Jumat, 13 Agustus 2010

OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
Oleh: Dwi Putra Darmawan
Pengantar
Pemerintah telah mengimplementasikan UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pada Januari 2001. UU No. 22 tahun 1999 telah memberikan arahan bahwa sebagian besar pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada pemerintah daerah. Kebijakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk merencanakan dan mengelola pembangunan secara mandiri serta lebih mengenal potensi serta keunggulan daerahnya. Dalam pelaksanaannya, UU No. 22 tahun 1999 yang dikaitkan dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, memberikan ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah dalam menangani urusan pemerintah di tingkat lokal, menyelesaikan permasalahan daerah, dan lebih kreatif mengembangkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Kebijakan otonomi daerah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tampak dari semakin maraknya retribusi yang tumpang-tindih antar wilayah, utamanya pada distribusi komoditas pertanian, sehingga mempengaruhi efisiensi perdagangan produk pertanian. Berbagai upaya pemerintah pusat telah dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut, seperti mengeluarkan UU No. 18 tahun 1997, menandatangani Letter of Intent (LoI) dalam rangka kesepakatan dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998 berdampak positif bagi petani, tetapi mengurangi PAD, sehingga muncul UU No. 34 tahun 2000.
Undang-undang No. 34 tahun 2000 memberikan lebih banyak kesempatan kepada daerah untuk mengumpulkan pajak dan retribusi daerah. Setelah UU No. 34 tahun 2000 diimplemen¬tasikan, jumlah peraturan daerah tentang pajak bertambah dengan pesat. Kebanyakan peraturan daerah tentang pajak dan retribusi memiliki masalah, seperti masalah-masalah (a) prinsip, yakni free internal trade, pungutan ganda, validitas peraturan daerah sebagai mekanisme untuk mencapai tujuan pembangunan kurang; (b) masalah substansi, meliputi ketidak jelasan objek, prosedur, struktur tarif, hubungan antara tujuan dan isi; (c) teknis , berupa relevansi acuan yuridis formal. Keadaan ini menyebabkan iklim usaha menjadi tidak kondusif dan turunnya kredibilitas peraturan daerah. Aparat pemerintah daerah cenderung melihat PAD sebagai sumber utama keberhasilan otonomi (KPPOD, 2002b). Salah satu fokus kebijakan Otonomi daerah adalah meningkatkan PAD melalui setiap sumber dan peluang yang memungkinkan, seperti melalui pajak, restribusi, serta pungutan lainnya di semua sektor, termasuk sektor pertanian.
Di beberapa daerah, semangat pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD semakin tinggi setelah melihat bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) kurang memenuhi kebutuhan pemerintah daerah. DAU atau dana bantuan lain dari pemerintah pusat hanya berkisar antara 50-60% dari total APBD. Selama ini, DAU diharapkan menyediakan juga dana untuk pembangunan daerah. Namun, kenyataannya banyak daerah menerima DAU yang jumlahnya hanya cukup untuk gaji pegawai dan biaya operasional.
Sektor pertanian yang dalam paradigma pembangunan daerah merupakan prime mover untuk meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat, perlu mendapat perhatian, utamanya dalam distribusi komoditas pertanian. Sentra produksi pertanian yang umumnya jauh dari pasar menyebabkan produk pertanian harus melintasi antar wilayah (kabupaten, provinsi, dan antarpulau) untuk bisa sampai ke pasar dan dalam rangka otonomi daerah, berbagai daerah yang dilintasi produk pertanian tersebut telah membuat berbagai peraturan dan pungutan yang berhubungan dengan distribusi produk yang melintasi daerahnya untuk meningkatkan PAD. Peraturan dan pungutan yang tumpang-tindih dapat mengakibatkan biaya perdagangan produk pertanian menjadi lebih tinggi, sehingga konsumen harus membayar lebih mahal, sedangkan produsen tetap menerima harga yang rendah (SMERU, 2000).
Salah satu fokus kebijakan Otonomi daerah adalah meningkatkan PAD melalui setiap sumber dan peluang yang memungkinkan, seperti melalui pajak, restribusi, serta pungutan lainnya di semua sektor. Dengan alasan bahwa pertum¬buhan sektor pertanian lebih lambat dibandingkan dengan sektor industri dan akan berimbas pada penerimaan PAD, tidak mengherankan jika pemerintah daerah kurang memperhatikan sektor pertanian. Selain itu, restribusi-restribusi dan pajak dapat menjadi andalan pemerintah daerah untuk meraup PAD banyak dan cepat dapat menjadi penghambat perkembangan sektor pertanian. Para pedagang produk pertanian menganggap bahwa berbagai macam restribusi tersebut akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat perdagangan hasil pertanian, dan pada giliranya pembangunan pertanian di daerah menjadi terpinggirkan (Mayrowani et al., 2003; Mayrowani, 2006).
Bagi pemerintah daerah yang berkomitmen mengangkat potensi sektor pertaniannya, hasil pungutan-pungutan yang berupa retribusi oleh pemerintah daerah ini mungkin saja ditransfer kepada produsen dan konsumen atau dikembalikan dalam bentuk investasi publik di sektor pertanian, sehingga pada gilirannya akan mengurangi biaya transpor dan memperlancar distribusi produk pertanian. Diperlukan kajian serius untuk mengetahui sejauh mana peraturan daerah mempertimbangkan kinerja pembangunan pertanian, utamanya efisiensi perdagangan antar wilayah (Montgomery et al., 2000).
Masalah perdagangan semakin kompleks dengan adanya kebijakan otonomi daerah karena deregulasi untuk meningkatkan pendapatan petani yang terdistorsi oleh berbagai kebijakan pemerintah daerah atau oleh kepentingan pribadi legislator yang mengatas namakan berbagai kebijakan, serta praktek pemerasan terselubung melalui peraturan daerah (Kompas, 14 Agustus 2003). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Bagnasco (1990), yakni ada struktur keterkaitan yang relatif stabil antara ekonomi formal, ekonomi informal, dan ekonomi terselubung. Permasalahannya adalah bagaimana mencari keseimbangan untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Setelah Indonesia mengikatkan diri pada kesepakatan internasional WTO dan AFTA, telah terjadi berbagai kegagalan pasar. Otonomi daerah yang didasari pertimbangan yang bersifat non-ekonomi, seperti politik dan rente, menyebabkan pasar akan semakin gagal menggunakan sumberdaya secara efisien (KPPOD, 2002a).
Otonomi Daerah dan Pembangunan Pertanian
Seiring dengan gerakan reformasi, pemerintah telah mengimple¬mentasikan kebijakan otonomi pada berbagai aspek sejak tahun 2001. Otoritas dan kebijakan pembangunan pertanian telah didelegasikan kepada pemerintah daerah, utamanya pada tingkat kabupaten atau kota. Pelimpahan wewenang seyogyanya dapat meningkatkan kinerja pembangunan pertanian daerah sesuai dengan potensi dan kapasitas lokal. Dengan dukungan anggaran yang besar, pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk mengembangkan kebijakan dan teknologi yang spesifik lokasi. Efektivitas otonomi bidang pertanian masih diperdebatkan beberapa kalangan. Di satu sisi, ada peluang munculnya inisiatif dan pemberdayaan sumber daya lokal. Di sisi yang lain, ada ancaman inkonsistensi dari birokrasi dan legislator daerah terhadap arti penting pembangunan pertanian.
Pembangunan pertanian dianggap oleh sebagian birokrasi dan legislator lokal sebagai bidang yang cost-center yang membutuhkan investasi besar tetapi pengembaliannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan mengapa isu pentingnya pembangunan pertanian dianggap kurang menarik perhatian bagi sebagian besar pembuat kebijakan daerah dibandingkan dengan isu pertumbuhan sektor industri maupun jasa. Kepala daerah dan anggota legislatif yang dipilih dalam periode lima tahun, dalam beberapa kasus akan lebih tertarik dan berkonsentrasi mengurusi bidang yang memiliki return yang tinggi dan lebih cepat seperti industri, pertambangan, eksploitasi hutan, atau pariwisata.
Meskipun masih perlu didukung dengan data-data empiris, kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah kurang berpihak pada kegiatan yang terkait dengan pembangunan pertanian. Kecenderungan penurunan aktivitas pembangunan pertanian, antara lain disebabkan (a) perbedaan persepsi antara daerah dan pusat serta antara eksekutif dan legislatif lokal tentang peranan pembangunan pertanian, yang memperbesar variasi yang mencolok dalam kebijakan pertanian; (b) rendahnya prioritas dan alokasi anggaran untuk pembangunan pertanian; (c) informasi pertanian sangat terbatas; (d) penurunan kapasitas dan kemampuan manajerial dari penyuluh pertanian.
Mengembalikan ide sentralisasi pembangunan pertanian seperti pada masa revolusi hijau tampaknya juga bukan pilihan yang tepat karena membatasi partisipasi dan inisiatif lokal, bagaimanapun perlu upaya yang sistematis dan serius supaya otonomi daerah juga memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pertanian. Para birokrat, politisi, dan legislatif yang memiliki otoritas membuat kebijakan pemerintah perlu memiliki pemahaman yang sama tentang arti penting pembangunan pertanian. Perubahan mindset dari birokrasi lokal, perlu terus didorong sehingga mereka menjadi lebih berpihak pada sektor pertanian.
Mewujudkan Pertanian Lokal yang Demokratis
Walaupun, di satu pihak pembangunan pertanian telah menunjukkan keberhasilan, tetapi di pihak lain masih menghadapi permasalahan, utamanya lahan pertanian, air irigasi, hama dan penyakit tanaman, sarana produksi, pasca panen, dan kelembagaan pertanian. Menyongsong diberlakukannya otonomi daerah tahun 2001, diperlukan perubahan paradigma kebijakan pembangunan pertanian di Bali, antar lain dari perencanaan terpusat menjadi perencanaan otonom, dari orientasi produksi menjadi orientasi pasar, dari orientasi ekonomi menjadi orientasi kepada manusia, dari pendekatan sektoral menjadi pendekatan yang berbasis kewilayahan yang holistik, dari sistem perencanaan dari atas ke bawah (top down) dan dari bawah ke atas (bottom up) menjadi sistem perencanaan pembangunan partisipatif (Suarta dan Swastika, 2004).
Keuangan daerah dianggap sebagai kunci utama yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Pungutan pajak dan retribusi cenderung makin banyak pada era otonomi daerah menyebabkan meningkatnya biaya distribusi hasil pertanian, menekan harga yang diterima produsen, dan menekan daya saing sistem komoditas pertanian. Jika kebijakan otonomi daerah hanya menambah beban tanpa memberikan layanan yang berkualitas, maka tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan otonomi daerah akan ditentang oleh masyarakat.
Pemerintah pusat perlu konsisten dalam melaksanakan Undang-undang otonomi ini, dengan memberikan kesempatan yang cukup luas untuk mendapatkan manfaat dari hasil pengelolaan kekayaan daerah, sehingga pemerintah daerah memperoleh PAD lebih banyak dari pengelolaan kekayaan daerahnya dengan menciptakan iklim usaha yang baik. Pembenahan dan pemantapan kebijakan otonomi daerah perlu dilakukan dengan sistematik, koordinasi antar wilayah. Transparansi dalam pengurusan ijin, pajak serta berbagai pungutan sangat diperlukan. Keamanan dan kenyamanan untuk terhindar dari berbagai pungutan ilegal yang sangat memberatkan pedagang produk pertanian perlu dijamin oleh pemerintah. Perbaikan pengaturan, baik substansi maupun rumusan yang tepat, untuk menghindarkan tafsir ganda dalam pelaksanaan otonomi yang mengakibatkan biaya tinggi dalam usaha perdagangan hasil pertanian, perlu dilakukan dengan lebih cermat (SMERU, 1999).
Lebih tepat jika pemerintah berupaya untuk membantu menemu-kenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditas, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah (Mubyarto dan Santosa, 2003).
Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditas pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, atau ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam berbisnis, tetapi hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong-royong dalam kegiatan mereka. Bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal, sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Industrialisasi tanpa didasari transformasi sosial yang terencana, menghasilkan dekadensi moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, marjinalisasi kaum petani kecil, petani tuna kisma, dan buruh tani.
Masyarakat petani memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan mereka, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Peningkatan ketahanan pangan dan pendapatan tanpa diikuti oleh kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi pangan yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik.
Situasi tersebut semakin diperparah jika terjadi distorsi kebijakan pemerintah (penerapan pajak atau subsidi, hambatan perda¬gangan, atau intervensi lainnya) dan kegagalan pasar (monopoli, eksternalitas, atau pasar sumberdaya domestik yang tidak berkembang) menyebabkan pasar berjalan tidak sempurna dan gagal menciptakan pasar yang efisien. Kebijakan pemerintah yang distortif dan kegagalan pasar menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiensinya (divergensi) dan petani harus membayar harga input lebih mahal dibandingkan dengan yang seharusnya dibayar, dan pada gilirannya menyebabkan merosotnya keuntungan, baik secara aktual maupun sosial yang diperoleh petani (Darmawan, 2010). Sementara itu, berbagai harga kebutuhan pokok saat ini terus meningkat. Kebijakan pemerintah yang distortif dapat menimbulkan pengangguran, kemiskinan, rawan pangan dan gizi buruk di perdesaan Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan pendekatan alternatif sebagai solusi ketidakadilan pangan dan ketidakpedulian asal pangan. Organisasi petani internasional, via Campesina telah mencetuskan solusi alternatif, yakni kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan merupakan hak setiap orang, kelompok masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumberdaya produktif serta dalam menentukan kebijakan produksi, distribusi dan konsumsi pangan sesuai dengan kondisi ekologi, sosiol, ekonomi, dan budaya khas masing-masing. Tentu saja tidak cukup hanya membuat definisi, persoalannya adalah bagiamana mewujudkan kedaulatan rakyat atas pangan. Berdasarkan pengalaman empiris, upaya mengatasi masalah rawan pangan akan berhasil jika dalam proses pelaksanaannya berbasis masyarakat (Maguantara et al., 2005).
Karena pangan adalah hak asasi paling dasar, maka pangan harus berada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya dapat terjamin dan berkelanjutan. Agar kendali atau kedaulatan pangan berada di tangan rakyat maka pangan harus dilokalisasikan. Lokalisasi pangan berarti upaya optimal agar seluruh kebutuhan pangan diproduksi sendiri, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Dengan lebih mengutamakan produksi dan distribusi pangan lokal dan nasional, maka swasembada pangan dapat diraih, pasar domestik dapat berkembang sehingga dapat melindungi usaha petani kecil dari kemungkinan dampak krisis, membebaskan usahatani dari kepentingan pedagang yang berperilaku mencari rente ekonomi, memangkas biaya transportasi dan lingkungan yang tidak perlu, sekaligus dapat mengembangkan perekonomian perdesaan yang berkelanjutan.
Lokalisasi pangan dapat pula diartikan sebagai pembaruan sistem pangan masyarakat. Pembaruan ini dapat dilakukan dalam suatu wilayah yang relatif kecil, seperti dusun/banjar, desa, masyarakat adat, beberapa desa, kecamatan, kabupaten atau suatu zona agroklimat. Berangkat dari pemikiran bahwa negara atau pemerintah merupakan penanggungjawab utama pemenuhan hak atas pangan dan desa merupakan kelembagaan pemerintah yang paling bawah, maka desa dianggap menjadi wilayah yang tepat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas pangan di tingkat lokal. Melalui pembaruan sistem pangan masyarakat di perdesaan diharapkan warga komunitas atau masyarakat dapat bekerjasama mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan dengan cara memanfaatkan berbagai sumber produksi pangan yang ada di wilayahnya. Dukungan dari aparat desa dan yang di atasnya serta pihak lainnya sangat diperlukan guna memperkuat dan mempercepat proses pembaruan ini.
Ada empat matra yang perlu diperjuangkan dalam rangka pembaruan sistem pangan masyarakat di perdesaan, yakni penataan-ulang sumber produksi pangan, pertanian berkelanjutan, perdagangan lokal yang adil, dan pola konsumsi pangan lokal yang beragam (Maguantara et al., 2005), dengan penjelasan sebagai berikut.
a. Penataan-ulang sumber produksi pangan.
Sumber produksi pangan utama, yakni lahan, tenaga kerja, modal, perlu ditata ulang pengelolaannya sehingga rumahtangga miskin yang rawan pangan dan gizi buruk dapat mengakses dan mengelolanya secara lebih produktif dan berkelanjutan.
b. Pertanian berkelanjutan.
Pertanian dikatakan berkelanjutan jika telah mencakup lima dimensi: (1) sistem dan praktek pertanian yang bernilai ekonomi; (2) ramah ekologis/lingkungan, yakni hubungan dinamis manusia dan lingkungannya, termasuk teknik budidaya pada usahatani tanpa menghasilkan perubahan onsite atau offsite yang negatif; (3) metode/praktik pertanian yang berkeadilan sosial; (4) sistem pertanian yang secara budaya sesuai, sensitif, valid, dan menggunakan pengetahuan asli; (5) pendekatan sistem/holistik, yakni sistem yang menyeluruh, termasuk usahatani beragam yang spesifik lokasi.
c. Perdagangan yang adil.
Produksi aneka tanaman pangan terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga dan komunitas di desanya serta sisanya dijual kepada warga di desa lain atau warga di sekitar desa dengan cara lebih langsung dan adil antara petani dengan konsumen.
d. Penguatan pola konsumsi aneka pangan lokal.
Kesadaran warga komunitas dan konsumen terhadap produksi aneka pangan lokal, selain menjamin terpenuhinya kebutuhan makanan sehat dan begizi, juga membantu petani mengembangkan usahatani dan kesejahteraan mereka. Penganekaan pangan lokal ini juga akan mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor, serta meningkatkan perekonomian desa.
Strategi utama pembaruan sistem pangan di perdesaan Bali adalah membangkitkan kesadaran, solidaritas, dan kerjasama seluruh warga masyarakat desa. Solidaritas dan kerjasama ini mensyaratkan keterlibatan dan partisipasi seluruh warga dalam pengambilan keputusan. Proses pembaruan, meliputi penilaian situasi pangan (masalah, kebutuhan dan potensi), penentuan masalah prioritas dan tujuan, pembuatan rencana aksi, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan dan dihasilkan. Pembaruan keempat matra itu akan terlaksana jika warga komunitas di perdesaan Bali memiliki lembaga-lembaga lokal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti Desa Pekraman, Banjar Adat, Subak, dan LPD. Melalui lembaga-lembaga lokal yang kuat ini, mereka bersama-bersama mengembangkan kebijakan dan program pertanian lokal yang demokratis.
Pembangunan pertanian di Bali tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan di Bali yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin, termasuk di antaranya petani, di perdesaan Bali. Fokus yang berlebihan pada sektor industri dan jasa pariwisata akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya sama sekali tidak terkait dengan bisnis. Padahal, merekalah penduduk miskin di perdesaan yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar, utamanya pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian yang ada di Bali. Pembangunan pertanian di Bali harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.

Referensi
Bagnasco, A. (1990), ‘The Informal Economy’, The Journal of International Sociological Association 38 (3), pp. 19-20.
Darmawan, D.P. (2010), ‘Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing dan efisiensi sistem komoditas pertanian’, Orasi ilmiah pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam bidang ekonomi pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 24 Juli 2010.
KPPOD (2002a), ‘Implementasi UU No. 34, 2000 dan implikasinya terhadap iklim usaha’, KPPOD-PEG-USAID,Jakarta.
KPPOD (2002b), ‘Pungutan berganda: keragaman objek, pelanggaran kewenangan’, KPPOD-PEG-USAID, Jakarta.
Maguantara, Y.N. et al. (Eds.) (2005), ‘Ayo wujudkan kedaulatan atas pangan: panduan dan modul pendidikan untuk aksi pembaruan sistem pangan masyarkat desa’, AKATIGA dan KRKP, Bandung.
Mayrowani, H. (2006). ‘Kebijakan otonomi daerah dalam perdagangan hasil pertanian’, Analisis Kebijakan Pertanian 4 (3), pp, 212-225.
Mayrowani, H. et al. (2003), ‘Kajian perdagangan komoditas pertanian antar wilayah dalam era otonomi daerah’, Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor
Montgomery, R. et al. (2000), ‘Deregulation of Indonesia’s interregional agricultural trade’, SMERU, Jakarta.
Mubyarto dan Santosa, A. (2003), ‘Pembangunan pertanian berkelanjutan (kritik terhadap Paradigma Agribisnis)’, Available from URL: http://www.Ekonomirakyat.org/edisi_15 /artikel_7.htm, Accessed July 24, 2010.
SMERU (1999), ‘Deregulasi perdagangan regional: pengaruh terhadap perekonomian dae¬rah dan pelajaran yang diperoleh’, SMERU-Aus-AID-ASEM-USAID, Jakarta.
SMERU (2001), ‘Otonomi daerah dan iklim usaha’, SMERU-PEG-USAID, Jakarta.
Suarta, K. dan Swastika, I.G.K. (2004), ‘Evaluasi pembangunan pertanian di Bali selama PJP I dan program pembangunan pertanian tahun 2000-2004’, Dinas Pertanian Provinsi Bali, Denpasar.

2 komentar:

  1. ini yang aku cari, makasih gan artikelnya.
    sharing juga ni, dengar-dengar blog jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia adalah blog baru yang cukup bagus menyediakan referensi seputar pertanian, sesuai dengan namanya jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia memang tidak hanya membahas teori saja, namun infonya juga bersifat aplikatif, karena itulah kadang juga saya mengunjunginya DISINI>> jokowarino.com tempat berbagi informasi mengenai pertanian indonesia

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus