Jumat, 13 Agustus 2010

POLITIK BUDAYA BALI DAN LINGKUNGAN: Dari Desa Adat ke Desa Pakraman (membongkar Hegemoni Negara)

POLITIK BUDAYA BALI DAN LINGKUNGAN:
Dari Desa Adat ke Desa Pakraman
(membongkar Hegemoni Negara)

Oleh
I Wayan Wesna Astara

I. Pengantar.
Perjalan politik Bali khususnya yang dikaitkan dengan budaya cukup panjang, sehingga bagaimanapun manusia Bali (Hindu) memerlukan system pertahanan politik yang berbasis budaya. Politik sebagai sebuah kebijakan memerlukan “pembungkus” yaitu hukum sehingga mampu sebagai pelindungi produk budaya Bali. Dalam perjalanan waktu Local Genius (kearipan lokal) masyarakat Bali mulai terusik dengan pencanangan oleh pemerintah provinsai Bali adanya Pariwisata, walaupun wujud pariwisata yang dikonsepkan dan dikembangkan adalah pariwisata Budaya. Dalam realitas sosial memang banyak pihak yang mendapat keuntungan dari kegiatan industri pariwisata. Ternyata lingkungan sosial budaya masyarakat Bali mulai digerus dan digrogoti oleh berbagai masalah sosial.
Sejak dikeluarkannya SK Gubernur Nomor 15 tahun 1988 yang menetapkan adanya 15 kawasan pariwisata di Bali, terjadi pro-kontra sudah mulai menghiasi pembangunan pariwisata di Bali. Permasalahan ini sudah tentu menyangkut persoalan konsep Tri Hita Karana. Nilai budaya ini yang diimplementasikan yaitu ParHyangan, pawongan, dan palemahan (Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk pura, Pawongan adalah orang dan masyarakat di suatu Desa, dan Palemahan berupa wilayah suatu desa Pekraman,/Adat). Kegiatan industri Pariwisata dengan menetapkan kawasan pariwisata akan mencaplok lahan yang ada (palemahan Desa). Apalagi banyak daerah yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata adalah daerah pertanian yang subur. Demikian halnya pula, dalam pelestarian desa adat dan mempertahankan existensi desa adat pemerintah propinsi Bali mengeluarkan peraturan daerah propinsi bali nomor 06 tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam propinsi Daerah Tingkat I Bali. Selanjutnya masing-masing desa adat diharapkan untuk melakukan “penyuratan” awig-awig, walaupun senyatanya awig-awig adalah merupakan “hukum tidak tertulis” bagi masyarakat adat di Bali. Disinilah persoalan yang muncul dalam kesatuan hukum adat Bali. Apa yang menjadi pokok persoalan sehingga pemerintah daerah provinsi mengeluarkan Politik (kekuasaan) terhadap Desa adat/Pakraman?, Bagaimana pengaruh politik Pariwisata terhadap Tri Hita Karana di Desa Adat/Pakraman di Bali, dan bagaimana implementasi dalam realitas legal versus realitas budaya dalam kehidupan Desa Pakraman.

II. Politik Budaya (Kekuasaan) terhadap Desa Pakraman di Bali.
Kekuasaan ”terus bermain” demi terwujudnya ketertiban, keadilan dan kemakmuran. Namun, politik budaya akan bekerja demi budaya itu sendiri. Dalam kontek ini, desa Adat sangat penting peranannya dalam melestarikan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Bali. Hal ini mengingat desa Adat yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Dalam banyak hal peranan desa adat di Bali yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang sangat besar peranannya dalam bidang agama, ideologi negara, sosial kultural, ekonomi dan pertahanan keamanan, sehingga perlu dilestarikan. Pelestarian desa adat sebagai kesatuan hukum adat yang bersumber pada ajaran agama Hindu di daerah tingkat I Bali diimplementasikan dengan realitas legal dengan dikeluarkannya peraturan daerah Nomor 6 tahun 1986. Adapun ketentuan-ketentuan yang disuratkan dalam perda itu adalah:
Pasal 1 ayat (e): Desa adat sebgai desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi daerah Tingkat I Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri.
Pasal 1 ayat (f) Banjar adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian sangat kuat dalam satu kesatuan wilayah tertentu, dengan seseorang atau lebih pimpinan, yang dapat bertindak ke dalam maupun keluar dalam rangka kepentingan warganya dan memiliki kekayaan baik berupa material maupun non material.
Pasal 1 ayat (g) Palemahan Desa Adat adalah wilayah yang dimiliki desa adat yang terdiri dari satu atau lebih palemahan Banjar yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan yang ada sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa;
Pasal 1 ayat (h) Tanah ayahan Desa adalah tanah yang berada di desa Adatdan atau dimiliki oleh desa Adat serta diatur penggunaanya berdasarkan Adat;
Pasal 1 ayat (i) Hukum Adat Bali yang bersumber serta dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 1 ayat (j) Prajuru Desa Adat adalah pengurus Desa Adat di Bali;
Pasal 1 ayat (k) Paruman adalah sidang permusyawaratan/permufakatan desa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di desa Adat. Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas, tamapak bahwa bagaimana politik budaya(ke-budaya-an) dari DPRD Propinsi Bali dengan eksekutif (Gubernur) mewujudkan dari realitas Politik (budaya) menjadi realitas legal (hukum). Selanjutnya yang menjadi persoalan “up to date” (baru) adalah implementasi dalam kehidupan bermasyarakat di Bali yang mulai heterogen. Mampukah manusia Bali mengimplementasikan sesuai dengan realitas legal atau muncul “realitas budaya baru”.
Ternyata ketika berlakunya perda desa Adat Nomor 06 tahun 1986, pasal 7 ayat (1) Setiap desa Adat agar memiliki awig-awig tertulis; ayat (2) Awig-awig desa Adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, demikian pula pasal 9 yang berbunyi: Sanksi yang diatur dalam awig-awig desa Adat tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rasa keadilan masyarakat.
Pasal 12 ayat (1) Pembina Desa Adat dilakukan oleh Gubernur kepala Daerah; ayat (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagai tersebut ayat (1) Gubernur Kepala daerah dibantu oleh Majelis pembina Lembaga Adat dan badan pelaksana pembina Lembaga Adat; ayat (3) Struktur dan susunan keanggotaan Majelis dan badan pelaksana tersebut ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur Kepala daerah. Asfek normatif seperti terurai dalam Perda No. 6 tahun 1986, diharapkan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan. Salah satu tujuan penyuratan awig-awig desa adalah salah satu syarat untuk dapat diberikan pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang dimiliki desa Adat.
Munculnya Peraturan Daerah Nomor: 06 Tahun 1986 tentang Desa Adat. Kemudian ditindaklanjuti dikeluarkan Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 tahun 1988, tentang Lembaga Perkreditan Desa , sebagai Badan Usaha Milik Desa yang bergerak dalam usaha simpan pinjam dan merupakn badan usaha Milik Desa Adat satu-satunya yang ada di Bali. LPD (Lembaga Perkreditan Desa) didirikan dengan tujuan sebagai berikut: a). mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan yang terarah serta penyaluran modal yang efektif; b) membrantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat dipersamakan dengan itu di pedesaan; c). menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa dan tenaga kerja di pedesaan; d). meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang di desa . Hegemoni negara dalam proses perencanaan pembangunan, pembuatan produk hukum ”yang dapat memihak kepentingan budaya Bali dan/ atau merusak tatanan lingkungan budaya Bali” merupakan persoalan lain apakah pengambil kebijakan ”Pro-budaya Bali Hindu atau kepentingan investor”, perlu digali dan ditemukan akar persoalan lingkungan budaya tersebut.

II.. Otonomi Daerah, Desa Pakraman dan Perubahan Sosial .

Reformasi telah membawa perubahan besar terhadap otonomi daerah sebagai pemberian negara, perubahan yang berlangsung, sejalan dengan berhasil diturunkannya Soeharto dari panggung politik nasional, ketika Soeharto membacakan teks pidato keputusan untuk lengser sebagai presiden, pikul 9 pagi 21 Mei 1998 , telah mendorong perubahan signififikan dalam konfigurasi politik nasional. Pemberian otonomi Daerah, sebagai reaksi ketidakadilan Daerah yang “dieksploitasi” oleh pusat (Jakarta) selama Orba, dan sebagai belas “kasihan” terhadap respons tersebut adalah “pemberian otonomi setengah hati”, sebagai pemberian negara dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25, dengan segala itikad baiknya, patut dilihat secara lebih proporsional, bahwa kebijakan ini hadir dalam pemerintahan transisi, yang pada satu sisi mengharapkan dukungan yang lebih luas, namum di sisi lain diselimuti kekawatiran menguatnya oposisi di daerah-daerah yang kelak bisa mengancam kelangsungannya. Perubahan yang terjadi adalah habis sentralisasi terbitlah desentralisasi pada era reformasi disikapi oleh DPRD propinsi Bali dengan mengeluarkan Produk Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pemerintah dapat dipandang sebagai kekuatan pendorong perubahan seperti yang disampaikan Peter Drukker, bahwa perubahan politik ataupun modernisasi yang direncanakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dapat dianggap sebagai faktor penting dalam perubahan sosial yang direncanakan dari atas .Perubahan yang direncanakan adalah perubahan-perubahan terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang didasarkan pada perencanaan yang matang oleh pihak-pihak yang menghendaki perubahan-perubahan tersebut. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu sebelumnya oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau kelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Suatu perubahan yang direncanakan , selalu berada di bawah pengendalian atau pengawasan dari agent of change tersebut . Pelaksanaan rencana perubahan tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu saja, melainkan bisa juga diarahkan pada perubahan-perubahan bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain dan dalam tubuh masyarakat yang lain pula. Rogers menyebutkan perubahan sosial adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sedangkan Suparlan menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup: sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan persebaran penduduk Struktur sosial dibentuk oleh berbagai status individu dan kelompok. Status individu adalah urutan posisi atau tempat individu di dalam hierarkhi prestise dari suatu kelompok atau masyarakat. Sedangakan status kelompok adalah urutan posisi atau tempat kelompok itu dalam hierarkhi prestise dari suatu masyarakat. Status tidak bisa terlepas dari peran karena status merupakan asfek statisnya, sedangkan peran prilaku individu merupakan asfek dinamisnya. Peranan diartikan sebagai pola kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, keyakinan, kepercayaan , perasaan, sikap, nilai, tingkah laku yang oleh anggota masyarakat diharapkan menjadi ciri dan sifat individu yang menduduki posisi tertentu. Status dan peran saling berpengaruh. Selanjutnya Sumartono, menyebutkan didalam perubahan yang terjadi tiga unsur penting yaitu: 1) Sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, 2) proses perubahan, dan 3) akibat atau konsekuensi perubahan. Trisnamansyah mengemukakan enam jenis perubahan sosial: 1) mengacu pada perubahan yang terjadi dalam sikap dan prilaku seseorang; 2) dalam jangka panjang tercermin dalam mobilitas vertikal atau terjadi dalam perubahan siklus kehidupan; 3) perubahan yang terjadi dalam norma-norma, nilai-nilai, dan keanggotaan kelompok; 4) dalam jangka panjang perubahan organisasional. Organisasi atau kelompok dapat berubah , baik struktur maupun maupun fungsinya; 5) ditandai dengan perubahan-perubahan besar yang terjadi secara cepat sebagai hasil sari penemuan baru; 6) dalam jangka panjang terjadi perubahan perilaku dan peran.
Menurut Judistira K. Garna, Perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan itu sendiri. perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan kehidupan yang berupa fisik, alam dan sosial, disebut perubahan sosial. Perubahan sosial tak dapat dipelajari terlepas dari lingkupnya yang luas, sebagaimana istilah sosial merujuk kepada masyarakat yang tidak selalu sinonim dengan istilah budaya. Perubahan Sosial tidak selau berupa perubahan budaya, atau perubahan kebudayaan, kedua istilah ilmiah tersebut mempunyai maknanya tertentu, walaupun kedua perubahan itu mungkin berlaku bersamaan. Ada kaitan antara kedua jenis perubahan dalam proses kehidupan kelompok manusia, seperti dikemukakan oleh Ogburn, bahwa…that social change refers to changes in mechanisms of human association, dalam kaitan asosiasi manusia itu budaya ialah latar belakang gerak dari mekanisme asosiasi manusia tersebut. Menurut Koentjaraningrat Perubahan sosial terjadi karena timbunan kebudayaan. Kebudayaan dalam kehidupan masyarakat senantiasa terjadi penimbunan, yaitu suatu kebudayaan semakin lama semakin beragam dan bertambah secara akumulatif. Bertimbunnya kebudayaan ini oleh karena adanya penemuan baru dari anggota masyarakat pada umumnya. Sedangkan menurut J.W.M. Bakker SJ. Kebudayaan berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi yang baru. Sikap mental dan nilai budaya turut serta dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi baru. Tidak setiap perubahan berarti kemajuan. Perubahan disertai kritik, konflik dan pembatalan nilai-nilai lama, lalu menyeleweng dari hasil yang telah tercapai, ataupun membawa serta penghalusan warisan kebudayaan dan peningkatan nilai-nilai. Perubahan yang paling berharga terjadi didalam masyarakat, dimana ketahanan mental-rohani selalu sanggup memperbaruhi dirinya oleh daya kritik diri, refleksi dan daya cipta. Autokritik dihadapan nilai-nilai obyektif menjamin bahwa perubahan bersifat kemajuan. Berbeda dengan Pandangan adat dan Budaya Bali tentang perubahan, bahwa perubahan harus terjadi dan bahkan diterimanya melalui konsep yang cukup mendasar yaitu: Desa (Ruang/tempat), kala (Waktu), dan patra (orang).Konsep ini mengandung makna bahwa setiap perbuatan manusia baik dalam bentuk ide-ide, prilaku dan hasil karyanya harus selalu mencapai penyesuaian dan diperhitungkan melalui :”Ruang/Tempat (desa), proses perkembangan jaman (kala) dan faktor manusianya sendiri (patra). Artinya Desa, Kala, Patra adalah sebagai pedoman perubahan sosial . Selanjutnya teori Hegemoni dari Gramsci kekuasaan dipahami sebuah hubungan, yaitu hubungan kekuasaan (negara) dengan masyarakat sipil sebagai usaha campur tangan penguasa dalam bidang adat (hukum adat) atau lembaga sosial religius di Bali. Dalam hal ini peranan negara sebagai pengayom dan dapat pula sebagai perusak terhadap tatanan yang ada, sehingga memunculkan perlawanan ataupun perubahan sosial dalam masyarakat Desa Adat/Desa Pakraman di Bali.
Persoalan budaya Bali dan lingkunganpun dapat dibedah dengan teori perubahan sosial, teori hegemoni, termasuk teori interpretatif atau hermeneutik . Hermeneutika baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat bahkan sastra. Pada awalnya buku-buku hermeneutika tentang teologis lebih banyak terbit dibandingkan bidang filsafat dan sastra. Martin Heidegger yang tidak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya, baik pada awal ataupun mutakhir. Selanjutnya E.D. Hirch, memberikan tantangan luas terhadap ide-ide yang menjadi pegangan kritisisme. Bagi Hirch, hermeneutika dapat dan akan menjadi sebuah pengetahuan dasar dan fondasional untuk semua penafsiran literatur. Dalam ilmu hukum dikenal empat macam penafsiran atau interpretasi: 1) interpretasi subyektif; 2) interpretasi obyektif; 3) interpretasi restriktif atau penafsiran secara sempit; 4) interpretasi ekstensif penafsiran secara luas. Teori interpretatif akan dapat dikaji persoalan pasal-pasal yang tertuang dalam Perda Nomor 06 tahun 1986 tentang Desa Adat, dan perda Nomor 03 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam teori interpretasi penulis akan memfokuskan dekonstruksi Derida bagi ilmu hukum yang dianalisis adalah (khususnya pada pasal-pasal Perda Desa Adat Noi. 6 tahun 1986, dan Perda Desa Pakraman Nomor 3 tahun 2001). Tawaran Derrida ada pada cara penafsisran, pertama, yang disebutkan dengan penafsiran restropektif, yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau orisinil. Kedua, Penafsisan prospektif, yang secara eksplisit membuka pintu bagi indeterminasi makna, di dalam sebuah permainan bebas. Nampak lebih kritis untuk memahami teks, khususnya tentang pandangannya mengenai tafsir prospektif yang secara eksplisit menerima ketidakpastian makna, yaitu memberikan peluang bagi permainan bahasa tanpa terikat pada dogma. Pemikiran Derrida merupakan bentuk perlawanan terhadap model penafsisan teks yang sudah mapan, yang dalam ilmu hukum cendrung untuk ditolak, karena tafsir dalam Undang-Undang atau produk kebijakan makna teks selalu dianggap pasti dan sudah jadi. Keseragaman tafsir dan kepastian menurut pandangan formalisme (strukturalisme) dalam hukum ini merupakan esensi teks yang hendak dibongkar melalui dekonstruksi. Demikian pula akan dicoba lihat apakah terjadi ketegangan antara pendatang krama-tamiu dengan krama wed (penduduk asli) dengan pendekatan teori hukum yang kacau (chaos theory of law) Teori hukum Kaos ini juga disitir oleh Satjipto Rahardjo dari pemikiran Sampford sebagai berikut:
“...Sampord bertolak dari basis sosial dan hukum yang penuh dengan hubungan yang bersifat asimetris. Inilah ciri-ciri khas dari sekalian hubungan sosial; hubungan-hubungan sosial itu dipersepsikan secara berbeda poleh para pihak. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relations). Hubungan kekuatan ini tidak selalu tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang disadarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan itu.”

Fenomena sosial-budaya (pariwisata) masyarakat Bali khususnya Desa Pakraman Kuta muncul persoalan konflik dan konsensus tentang Pedagang Kaki Lima (PKL), yang mempergunakan tempat pejalan kaki dijadikan tempat berjualan sovenir. Peristiwa ini dapat dijawab dengan mempergunakan teori konflik Ralf Dahrendorf. Dalam teorinya ini antara teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara berimbang. Tetapi menurut Dahrehdorf dengan teori konfliknya, setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teori konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Teori konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atasnya. Fungsionalis memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam memepertahankan ketertiban dalam masyarakat. Menurut teori konflik Dahrendorf yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua teori konflik dan teori konsensus. Teori konflik ini juga dapat membedah pro-konta dilaksanakannya Perda No 3 tahun 2001, tentang Desa Pakraman, Kabupaten Badung belum sepenuh hati memberlakukan penterapan Perda Desa Pakraman, Persoalan yang sama juga berlaku di Kabupaten Karangasem, bahkan belum efektifnya sosialisasi ke Desa Pakraman.
Pro-kontra tentang nama desa Pakraman di Kabupaten Badung, karena secara yuridis desa Pakraman telah diterima, tetapi secara “sosiologis” Kabupaten Badung “menerima setengah hati” untuk diberlakuakan Perda desa pakraman. Muatan politus dan “kepentingan individu muncul“ apabila diberlakukan Perda Desa Pakraman ini. Banyak yang terdepak sebagai Majelis pembina Lembaga Adat dan badan pelaksana Pembina Lembaga Adat yang diangkat oleh Gubernur dann Bupati yang harus diganti dengan Majelis Desa Pakraman yang proses pengangkatannya secara demokratis. Berdasarkan hasil temuan penulis di lapangan secara emperis ternyata terdapat para personal majelis pembina lembaga adat di kabupaten Badung adalah orang-orang dari pemerintah kota Denpasar, ada “permainan politik” dengan memadukan “realitas budaya” untuk melawan “realitas legal” untuk dapat mempertahan Perda No. 06 tahun 1986, dengan berbagai alasan, dan strategi yang berlawanan dengan Perda No. 3 tahun 2001 tentang Perda Desa Pakraman. Ini merupakan catatan suram dalam “realitas Legal” bagi krama Badung. Adapun pokok pikiran dari penulis adalah sebagai berikut:
• “Realitas Legal” versus “realitas Budaya” dengan mengkemas tuntutan masyarakat Badung demi sebuah kekuasaan perlu respon masyarakat Badung.
• Kabupaten Badung yang baru terpisah dengan Pemkot Denpasar, warga Denpasar banyak meniti karier di Kabupaten Badung berusaha tetap menggegam ‘kekuasaan birokrasi” budaya di palemahan Badung.
• Perda Desa Pakraman memunculkan “fanatiisme” lokal teritorial akibat dari secara tidak langsung dan langsung dengan diberlakukan UU No. 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah.
• Jawaban terhadap persoalan supaya tidak difendingnya/ditangguhkannya pemberlakuan Perda Desa Pakraman adalah tegakkan aturan, dan apabila terjadi kerancuan, dikaji dan direvisi sesuai kebutuhan riil masyarakat Badung.

Adapaun Perda Desa Pakraman Nomor 3 tahun 2001, pasal 14: Majelis desa pakraman terdiri atas: a). Majelis Utama untuk Propinsi; b) Majelis Madya untuk kabupaten/kota berkedudukan di kabupaten/kota; Majelis Desa untuk Kecamatan berkedudukan di kota Kecamatan. Pasal 15 ayat (1) Pembentukan Majelis Desa Pakraman di kecamatan dipilih oleh utusan prajuru desa Pakraman se-kecamatan melalui paruman alit; ayat (2) Pembentukan Majelis Madya desa pakraman dipilih oleh utusan desa pakraman se-kabupaten/kota melalui paruman madya; ayat (3) Pembentukan majelis utama desa pakraman dipilih oleh utusan desa Pakraman se-Bali melalui paruman agung; Ayat (4) Pengurus Majelis Utama desa Pakraman, majelis Madya desa Pakraman, dan majelis desa Pakraman dipilih dari peserta paruman masing-masing; Ayat (5) peserta paruman adalah sebagai berikut: a) paruman agung dihadiri oleh utusan majelis madya desa pakraman; b). paruman madya dihadiri oleh utusan majelis desa pakraman; c). paruman alit dihadiri oleh 2 (dua) orang utusan dari masing-masing desa Pakraman; ayat (6) paruman-paruman dipimpin oleh beberapa orang pimpinan sementara yang dipilih dari peserta paruman sebelum terbentuknya pengurus majelis.

III. Politik Pariwisata dan Pengaruhnya terhadap Tri Hita Karana.
Politik pariwisata belum sepenuhnya memberikan angin segar terhadap nilai budaya Bali dan konsep Tri Hita karana. Kenyataan emperis membuktikan bahwa pariwisata belum membawa manfaat maksimal dan bahkan semakin kasat mata betapa orang Bali sudah semakin tersisih dari pentas perkembangan pariwisata di Bali baik tersisih sebagai pelaku usaha maupun sebagai pekerja. Pariwisata sebagai industri internasional, sebagian dari pendapatan yang diterima pariwisata Bali memang mengalir keluar, dalam bentuk bunga pinjaman, tenaga kerja, supplies dan sebagainya. Menurut Budi Wiratyana (dari Bali bersih), hanya 7 % dari pendapatan pariwisata dinikmati oleh orang Bali, sedangkan selebihnya 93 % dinikmati oleh oleh orang luar Bali. Masa depan pariwisata Bali, nasibnya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan nasib etnis Hawai. Sebelum separah nasibnya orang Hawai, tidak salah orang Bali belajar, merenungkan dan membandingkan sebab-musababnya keterpurukan etnis Hawai sebagai dampak dari maju pesatnya perekembangan industri pariwisata di tanah kelahirannya sendiri. Dari perbandingan perkembangan pariwisata di Hawai dengan di Bali,mungkin lebih awal dapat dicari sebab-musababnya mengapa orang bali makin lama makin tersisih di tanah kelahirannya sendiri, pertama-tama tersisihkan seperti nasib orang Betawi di Jakarta dan pada akhirnya mungkin saja akan benar-benar tersisih seperti nasib yang dialami oleh orang Hawai ditanah kelahiranya sendiri. Perlunya strategi kebudayaan dalam bidang kepariwisataan yang menyentuh masyarakat lokal (basisnya masyarakat Bali), kemudian didukung oleh komponen masyarakat lainnya, supaya masyarakat Bali tidak menjadi penonton. Perlu adnya kebijakan (politik Pariwisata) dengan menelorkan peraturan Daerah yang “memihak” masyarakat lokal (Etnis Bali). Kalau ini tidak segera ditanggulangi orang Bali akan cepat: Pertama, Palemahannya(wilayahnya) akan segara dikuasai oleh investor pariwisata, dan apabila Sumber daya Manusianya (pawongannya) segera tidak dididik sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata, maka penduduk pendatang (krama tamiu) akan mengusik penduduk asli (krama Wed), yang akan juga akan mempengaruhi palemahan, pawongan, dan Parhyangan. Hal ini akan kita ketahui apabila pendatang yang bergerak dibidang pariwisata bukan umat Hindu, maka akan menuntut tempat ibadah (Mesjid, gereja, dll) yang akan mengurangi wilayah palemahan.
Dampak fisik, seperti tersebut di atas akan secara kasat mata tampak. Akan tetapi dampak sosial terhadap pariwisata rentan terhadap “bau busuk pariwisata” , yaitu munculnya PSK (pekerja Sek Komersial: WTS, dan Gigolo).
Pulau Bali, walaupun tidak semuanya dijamah pariwisata, yaitu daerah yang sangat menonjol adalah Kuta dan Sanur. Kuta adalah terletak di Kabupaten Badung, sedangkan Sanur di Pemerintah Kota Denpasar. Kuta saat ini mulai berkembang hotel-hotel internasional, yang berbeda pada saat awal perkembangannya lebih menonjol homestay/pension yang dimiliki oleh penduduk setempat. Tergususrnya penduduk lokal dari kegiatan pariwisata (homestay), karena investor dengan modal besar mulai merambah bisnis ini. Pemerintah Kabupaten Badung sepertinya “tidak mempunyai” kekuatan untuk memproteksi penduduk lokal dalam kasus ini. Hal ini ditambah lagi, merebaknya penduduk pendatang yang ingin mengais rezeki baik secara halal maupun ilegal sebagai kecendrungan yang muncul pada pariwisata Kuta.
Tulisan tentang pariwisata Kuta, I Gde Pitana telah menyampaikan buah fikirannya secara kritis dalam bukunya Kuta cermin Retak Pariwisata Bali. Dampak negatif pariwisata Kuta oleh Pitana disebutkan, memunculkan Prostitusi/pelacuran. Sedangkan Pelacuran/Prostitusi adalah salah satu “bisnis” yang selalu menyertai perkembangan sebuah destinasi pariwisata. “Bisnis” pelacuran di Kuta semakin marak dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari Pekerja Sek Komersial (PSK) yang jumlahnya selalu berkembang dari tahun ke tahun. Bahkan para PSK telah berani secara terang-terangan dalam mencari pelanggan. Para PSK di Kuta dapat diklasifikasikan atas jenis kelamin, PSK wanita dan PSK laki-laki (gigolo).
PSK wanita secara sosiologis dapat dibagi kedalam empat kelas yaitu: a). Kelas atas; b). Kelas Menengah atas; c). Kelas Menengah Bawah; d) Kelas Bawah. Sebagai daerah wisata, Kuta sangat dikenal oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegar. Di samping dikenal oleh wisatawan, Kuta juga menarik minat para pendatang untuk mencari Pekerjaan. Ini pula menjadi persoalan dalam mendukung nilai budaya/konsep Tri Hita Karana di Desa Pakraman Kuta. Perlu penataan ruang, dan manusianya (persoalan kependudukan) sehingga Kuta tetap aman, tertib, sejahtra, bebas dari malapetaka (Bom, dan lain sebagainya). Berdasarakan hasil pengamatan penulis di lapangan, Kuta tahun 1971 dan sampai kini, mengalami pergeseran (mobilitas) penduduk, pola pergaulan penduduk pendatang dengan segala “atribut budaya” yang dibawa oleh pendatang.

IV. PENUTUP.
Tri hita Karana sebagai sebuah konsep ideal dalam masyarakat Hindu di Bali akan terusik, apabila masyarakat Bali belum mampu merespons secara positip realitas legal dengan realitas budaya. Pencanangan pariwisata budaya bagi Pariwisata Bali hanya merupakan realitas legal tanpa diikuti realitas budaya secara komprehensif. Membangun masyarakat Bali dengan pariwisata sebagai generator penggerak dalam pembangunan ekonomi dan perubahan sosial di Bali memerlukan menagemen untuk menghindari berbagai konflik, masalah sosial dan keamanan. Di samping munculnya penduduk pendatang ke Bali dan ke tota-kota kabupaten/kota yang hidup dari pariwisata. Mereka akan mencari celah sebagai tenaga kerja baik formal maupun non-formal maupun pekerja trampil maupun serabutan. Hal ini akan mengusik wilayah palemahan, dan masalah sosial ( seperti: PSK, gepeng dan kriminalitas).
Desa Pakraman sebagai lembaga sosio-religius dalam kekinian besar peranannya dalam bidang agama dan sosial budaya. Sebagai produk perda Desa Pakraman menelorkan Pecalang sebagai satuan tugas keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik di tingkat banjar pakraman dan atau wilayah desa pakraman. Peranan ini mulai melewati batas kewenangannya sehingga memerlukan Ketrampilan dan pendididkan yang khusus menyangkut kewenangannya.
Persoalan pariwisata budaya dan lingkungan dapat ”dikemas” dalam produk hukum yang lebih rendah di tingkat desa adat/desa pakraman dengan memasukkan pada awig-awig desa adat dan/ atau dalam pararem desa adat. Untuk itu diperlukan ada semacam “penataran”yang dilakukan oleh Dinas kebudayan Bali dalam rangka memberikan wawasan budaya dan hukum sehingga mampu menjadi penggerak pembanguana Desa, memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap pembanguanan Bali, khususnya di Desa pakraman.


DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, 2002, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan, Bandar Lampung,
Bumi Aksara.
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis),
Jakarta, Gunung Agung.
Afan gaffar, 2004, Politik Indonesia transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Adam Poggorechi, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Jakarta Bina
Aksara.
Alit Kalakan, 2003, Desa Pakraman Dalam Konteks Otonomi Dan Nasionalisme,
Denpasar, Seminar Otonomi Daerah.
Arwati, Ni Made Sri, 1991, Geguritan Desa Adat, Denpasar, MPLA Bali.
Atmadja, B., 1998, “Tanah Paruman Desa Adat Julah, Buleleng Bali, Pengelolaan
Alih status dan Implikasinya Terhadap Desa Adat”, Desertasi Program Studi
Antropologi, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, jakarta, Tidak
Diterbitkan.
Bagus, I Gusti Ngurah, 1975, “Sanur dan Kuta: Masalah Perubahan Sosial di Daerah
Pariwisata”, Dalam I GN. Bagus (ed), Bali dalam Sentuhan Pariwisata,
Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
---------------------------, 1964, Sistem Pola Menetap Masyarakat Bali, Universitas
Usdayana, Denpasar.
Bappeda Bali, 1976 Hasil-hasil Perumusan Lokakarya Subak dan Desa Adat Bali,
Publikasi III, Denpasar, Bappeda Bali.
Bogdan, Robert C., 1972, Participant Observation in Organizational Setting, Syracuse
University Press, Syracuse, New York.
Charles F. Andrain, 1992, Kehidupan Politik dan perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara
Wacana.
Covarrubias, M., 1937, Island of Bali, The Village- The Community, VI, Oxford
University Press, Petaling Jaya, Selangor Malaysia.
Geriya, Wayan, 1995, Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal,Nasional,Global,
Denpasar, Upada Sastra.
Griadi, Wirtha I Ketut, 1980, ”Otonomi Desa Adat dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Indonesia” Dalam Bahan ceramah MPLA, Denpasar, MPLA Bali.
Gde Pitana (dkk), 2000, KUTA Cermin Retak Pariwisata Bali, Denpasar, Penerbit BaliPost.

Gubernur Bali, 2001, Mengkaji dan Menemukan Format Penyelenggaraan Pemerintah
Desa di Bali Dalam Rangka Otonomi Daerah, Denpasar, Fisip Unwar.
----------------------------, 1991, “Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan”,
Kertha partrika, No. 54, ThXVII.
Heiny Astiyanto, 2003, Sosiologi Kriminal, Yogyakarta, Legal Centre 97
Jehezkel Dror, 1998, Law and Social Change, Chandler Publishing Company, San
fransisco.
Geriya, I Wayan, 1993, Interaksi Desa Adat dan Pariwisata, Studi Kasus di Desa Adat
sangeh, Kabupaten Badung, Laporan Penelitian, Denpasar, Puslit Unud.
---------------------, 1995, Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan, Lokal, Nasional,
Global, Denpasar, Upada Sastra.
--------------------, 2001, Menuju Format Desa yang Otonom, Kokoh dalam Jatidiri, dan Berdaya Membangun Kesejahtraan Secara Berkelanjutan, Denpasar, Fisip Unwar.
Ismid Hadad(ed.), 1979, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, Jakarta, LP3ES.
Korn, V.E., 1932, Hukum Adat Bali, cetakan kedua yang diperbaiki, Terjemahan
proyek Pembinaan Hukum Biro Hukum & Ortal, Kantor Gubernur, KDH.. Tk
. I Bali.
------------, 1932, Het Indonesische
Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, Bandung, Mandar Maju.
Lauer, H Robert, 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta, Renika Cipta.
Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES.
Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Resdokarya.
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,
Bandung, Alumni Bandung.
-----------------------------------, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan membuka kembali, Bandung, PT Refika Aditama.
Raka Dherana, 1982, Garis-garis Besar Pedoman Penulisan Awig-Awig Desa Adat,
Denpasar, Mabhakti.
Selo Soemardjan, 1991, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung, Alumni.
Surpha, I Wayan, 1991, Eksistensi Desa Adat Di Bali, Denpasar, Upada Sastra.
_____________, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar, Bali Post.
Suasthawa, D., 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali,
Denpasar, Upada Sastra.
-----------------, 2001, Kedudukan Desa Pekraman Dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah, Denpasar, Fisip Unwar.
Suasta (ed.), 2003, Otonomi Daerah Dan Kebijakan Publik, (Konsep dan Pelaksanaannya di Bali) Denpasar, Wijaya Words.
____________, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah berlakunya UUPA,
Denpasar, CV. Kayu Mas.
Sumardika, I Nengah, 2004, “Efektivitas Pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2001 Tentang
Desa Pekraman di Kabupaten Karangasem” Tesis Program Pasca Sarjana
Universitas Hindu Indonesi Denpasar, Denpasar, Pasca Sarjana Unhi.
Sirtha I Nyoman, 2002,“Strategi Pemerdayaan Desa Adat dengan Pembentukan Forum
Komunikasi”, dalam Desa Pekraman (Sejarah, Eksistensi dan Strategi
Pemberdayaan), Denpasar, Yayasan Tri Hita Karana Bali.
Steward, Julian H, 1976, Theory of Culture Change, Urbana: University of Illinois Press.

Koran “TOKOH” No. 343 VII, 17-23 Juli 2005, Agar Polisi Lebih Beradab Konsep baru untuk Kepolisian RI: Pemolisian Masyarakat.
Koentjaraningrat, 1994, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT Gramedia.
Suda Sugira,2001, Acuan Tentang Sistem Pemerintahan Desa di Bali Dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Denpasar, Fisip Unwar.
Parimartha, I Gede, 2002, “Desa Adat Dalam Perspektif Sejarah” dalam Desa
Pekraman (Sejarah, Eksistensi dan Strategi Pemberdayaan), Denpasar,
Yayasan Tri Hita Karana Bali.
__________, 2003, “Memahami Desa Adat, Desa Dinas Dan Desa Pakraman (Suatu
Tinjauan Historis, Kritis)”, Dalam Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Bidang Ilmu Sejarah, Denpasar, Universitas Udayana.
----------------. 2004, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pekraman di Bali, Denpasae, LPM Unud.
Pasek Diantha, I Made, 2002, “Eksistensi Desa Menurut UU No. 22 tahun
1999” dalam Desa Pekraman (Sejarah, Eksistensi dan Strategi Pemberdayaan),
Denpasar, Yayasan Tri Hita Karana Bali.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986, Tentang
Kedudukan, Fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat
Hukum Adat dalam Propinsi daerah Tingkat I Bali.
________________, Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
------------------------, Nomor 2 Tahun 1988, Tentang Lembaga Perkreditan Desa.
Pararem Desa Adat Tuban, Kelurahan Tuban Kecamatan Kuta Kabupaten Badung tahun 2005.
Pitana, I Gede, 1984, “Awig-awig Desa Adat Untuk Menangani Pedagang Acung”, Peper dalam Pesta Kesenian Bali, Denpasar: Werdi Budaya.
________________, 1994, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Denpasar, Penerbit Bali Post.
Pitana, I Gede, 2002, Fotensi Konflik, Adat Budaya dan Pariwisata Bali “dalam Desa Pakraman”, Denpasar Yayasan Tri Hita Karana Bali.
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 350/Pdt.G/1999/PN.Dps.
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 45/PDT/2001/PT.Dps.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/Pdt/2002.
UUD 1945 Amandemen Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.
UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
______, Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa.
Wesna Astara, I Wayan, 2004, “Desa Pekraman dan Respon Budaya Bali Terhadap
Pariwisata dalam masyarakat Multikultural Menuju Jagadhita” Dalam Jurnal
Ilmu Sejarah Tantular, Denpasar,
Wesnawa, Ida Bagus Putu, 2001,Otonomi DaerahPola Hubungan Fungsional, Desa Adat dalam Sistem Pemerintahan Desa/Kelurahan, Denpasar, Fisip, Unwar.
Wiana I Ketut, 2001, Desa Pakraman dan Pemerintah Desa di Bali, Denpasar, Fisip
Unwar.
Widnyana, I Made, 1992, “Peranan Desa Adat dalam penyelesaian Konflik (Suatu kajian Kriminologis)”, Kerta Patrika, No. 58, Th. XVIII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar