jabatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang lokal (Tabel 7). Dari 339 orang karyawan lokal yang bekerja di restoran, hanya 5,90% menjadi pimpinan, sementara tenaga luar Bali dan masih dari Indonesia, yang menduduki tingkat pimpinan prosentasenya lebih besar dari tenaga kerja lokal. Apalagi kalau dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Dimana dari seluruh karyawan yang bekerja di restoran, semuanya menduduki jabatan pimpinan restoran.

Tabel 7. Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan
Restoran di Bali.

Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri
Jumlah karyawan 339 43 2
Pimpinan 20 11 2
Pimpinan/jumlah karyawan 5,90% 25,58% 100,00%
Sumber: Diolah dari data primer

Alasan memakai pimpinan yang bukan orang lokal, diantaranya (1) waktu kerjanya sangat disiplin dan (2) mau bekerja keras, maka hal ini perlu diperhatikan oleh tenaga kerja lokal, sehingga posisi pimpinan bisa lebih banyak didudukinya.

Tenaga Kerja Travel Agen

Rata-rata jumlah karyawan untuk masing-masing travel agen di Bali sebanyak 51,66 orang. Sebagian besar karyawan travel agen berasal dari Bali (71,61%), kemudian disusul karayawan yang berasal dari luar Bali tapi masih dalam negeri Indonesia dan dari luar negeri (Tabel 8).

Tabel 8. Asal dan Jumlah Karyawan Travel Agen di Bali

Jumlah
Asal dan Agama Karyawan Orang Persen
Bali Hindu 200 64,52
Non hindu 22 7,10
Total 222 71,61
Luar Bali Hindu 1 0,32
Non hindu 86 27,74
Total 87 28,06
Luar Negeri Hindu
Non hindu 1 0,32
Total 1 0,32
Grand Total 310 100
Sumber: Diolah dari data primer

Alasan untuk merekrut tenaga bukal lokal adalah (1) pada saat karyawan lokal (yang beragama Hindu) berhari raya, aktivitas travel agen tidak berhenti; (2) memenuhi persyaratan dalam hal pengalaman dan pendidikan; dan (3) kemampuan berbahasa asing cukup bagus.
Asal karyawan tingkat pimpinan travel agen sebagian besar berasal dari Bali, kemudian disusul oleh pimpinan travel agen yang berasal dari luar Bali tapi masih dalan negeri Indonesia, dan dari luar negeri (Tabel 9). Namun pada posisi supervisor, sebagian besar berasal dari luar Bali.

Tabel 9. Jenis dan Asal Pimpinan Travel Agen di Bali

Jenis pimpinan travel Asal Pimpinan Traven Agen
Bali Luar Bali Luar Negeri
General manager 3 2 1
Sales manager 3
Tikceting 2
Act manager 2
Finansial controler 1
Supervisor 3 8
Reservation 1
Operation manager 1
Total 14 12 1
Persen 51,85 44,44 3,70
Sumber: Diolah dari data primer
Beberapa alasan yang dikemukakan, kenapa posisi pimpinan dipegang oleh orang bukan lokal yaitu (1) mempunyai kemampuan yang lebih dalam membina hubungan dengan orang asing; (2) lebih ulet dan disiplin dalam menjalankan bisnis dan (3) tidak terlalu banyak diganggu dengan urusan hari raya dan adat.

Dari semua orang asing yang bekerja di travel agen, semuanya menduduki tingkat pimpinan (Tabel 10). Seperti pada hotel dan restoran, dari seluruh karyawan yang berasal dari Bali, hanya sebagian kecil yang menjadi pimpinan jika dibandingkan dengan karyawan luar Bali dan luar negeri, prosentase yang menjadi pimpinan lebih besar.

Tabel 10. Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan
Travel Agen di Bali.

Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri
Jumlah karyawan 222 87 1
Pimpinan 14 12 1
Pimpinan/jumlah karyawan 6,31% 13,79% 100,00%
Sumber: Diolah dari data primer

Beberapa alasan yang dikemukakan, kenapa posisi pimpinan dipegang oleh orang bukan lokal diantaranya (1) mempunyai kemampuan yang lebih dalam membina hubungan dengan orang asing; (2) lebih ulet dan disiplin dalam menjalankan bisnis dan (3) tidak terlalu banyak diganggu dengan urusan hari raya dan adat, sepertinya akan bisa digantikan oleh masyarakat lkal juka saja beberapa alasan tersebut bisa dipenuhi dan juga alasan yang tidak diinginkan bisa dieleminir.

Tenaga Kerja Atraksi Pariwisata
Atraksi pariwisata yang dimaksud adalah semua aktivitas yang ditunjukkan dan dijual untuk memuaskan wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara diantaranya (1) diving; (2) rafting; (3) atraksi barong; dan (4) atraksi kecak.
Atraksi pariwisata sebagian besar menyerap tenaga kerja lokal yang berasal dari Bali (96,08%), kemudian disusul tenaga karyawan yang berasal dari luar Bali tapi masih dalam negeri Indonesia dan luar negeri (Tabel 4.13).

Tabel 11. Asal dan Jumlah Karyawan Atraksi Pariwisata di Bali
Asal Karyawan Jumlah Persen
Bali Hindu 790 83,69
Non 117 12,39
Total 907 96,08
Luar Bali Hindu
Non 30 3,18
Total 30 3,18
Luar Negeri Hindu
Non 7 0,74
Total 7 0,74
Grand total 944 100
Sumber: Diolah dari data primer

Karyawan bukan lokal diterima sebagai tenaga kerja karena beberapa alasan diantaranya (1) mempunyai kemampuan untuk menjalankan bisnis atraksi pariwisata; (2) suka bekerja keras; (3) kebetulan melamar dan tenaganya diperlukan; (4) Bali banyak libur; (5) modal dikuasainya; (6) mampu berbahasa asing yang bagus; dan (7) orang lokal belum mempunyai skill dive, sehingga diperlukan orang luar Bali termasuk luar negeri.

Tingkat pimpinan perusahaan atraksi pariwisata sebagian besar diisi oleh karyawan asal Bali, kemudian disusul oleh karyawan yang berasal luar Bali tapi masih orang Indonesia dan luar negeri (Tabel 12).

Tabel 12. Jenis dan Asal Pimpinan Atraksi Pariwisata di Bali

Jenis Pimpinan Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri
General Manager 12 3
Sales Manager 10 4 2
Tikceting 1
Act manager 3
Atraksi manager 1
Dive master 1 1
Crises director 1
F B manager 1
Guide 3 1
Personel manager 1
Total 32 7 6
Persen 71,11 15,56 13,33
Sumber: Diolah dari data primer

Karyawan asing yang bekerja pada atraksi pariwisata (diving, rafting, kecak dan barong dance) sebagian besar (85,71%) menjadi pimpinan (Tabel 5.7). Sebaliknya tenaga kerja lokal hanya sebagian kecil saja yang menjadi pimpinan (3,53%), walaupun jumlah tenaga kerja lokal yang terserap paling banyak jika dibandingkan dengan karyawan dari luar Bali maupun luar negeri.

Tabel 13. Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan
Atraksi Pariwisata di Bali.

Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri
Jumlah karyawan 907 30 7
Pimpinan 32 7 6
Pimpinan/jumlah karyawan 3,53% 23,33% 85,71%
Sumber: Diolah dari data primer

Dari uraian di atas, orang bukan lokal yang bekerja di hotel, restoran, travel agen dan atraksi pariwisata, terutama orang asing, sebagian besar menjadi pimpinan, sementara karyawan yang berasal dari Bali, walaupun jumlahnya dominan, namun hanya sebagian kecil saja sebagai pimpinan perusahaan (Tabel 5.8).

Tabel 13. Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan
Hotel, Restoran, Travel Agen dan Atraksi Pariwisata di Bali.


Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri
Jumlah karyawan 15.312 1.853 88

Pimpinan 314 186 65

Pimpinan/jumlah karyawan 2,05% 10,04% 73,86%
Sumber: Diolah dari data primer

Krisis perbandingan jumlah pimpinan dengan total karyawan yang bersangkutan yang di pegang oleh etnis Bali baik pada hotel, restoran, travel agen dan atraksi pariwisata dan juga kalau dihubungkan dengan alasan-alasan yang dikemukakan mengenai kelemahan orang lokal untuk menduduki jabatan pimpinan, perlu disikapi dengan arif bijaksana dan perlu dicarikan solusinya.

Hasil penlitian tentang “Keunggulan Sumberdaya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata” ditemukan bahwa keunggulan tenaga kerja etnis Bali adalah secara umum bersumber dari kualitas pribadi dan hubungan antar manusia antara lain (1) jujur; (2) mempunyai tata krama yang baik; (3) mempunyai toleransi yang tinggi terhadap sesama teman; (4) ramah tamah terhadap sesama termasuk tamu; (5) mempunyai jiwa penolong; (6) loyal terhadap perusahaan; dan (7) keunggulan fisik untuk menunjang pekerjaannya.

Milihat kelemahan dan keunggulan yang dikemukakan di atas, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan agar masyarakat lokal lebih banyak menjadi pimpinan perusahaan yang profesional di bidang pariwisata terutama untuk bisa mengisi lebih banyak jabatan pimpinan antara lain
(1) Untuk mengatasi salah persepsi tentang karyawan yang beragama Hindu dimana waktunya terlalu banyak dipakai untuk kegiatan domestik (upacara dan adat), maka perlu dilakukan sosialisasi secara periodik tentang hakikat agama Hindu yang tidak semata-semata menitik beratkan upacara yang berlebih-lebihan dan besar-besaran yang menyimpang dari ketentuan agama Hindu itu sendiri. Perlu ditekankan keseimbangan antara ritual, etika dan tatwa. Disamping itu awig-awig pada beberapa desa adat yang masih bersifat kaku yang mengharuskan anggota yang ada dirantauan juga harus “tedun ngayah” pada saat ada kegiatan Desa Adat hendaknya keharusan itu bisa diganti dengan membayar uang “pacingkrem” setiap enam bulan (sasih) sekali ditambah dengan kesadaran “medania punia” tatkala ada pembangunan di Desa Adat. Dengan demikian anggota Desa Adat yang diterima dan diposisikan sebagai pimpinan perusahaan kepariwisataan dapat bekerja dengan optimal karena tidak ada lagi keharusan “ngayahang” Desa Adat setiap saat.
(2) Untuk mengatasi kekurangmampuan masyarakat lokal di bidang managerial, maka diharapkan terjadi peningkatan sumberdaya manusia lokal di bidang managerial melalui kurikulum pendidikan di bidang pariwisata, sehingga peluang pimpinan lebih banyak diisi oleh masyarakat lokal.
(3) Dalam jangka pendek kekurangprofesionalan masyarakat lokal untuk menduduki jabatan pimpinan pada industri pariwisata, bisa diatasi dengam mengembangkan kearifan lokal (local genius) seperti pertanian tradisional dan budaya lokal yang merupakan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh masyarakat pendatang maupun asing yang merupakan daya tarik wisatawan yang harus dikembangkan untuk terwujudnya pariwisata kerakyatan.
(4) Besarnya tenaga asing yang terserap dan menduduki jabatan pimpinan pada industri pariwisata perlu disikapi dengan sebuah kebijakan, sehingga trasper keahlian kepada tenaga lokal bisa cepat dilaksanakan. Bagi tenaga kerja asing yang sudah bekerja di sektor ini, supaya di data sebaik-baiknya, sehingga Pemda tidak kehilangan sumber pendapatannya dari sektor pajak.


DAFTAR PUSTAKA

Almar, R. (1993). “European Restructuring and Changing Agriculture Policies. Rural Self-Identity and Modes of Life in Late Modernity”. Agriculture and Human Values. Vol.10. pp. 2-12.
Bachmann, P. (1988). Tourism in Kenya, A Basic Need for Whom?.
Bappeda Tingkat I Bali (1994). Data Bali Membangun. Bali Regional Development (1994). Bali Development Data.
Bawa, W., dkk. (2001). Studi Keunggulan SDM Bali di Bidang Pariwisata. Universitas Udayana. Denpasar
Bhatia, A.K. (1978). Tourism in India. History and Development. Sterling Publishers PVT. LTD.
Bimo, Walgito. (1991). Psikologi Social suatu Pengantar. Andi Offset, Yogyakarta.
Biro humas dan Protokoler Setda Propinsi Bali (2000). Partisipasi Masyarakat Bali dalam Membangun daerahnya.
Caneday,L. and Zeiger, J. (1991). “The Social, Economic, and Environmental Costs of Tourism to a Gaming Community as Perceived By Its Residents”. Journal of Travel Research. Vol. 30. pp. 45-49.
Cater, E. (1994). “Product or Principle? Sustainable ecotourism in the Third World: Problems and Prospects. The Rural Extension Bulletin. 5 August 1994.
Cochrane, J. (1994). “Beyond the Green Bandwagon”. The Rural Extension Bulletin. Series Number: 5 August. pp. 11-16
Colman, D. and Nixson, F. (1978). Economic of Change in Less Developed Countries. Second Edition. University of Manchester.
Daniel, J. Mueller. (1992). Mengukur Sikap/Persepsi Sosial. Diterjemahkan Oleh Drs. Eddy soewardi Kartawijaya, M.Pd. Bumi Angkasa. Jakarta.
D’Amore, L. (1988). “Tourism: The World’s Peace Industry”. Journal of Travel Research. Vol. 27. pp. 35-40.
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. (1987). “Kebudayaan dan Pembangunan. Kumpulan Makalah Seminar Jubileum Perak Universitas Udayana 1962-1987. Department of Tourism, Post and Telecommunication. (1987)”. Culture and Development. Proceeding of Seminar in the 25 th Udayana University Birthday (1962-1987).

“The E.C. and Tourism”. (1988). Europe. Iss: 276. pp. 24
Edgell, D.L. (1990). “The Challenges For Tourism Education For the Future”. Journal of Travel Research. Vol. 29. pp. 51-52.
Embacher, H. (1993). “Marketing for Agrotourism in Austria: Strategy and Relation in a Highly Developed Tourist Destination”. In Bramwell, B. and Lane, B. (Editors) Rural Tourism and Sustainable Rural Development. Proceeding of the Second International School on Rural Development, 28 June- 9 July 1993, University College Galway, Ireland.
Evan, N. (1992). “Towards an understanding of farm-based tourism in Britain”. Progress in Rural Policy and Planning. Vol. 2. pp. 140-144.
“Food Crop Department Bali”. (1994). Project Proposal of Agrotourism Expansion in Bali.
Foster, I. (1992). “Protection of Water Quality From agricultural Pollution: Some Observations on recent Developments”. Progress in Rural Policy and Planning. Vol. 2. pp. 136-139.
Fry, P. (1984). Farm Tourism in Western Australia.
Gannon, A. (1993). “Rural Tourism as a Factor in Rural Community Economic Development for Economies in Transition”. In Bramwell, B. and Lane, B. (Editors) Rural Tourism and Sustainable Rural Development. Proceeding of the Second International School on Rural Development, 28 June- 9 July 1993, University College Galway, Ireland.
Geale, P. (1985). Farm Tourism.
Hadiseputro, S. (1991). “National Park and Recreation Forests System in Indonesia. PATA’ 91 Bali, Indonesia Conference Record. Pacific Asia Travel Association 40th Annual Conference Bali, Indonesia April 10-13, 1991.
Harris, J. (1987). Farm Tourism Project.
“Hawaii: Paradise Lost”. (1993). Journal of Travel Research. Vol.327. pp. 32-33
Husain, M. (1981). Himpunan Istilah Psychology Untuk SLTA dan Umum. Mutiara. Jakarta.
Javari, J. (1987). “On Domestic Tourism”. Journal of Travel research. vol. 25. pp. 36-38.
Karn, Harry W. (1955). An Introduction to Psychology. Harcourt Brave Javanovich Inc. New York.
Khan,H., Seng,C.F., and Cheong, W.K. (1990). “The Social Impact of Tourism in Singapore”. Service Industry Journal. Vol. 10. pp. 541-548.
Koentjaraningrat. (1983). Pengantar Ilmu Antropologi. Gramedia. Jakarta.
Law, C.M. (1985). Urban Tourism in the United States.
Mar’at . (1984). Persepsi Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Mathieson, A. and Wall, G. (1990). Tourism. Economic, Physical and Social Impacts.
McCarthy, J. (1994). Are Sweet Dreams Made of This?. Tourism in Bali and Eastern Indonesia.
McSwan, D. (1997). The Roles of Government in the Development of Tourism as an Economic Resource. Proceeding of the Seminar Held at Townsville 1st October 1987. James Cook University of North Queensland.
Menegay, M.R., Hutabarat, B., and Siregar, M. 1993, ‘An overview of the fresh vegetable subsector in indonesia’, Indonesia Agribusiness Development Project, ADP Working Paper, No. 12, Jakarta.
Mercer, D. (1995). A Question of Balance. Natural Resources Conflict Issues in Australia.

Mihalik, B.J. (1992). “Tourism Impacts Related to EC 92: A Look Ahead”. Journal of Travel Research. Vol. 31. pp. 27-33.
Mormont, .(1987). “Tourism and Rural change: the Symbolic Impact”. in Bouquet, M. and Winter, M. (1987). Who From Their Labours Rest ?. Conflict and Practice in rural Tourism.
Mornssey, T. (1984). The tourism Industry - International and Specific Aspects.
Neat, S. (1987). “The Role of Tourism in Sustaining Farm Structures and Communities on the Isles of Scilly”. in Bouquet, M. and Winter, M. (1987). Who From Their Labours Rest ?. Conflict and Practice in rural Tourism.
OECD. (1988). New Trends in Rural Policy Making.
Parining, N. (1998). The Extent to Which Balinese Vegetables Farmers are Able to Meet the Demands of Local Tourist Hotels for Fresh Vegetables. Master Thesis. Curtin University of Technology. Australia
Parining,N. Pitana, Pasek Diantha, Anom dan Dharma Putra. (2001). Study tentang Implementasi Pariwisata Kerakyatan. Bappeda Prop. Bali.
Pendit, N. S. (1986). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Pradnya Paramita. Jakarta.
Pitana (2000). Pariwisata Kerakyatan dan Kutipan Tiga Dolar. Bali Post. Kamis Paing, 28 September 2000.
Place, S. (1995). “Ecotourism for Sustainable Development: Oxymoron or Plausible Strategy?”. Geo Journal. Vol. 35. Feb. 1995. pp. 161-173. Kluwer Academic Publishers.
Presiden Republik Indonesia. (1979). “Keputusan Pemerintah no.24, Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Kepariwisataan Kepada Daerah Tingkat I, Departemen Dalam Negeri, Jakarta. (President of Indonesia” .(1979). Regulation No.24, 1979 Regarding the Transfer of Responsibilities From Federal to State Government in Tourism development.
Sartain. (1955). Psychology Understanding Humary Behaviour. Mc. Grow Hill Book Company. New York.
Schneider, S.S. (1993). “Advantages and Disadvantages of Tourism to Agricultural Community”. Economic Development Review. Vol. 11. pp. 76-78.
Shadilly, Hassan. (1984). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Bina Angkasa. Bandung.
Soekanto, Soerjono. (1987). Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta.
Soerojo, R., Waliyah, L. and Chalidin, L.W. (1989). “The Role of Horticultural Production on Improvement of Farmers Incomes”. First International Symphosium on Horticultural Economics in Developing Countries.
Spillane, J. James. (1985). Pariwisata Indonesia Sejarah dan Prospeknya. Kanisius. Yogyakarta.
Suandra,K. (1991). The Impact of Tourism Development on the Physical, Socio-Cultural and Environment. A Case Study of Ubud, Bali, Indonesia.

Suyatna, G. dan Wardana, G. (1999). Potensi Konflik dan Usaha Pengendaliannya Masyarakat di Kelurahan Kuta Kabupaten Badung. Sosek FP Universitas Udayana. Denpasar Bali
“Third-World Tourism: Visitors Are Good for You”. (1989). Journal of Travel Research. Vol. 310. pp. 19-22.
Tonge, R. (1983). Starting Farm Holiday Project and Children’ Holiday Camps.
Zimbabwe Trust (1994). “Zimbabwe: Tourism, People and Wildlife. The Role of Campfire in promoting Development Based on Indigenous Wildlife”. The Rural Extension Bulletin. 5 August 1994.
Unit Perencanaan Bali. (1990). “Master Plan Ubud (Bali Planning Unit”.(1990). Master Plan of Ubud.
Wahab, Salah. (1988). Manajemen Kepariwisataan. Pradnya Paraminta. Jakarta.
Weaper, D.B. (1990). “Grand Cayman Island and the Resort Cycle Concept”. Journal of Travel Research. Vol. 29. pp. 9-15
Weitz, R. (1987). Integrated Rural Development.
Winter, M. (1987). “Private Tourism in the English and Welsh Uplands : Farming, Visitors and Property”. in Bouquet, M. and Winter, M. (1987). Who From Their Labours Rest ?. Conflict and Practice in rural Tourism.
Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Pariwisata. Angkara. Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar