Jumat, 13 Agustus 2010

TANTANGAN DAN SOLUSI PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BALI Suatu Tinjauan Politik Kepariwisataan

TANTANGAN DAN SOLUSI PEMBANGUNAN
KEPARIWISATAAN BALI
Suatu Tinjauan Politik Kepariwisataan

Oleh: I Gede Ardika

Kepariwisataan Bali, sebagai alat pembangunan, harus dilaksanakan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Bali. Pelaksanaan pembangunan kepariwisataan Bali menghadapi tantangan dalam berbagai aspek. Langkah-langkah solusi dalam menghadapi tantangan tersebut harus diambil secara dini, komprehensif dan berwawasan jauh ke depan. Tantangan dan solusi dilihat dari kepentingan umum masyarakat Bali dalam kepentingannya untuk mampu menentukan masa depannya sendiri.

TUJUAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BALI

Daerah Bali memiliki dua kedudukan yang sangat strategis, baik sebagai daerah otonom maupun sebagai daerah yang merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pembangunan daerah Bali mencerminkan kedua kedudukan strategis itu. Tujuan pembangunan kepariwisataan Bali haruslah diletakkan dalam kerangka untuk turut mewujudkan tujuan pembangunan Daerah Bali.

Masyarakat Bali, yang mayoritas beragama Hindu, mempunyai tujuan hidup ”Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma”. Dharma itu adalah untuk mencapai moksa, mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rokhani yang langgeng, dan mencapai kesejahteraan makhluk hidup dan kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara. Untuk mewujudkan tujuan itu, pembangunan Bali dilandasi oleh budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dengan falsafah ”Tri Hita Karana”.

Masyarakat Bali, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, menginginkan agar masyarakat Bali dapat menjadi masyarakat yang Pacasilais, yaitu memiliki budi pekerti kemanusiaan yang luhur, menjunjung tinggi hak azasi manusia, menjunjung kebhinekaan dan kearifan lokal, mengedepankan permusyaratan serta terwujudnya pemerataan kesejahteraan jasmanai maupun rokhani bagi seluruh masyarakat.

Kedua tujuan umum masyarakat Bali itu haruslah menjadi acuan utama dalam merumuskan tujuan pembangunan kepariwisataan Bali seperti yang sudah dituangkan dalam Peraturan Daerah nomor 3 tahun 1991, jo. Perda No. 1 tahun 1974, tentang Pariwisata Budaya.

Beberapa hal yang telah digariskan yang harus dicermati dalam Perda tersebut. Pertama, bahwa pembangunan kepariwisataan itu harusnya adalah pembangunan kepariwisataan untuk Bali, dan bukan Bali untuk kepariwisataan. Dengan kata lain, pembangunan kepariwisataan itu seharusnya adalah untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat Bali itu sendiri; bukannya Bali di eksploitasi untuk kemajuan kepariwisataan yang kemanfaatannya tidak dinikmati oleh masyarakat Bali. Pembangunan yang berbasis masyarakat adalah untuk membangun kemampuan masyarakat untuk mampu menentukan masa depannya sendiri. Kedua, bahwa kepariwisataan yang dibangun di Bali adalah ”pariwisata budaya”, yaitu pariwisata yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu. Itu berarti pembangunan kepariwisataan Bali tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Bali yang bersumber dari agama Hindu, dan bahkan seharusnya kepariwisataan Bali dapat menjadi wahana perwujudan budaya dan pelestarian kebudayaan Bali. Ketiga, bahwa pembangunan kepariwisataan Bali dilandasi oleh falsafah ”Tri Hita Karana”. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan Bali harus mampu menjadi wahana aktualisasi falsafah itu, dan kegiatan kepariwisataan Bali tidak boleh melanggar nilai dasar yang dikandung falsafah Tri Hita Karana. Falsafah Tri Hita Karana memberikan pelajaran akan pola hidup masyarakat yang harus mampu menyeimbangkan berbagai kebutuhannya. Terutama kemampuan untuk mengendalikan sifat loba, rakus manusia. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi: ”There is a sufficiency in the World for man’s need, but not for man’s greed”. Untuk itu, konsep ”kaya” dan ”miskin” perlu dikembalikan lagi kepada ajaran falsafah tersebut. Sementara ini kebanyakan orang mengartikan menjadi orang kaya itu adalah memiliki harta yang banyak, berlimpah tanpa batas. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta atau hartanya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana dan ajaran orang bijak di Bali, bahwa ”orang kaya” adalah orang yang ”tahu” apa artinya ”cukup”, tahu mengendalikan keinginan diri manusia yang tak terbatas. Sedangkan orang miskin adalah orang yang ”tidak tahu” apa artinya ”cukup”, artinya orang yang selalu dikuasai oleh hawa nafsu keserakahan. Manusia, atau masyarakat yang menganut konsep hidup yang penuh dengan keserakahan itulah yang akan menghancurkan bumi ini dan bahkan mungkin dengan semua penghuninya.

Tri Hita Karana juga menggariskan untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan menjaga kelestarian sumber daya alam itu sendiri agar dapat dimafaatkan masa kini maupun di masa mendatang bagi geberasi selanjutnya. Inilah konsep pembangunan berkelanjutan yang secara filosofis sudah diletakkan dan dipraktekkan oleh para leluhur di Bali. Tetapi karena terbuai oleh keangkuhan untuk menjadi ”moderen” dengan memalingkan pandangan ke arah ”Barat” serta mengabaikan apa yang sudah diwariskan oleh para leluhur dengan menganggap sudah kuno, kedaluarsa, sehingga cara pandang hidup menjadi bergeser. Dari konsep hidup yang seharusnya penuh dengan kearifan, budi pekerti luhur, kesederhanaan, kekeluargaan, keseimbangan hidup yang dilandasi oleh konsep apa artinya cukup; lalu bergeser ke konsep hidup yang penuh dengan gaya hidup yang tidak mengenal apa artinya cukup, keserakahan, kebohongan yang menyebabkan kehidupan kemanusiaan ini mengarah ke sisi jurang kehancuran.

Pembangunan kepariwisataan Bali harus dapat mengembalikan kembali ke konsep hidup yang berlandaskan Tri Hita Karana. Konsep hidup yang dilandasi oleh falsafah Tri Hita Karana itulah yang harus menjadi bagian dari pembangunan kepariwisataan Bali. Artinya melalui kegiatan kepariwisataan yang dilakukan di Bali, semua pelaku pariwisata menganut konsep kaya dan miskin seperti yang digariskan dalam falsafah Tri Hita Karana. Melalui pembangunan kepariwisataan yang mampu memberikan bukti akan penerapan falsafah Tri Hita Karana yang mampu mewujudkan ”keseimbangan hidup”, kemudian akan dapat memberikan pengaruh terhadap bidang, sektor pembangunan lainnya di Bali, sehingga semua aspek kehidupan di Bali secara nyata mewujudkan falsafah Tri Hita Karana.

Atas dasar hal-hal tersebut diatas, tujuan umum pembangunan kepariwisataan Bali adalah terwujudnya kesejahteraan lahir batin masyarakat Bali yang berbudi pekerti luhur, berazas kekeluargaan, lestarinya kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dan terwujudnya masyarakat Pancasilais sebagai bagian dari masyarakat bangsa Indonesia.

Tujuan khusus pembangunan kepariwisataan Bali adalah:
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
b. Menghapuskan kemiskinan,
c. Mengatasi pengangguran,
d. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya,
e. Memajukan budaya dan adab,
f. Memupuk rasa cinta tanah air,
g. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa,
h. Mempererat persahabatan antar suku dan bangsa.

TANTANGAN EKSTERNAL KEPARIWISATAAN BALI

Tantangan eksternal adalah tantangan yang datang dari lingkungan di luar kehidupan masyarakat Bali, baik yang berada di lingkungan nasional, regional maupun global. Tantangan tersebut tidak dapat dihindari, karena Bali bukanlah pulau yang keberadaannya terisolasi dalam dakam suatu ruang hampa, tetapi merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masyarakat regional maupun masyarakat dunia. Sehingga dinamika yang terjadi secara nasional, regional maupun global akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali. Dalam menyikapi semua pengaruh eksternal tersebut diperlukan kekuatan jati diri masyarakat Bali, yang melandaskan diri pada nilai-nilai kebudayaan Bali serta kekuatan cerlang budaya (local genious) yang akan mampu memilih dan memilah hal-hal yang sesuai untuk memperkukuh dan memperkaya jati diri masyarakat Bali.

Tantangan Ekonomi.
a. Krisis ekonomi global. Krisis ekonomi global yang dipicu oleh praktek ekonomi yang sangat spekulatif dan bahkan cenderung pada arah penipuan oleh lembaga keuangan dalam pembiayaan perumahan di Amerika Serikat yang kurang bertanggung jawab. Seperti dimuat dalam Harian Kompas, Jumat 19 September 2008, halaman 15, menyebutkan bahwa rontoknya institusi Wall Street menunjukkan kerapuhan fondasi hegemoni sistem kapitalisme Amerika Serikat dengan Wall Street sebagai pilar utamanya. Krisis sekarang ini adalah akibat kombinasi dari ”moral hazard” yang luar biasa di kalangan industri keuangan di Wall Street dan sikap menutup mata di kalangan otoritas pasar finansial, otoritas moneter (Fed) dan juga pemerintah yang selama ini asyik bermain mata dengan para ”big boy” di Wall Street. Dari konstatasi itu jelas adanya ”moral hazard”, absennya moralitas, kejujuran, dan kerakusan dari sistem ekonomi di Amerika Serikat yang mempengaruhi perekonomian dunia.
b. Sistem ekonomi yang dilandasi oleh konsep pertumbuhan yang tak terbatas. Konsep perekonomian yang dianut dewasa ini adalh konsep pertumbuhan tanpa batas. Tidak ada batasan sejauh mana suatu perekonomian suatu negara atau di dunia akan terus didorong pertumbuhannya. Dalam konsep ini, hanya melalui pertumbuhanlah peningkatan kesejahteraan dapat dilakukan. Dan pertumbuhan dapat dicapai melalui konsumsi. Dengan tidak adanya pembatasan kesejahteraan dan pertumbuhan perekonomian akan menyebabkan terjadinya ekploitasi yang tak terbatas atas sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Hal ini yang menyebabkan kerusakan alam yang luar biasa, berbagai industri yang bekerja sangat berlebihan yang berkontribusi besar atas terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
c. Sistem ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan. Praktek ekonomi yang terlalu mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan aspek pemerataan telah mengakibatkan makin memperbesar jurang antara yang miskin dan yang kaya. Padahal, konstitusi lebih menggariskan keadilan, pemerataan agar kesejahteraan terwujud bagi seluruh rakyat Indonesia, dan bukan bagi segelintir masyarakat tertentu.

Solusi Tantangan Ekonomi khususnya dalam pembangunan kepariwisataan Bali.
Sistem ekonomi pariwisata Bali dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana dan mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Usaha pariwisata Bali melandaskan diri pada prinsip keseimbangan, beretika dan bermoral tinggi, jauh dari kerakusan untuk mengedepankan kesejahteraan masyarakat Bali dan terpeliharanya kebudayaan dan lingkungan Bali. Dalam melaksanakan kegiatan kepariwisataan, usaha pariwisata harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang - seorang.

Tantangan Sosial-Budaya.
Tatanan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, mulai bergeser kearah ciri masyarakat yang ”individualistik”. Nilai kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong telah memudar. Ditambah lagi dengan praktek perpolitikan, yang berkencederungan mengedepankan kepopuleran yang bertumpu atas kekuatan materi, mementingkan kepentingan kelompok. Praktek perpolitikan seperti itu akan dapat memecah sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat yang berbasis kekeluargaan dan kebersamaan.

Solusi menghadapi tantangan Sosial-Budaya.
Masyarakat Bali telah memiliki contoh nyata tentang organisasi kemasyarakatan seperti desa pekraman, banjar, subak, yang dilandasi oleh nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan dan gotong royong. Oleh karena itu, pembangunan kepariwisataan Bali harus tetap teguh berpegang pada nilai-nilai dasar kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong sebagai landasan dasar membangun sistem organisasi profesi kepariwisataan di Bali. Setiap organisasi kepariwisataan yang bergerak di Bali harus dilandasi oleh nilai-nilai dasar tersebut.

Tantangan Keamanan.
Rasa aman adalah merupakan kebutuhan dasar dari setiap manusia, termasuk wisatawan. Gangguan terorisme, kriminal akan sangat mempengaruhi keinginan wisatawan untuk melalkukan perjalanan atau kunjungan. Terorisme telah menjadi permasalahan global, yang menurunkan rasa aman seseorang untuk melakukan perjalanan.

Solusi menghadapi tantangan keamanan.
Dengan berlandaskan pada doktrin nasional dalam membangun sistem pertahanan dan keamanan yaitu ”sistem pertahanan keamanan rakyat semesta” (sishankamrata); semua pemangku kepentingan pembangunan kepariwisataan Bali, pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, haruslah menjadi kekuatan untuk menciptakan rasa aman bagi wisatawan. Untuk itu haruslah dibangun dalam satu kesisteman keamanan dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi wisatawan.

Tantangan Lingkungan Hidup.
Tantangan nyata yang dihadapi oleh masyarakat dunia adalah terjadinya peningkatan suhu muka bumi (global warming) sebagai akibat terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan adanya lapisan CO2 yang terbentuk dilapisan atmosfir. Lapisan CO2 itu terbentuk sebagai akibat dari antara lain sangat masifnya penggunaan bahan bakar fosil dalam berbagai kegiatan industri dan ekonomi di dunia ini, terutama di negara-negara maju, yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi O2. Sedangkan disisi lain, hutan-hutan tropis yang merupakan ”paru-paru dunia” telah semakin berkurang secara drastis, akibat terjadinya penggundulan hutan secara besar-besaran. Semuanya itu dilakukan atas nama pertumbuhan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan. Lagi-lagi wajah sistem ekonomi yang rakus muncul menghantui kelangsungan hidup umat manusia.

Beberapa akhli mengatakan bahwa antara tahun 1999 – 2005 telah terjadi peningkatan suhu permukaan bumi antara 0,15 – 0,3 derajat C. Peningkatan suhu tersebut telah menyebabkan adanya percairan es di kutub bumi. Bila keadaan ini terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 sekitar 2000 pulau di muka bumi ini akan tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

Disisi lain, para akhli telah memastikan, bahwa telah terjadi perubahan iklim yang mempengaruhi siklus kehidupan manusia. Musim sudah tidak diperkirakan sebagaimana mestinya. Curah hujan dan kekeringan menjadi semakin tajam. Pertanian menjadi sangat terganggu.

Solusi menghadapi tantangan Lingkunga Hidup.
Pembangunan kepariwisataan Bali harus berani menjadi pelopor untuk mencanangkan ”Bali Asri dan Lestari 2030” (”Bali Blue and Green 2030/BBG 2030”). Menetapkan target agar dalam tahun 2030 terwujud Bali yang Asri dan Lestari. Artinya pada tahun 2030, udara, air sungai, air danau, air laut di Bali sudah bebas dari berbagai macam polusi. Luasan hutan di Bali sudah mencapai tingkat ideal (35 % dari luas pulau), hutan bakau, pohon-pohon lindung, pohon-pohon di pedesaan, perkotaan, secara luasan dan fungsi mencapai tingkat ideal.

Udara harus bebas dari polusi sisa pembakaran BBM (pembangkit listrik, kendaraan bermotor), pembakaran limbah padat dsb. Air danau, sungai, sumur rakyat, air laut sekitar pulau Bali harus bebas dari berbagai polusi bahan kimia, limbah padat maupun limbah cair. Laut yang bersih, akan menyuburkan tumbuhnya karang laut, yang dapat berfungsi untuk turut mengolah CO2 untuk menjadi O2. Keadaan seperti itulah yang digambarkan sebagai keadaan Bali yang ”biru”, karena bersih dan jernihnya udara dan air di Bali.

Disamping secara fisik menjadikan Bali sebagai pulau yang hijau, hutannya mencukupi, pohon-pohon pelindung memadai, juga harus mengembangkan berbagai pekerjaan yang ramah lingkungan (green job). Kegiatan kepariwisataan harus mampu menjadi pelopor dalam mewujudkan pekerjaan yang ramah lingkungan.

TANTANGAN INTERNAL KEPARIWISATAAN BALI

Tantangan Tata Nilai.
Tantangan yang paling mendasar dan yang paling mengkhawatirkan adalah tantangan aspek tata nilai. Karena tata nilai ini adalah roh atau jiwa dari kehidupan masyarakat. Ibarat rumah, tata nilai hidup adalah pondasi suatu rumah. Tanpa adanya pondasi yang kokoh akan mustahil untuk membangun rumah yang kuat yang mampu memberikan perlindungan dan kebahagiaan bagi penghuninya. Pondasi rumah pada umunya tidak akan mudah dilihat. Sehingga orang sering lupa, bahwa rumah itu memerlukan pondasi. Tata nilai yang menentukan perilaku dan karya dari seseorang atau masyarakat.

Dewasa ini dalam beberapa lingkungan masyarakat Bali telah terjadi pergeseran nilai, dari perikehidupan yang dilandasi oleh keseimbangan jasmani dan rokhani, bahkan lebih mementingkan rokhani, bergeser pada orientasi yang lebih mementingkan materi, uang, harta, kedudukan dan jabatan. Bahkan untuk dapat memiliki atau menguasai harta, materi, jabatan itu, telah menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Walaupun cara itu harus melanggar norma agama, etika, hukum ataupun tradisi dan adat yang luhur, akan ditempuh hanya demi tercapainya tujuan untuk memperoleh harta, uang, materi, kedudukan atau jabatan. Bahkan ada anngota masyarakat Bali yang rela berbuat apa saja demi harta, uang, materi atau kedudukan, dengan secara sadar meniadakan ”hukum karma” yang merupakan ”srada” agama Hindu. Sungguh mengerikan.

Ucapan-ucapan seperti ”time is money”, ”there is no such free lunch” yang sebenarnya sangat bertentangan dengan tata nilai masyarakat Bali, tetapi dengan sadar (atau mungkin tanpa disadari) oleh kalangan mereka yang ”terpelajar”, telah menggiring orientasi hidup masyarakat Bali (walau sebagian) untuk mengutamakan uang dan materi dalam hidupnya, dan akan selalu mengharapkan imbalan sebelum berbuat sesuatu. Keihlasan, tanpa pamrih, ”ngayah” yang merupakan tata nilai yang luhur, telah mulai digeser oleh nilai asing yang justru digadang-gadang oleh mereka yang ”terpelajar”. Menyedihkan.

Solusi menghadapi tantangan Tata Nilai.
Pembangunan kepariwisataan Bali harus dirancang untuk berpegang teguh pada falsafah Tri Hita Karana serta tata nilai budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Semua pengaturan dan peraturan tentang kegiatan kepariwisataan Bali haruslah dilandasi oleh tata nilai budaya Bali, untuk memberikan landasan dan arah bagi semua pemangku kepentingan kepariwisataan Bali untuk mematuhinya. Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Bali, harus tegas menggariskan falsafah Tri Hita Karana dan budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu sebagai jiwa pembangunan kepariwisataan Bali. Perda tersebut harus diikuti dengan aturan pelaksanaannya yang secara konsisten menjabarkan falsafah dan tata nilai budaya Bali dalam semua kegiatan pembangunan kepariwisataan Bali.

Tantangan Tata Ruang.
Pulau Bali yang kecil, dengan ruang fisik yang amat terbatas dengan kemampuan daya dukung terbatas, tata penggunaan ruangnya dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Disamping karena tekanan pertambahan penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi (termasuk karena adanya migrasi penduduk dari daerah lain) dan adanya tekanan kepentingan ekonomi dari luar Bali yang amat besar mempengaruhi pihak-pihak yang menentukan kebijakan keluar dari rencana tata ruang yang telah ditentukan.

Arah perkembangan suatu wilayah menjadi tidak menentu. Seolah-olah hanya demi untuk investor segala sesuatunya dapat ”diatur”. Kepentingan masyarakat Bali sendiri menjadi terkalahkan. Bahkan makin tajam terlihat bahwa pembangunan yang dilaksanakan adalah pembangunan di Bali, yang seharusnya adalah pembangunan Bali (pembangunan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Bali). Daerah yang disucikan oleh masyarakat Bali dikalahkan oleh pertimbangan kepentingan ekonomi. Jalur hijau tiba-tiba telah berubah peruntukannya menjadi daerah kegiatan ekonomi. Sawah-sawah yang subur, berubah menjadi ruko-ruko, mall, apartemen, villa, yang tidak jelas kemanfaatannya bagi masyarakat Bali. Sementara ”subak” yang merupakan kekuatan sosial budaya masyarakat Bali, dibiarkan menghilang tanpa ada upaya revitalisasi. Apa yang telah digariskan dalam ”sad kerthi” sebagai penjabaran dari Tri Hita Karana telah diabaikan begitu saja dalam pemanfaatan ruang. Sepertinya pemanfaatan ruang Pulau Bali lebih mengikuti kepentingan-kepentingan luar Pulau Bali dibandingkan mengutamakan kepentingan Pulau Bali sendiri. Upaya untuk terus meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali secara tak terbatas, adalah suatu konsep yang sangat keliru untuk pembangunan Bali secara berkelanjutan.

Solusi menghadapi tantangan Tata Ruang.
Pengaturan tata ruang Pulau Bali harus mengutamakan kepentingan pembangunan untuk masyarakat Bali dengan berlandasakan tata nilai, budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali terakhir yang sudah menjadi Perda Daerah Provinsi Bali, harus secara konsekuen dibuat rinciannya di tingkat Kabupaten/Kota untuk menjadi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata Ruang Daerah Kabupaten/Kota.

Atas dasar RencanaTata Ruang di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, disusun Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota untuk ditetapkan dalam Peraturan Daerah masing-masing. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Bali/kabupaten/Kota hendaknya memberikan perhatian terhadap pemerataan pembangunan Bali, khusus hal-hal berikut.
 Usaha Kawasan Pariwisata diperuntukkan bagi investasi dari luar Bali (PMA/PMDN), serta diikuti dengan pengaturan Tata Bangunan yg ketat (seperti Nusa Dua). Tempat ini berfungsi seperti “buffer zone” bagi kebudayaan Bali. Investor dibatasi ruang usahanya hanya di kawasan pariwisata yang sudah ditetapkan.
 Di luar dari tempat Usaha Kawasan Pariwisata yang telah ditetapkan dalam RTRWP, adalah disediakan bagi masyarakat Bali untuk berperan serta dalam kegiatan usaha pariwisata. Kegiatan ini lebih diarahkan ke “model wisata pedesaan” yang dimiliki, dikelola dan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Bali. Pengembangan model wisata pedesaan ini haruslah menjadi prioritas pembangunan kepariwisataan Bali. Pengembangan kawasan pariwisata harus diarahkan dalam kerangka untuk mempercepat pembangunan wisata pedesaan melalui pola kemitraan.
 Memperhatikan daya dukung Bali (fisik dan sosial budaya). Oleh karena itu harus ada pembatasan jumlah wisatawan yang direncanakan untuk berkunjung ke Bali. (bukan an open ended projection) agar tidak menggangu kehidupan dasar masyarakat Bali sendiri.
 Mass Tourism beralih ke Quality Tourism : Pembatasan atas jumlah wisatawan yang berkunjung secara massal, untuk dialihkan kepada sasaran wisatawan yang berkualitas, yaitu wisatawan yang lebih menghargai nilai sosial budaya, lama masa tinggal lebih lama sehingga memiliki kesempatan interaksi sosial budaya yang baik dengan masyarakat setempat sehingga mampu menciptakan saling pengertian, persahabatan serta lebih memeratakan hasil pembangunan kepariwisataan secara geografis maupun secara struktural.

Peraturan Daerah tersebut haruslah dipublikasikan secara luas untuk dapat diketahui oleh masyarakat luas. Pemerintah bersama masyarakat, terutama pelaku usaha pariwisata Bali. Para pemangku kepentingan itu harus saling dapat mengendalikan, menjaga atau mengawasi agar Perda-perda tersebut dapat diterapkan secara konsekuen. Harus dikenakan sanksi yang berat terhadap setiap orang (pemerintah, pelaku usaha pariwisata, masyarakat) yang melanggar Perda-perda tersebut.

Tantangan infrastruktur.
Air merupakan dasar kehidupan, mata pencaharian dan ritual agama. Tanpa air dapat dikatakan akan tidak ada kehidupan. Dewasa ini Bali telah mulai mengalami krisis air. Perencanaan pembangunan yang tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan ”deposit air” yang ada di Bali untuk mendukung semua jenis kegiatan kehidupan masyarakat. Beberapa bagian daerah di Bali sudah sangat merasakan krisis air untuk kehidupan masyarakat di tempat itu.

Listrik yang dewasa ini telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat di Bali telah pula terjadi adanya krisis supai listrik. Disamping belum adanya kemampuan penyediaan listrik untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, juga tidak adanya kemampuan penyediaan pasokan secara berkelanjutan (sering terjadi pemadaman listrik) serta belum adanya kemampuan untuk memenuhi permintaan masyarakat yang terus meningkat.

Transportasi, khususnya transportasi darat, untuk beberapa bagian daerah di Bali telah menyebabkan kemacetan yang merugikan masyarakat itu sendiri. Disamping kerugian akibat tingginya pencemaran udara akibat sisa buangan pembakaran kendaraan yang menggunakan BBM, juga terjadi pemborosan penggunaan bahan bakar dan kerugian waktu ekonomi maupun sosial bagi masyarakat. Kebijakan angkutan umum tidak berpihak bagi kepentingan umum, tetapi malah tersandera oleh produksi kendaraan pribadi. Tidak mungkin menambah luas dan ruas jalan hanya untuk menampung pertumbuhan kendaraan pribadi. Disamping bertentangan dengan nilai dasar masyarakat Bali yang dilandasi oleh nilai kekeluargaan, juga akan sangat merugikan kondisi lingkungan pulau Bali.

Solusi tantangan infrastruktur.
Disamping upaya untuk meningkatkan wilayah-wilayah resapan dan melakukan survey intensif hidrologi pulau Bali, Usaha kepariwisataan harus mampu menjadi pionir untuk melakukan efisiensi penggunaan air. Baik untuk mengurangi konsumsi air maupun melalui daur ulang air yang sudah digunakan, sambil mengajak masyarakat untuk mengikuti upaya efisiensi penggunaan air bersih dan menghindarkan sikap boros dalam menggunakan air.

Bali, dengan mendorong usaha pariwisata agar secara bertahap mulai beralih dari energi yang bersumber dari BBM ke sumber energi yang terbaharukan. Sumber energi terbaharukan yang segera dapat dimulai penerapannya adalah tenaga surya, mikro hidro, tenaga angin. Sumber yang lebih besar yang dapat dijajagi adalah sumber panas bumi, arus laut di Selat Bali dan Selat Lombok, yang secara teknologi sangat dimungkinkan.

Sistem transportasi kendaraan pribadi secara bertahapa untuk dibatasi sambil meningkatkan adanya sistem transportasi publik. Sistem transportasi publik yang dibutuhkan untuk masa mendatang adalah trasportasi yang mendukung kemudahan bergerak masyarakat Bali. Jenis transportasi publik seperti itu adalah ”Mass Rapid Transit” (MRT) yang memberikan akses kemudahan untuk pergerakan manusia dan barang di daerah Bali. MRT itu hendaknya menggunakan energi yang terbaharukan dari sumber arus laut atau panas bumi yang ramah lingkungan. Gagasan untuk membangun ”bandar udara internasional” di bagian utara pulau Bali adalah tidak tepat. Konsep itu lebih untuk memenuhi kepentingan ”pihak luar” yang ingin memanfaatkan Bali, tetapi tidak akan ada kemanfaatan bagi masyarakat Bali dan bahkan akan menimbulkan beban bagi masyarakat setempat.

Infrastruktur yang juga harus disediakan dari sekarang untuk mendukung perkembangan ”industri jasa” di Bali ke depan, perlu dipersiapkan sistem jaringan ”back bone” teknologi informasi, agar dapat mendukung Bali sebagai salah satu pusat industri jasa terkemuka di dunia.

Tantangan Keunikan Bali.
Kepariwisataan bertumpu pada keunikan dan perbedaan. Keunikan keadaan alam maupun budaya Bali yang unik, itulah yang menyebabkan Bali dikagumi dunia. Itu pula yang menyebabkan wisatawan berdatangan ke Bali. Prinsip dasar untuk menjaga keunikan Bali telah dipegang teguh dalam berbagai aspek pembangunan. Sayangnya akhir-akhir ini telah terjadi pemerkosaan atas keunikan Bali itu demi atau atas nama ”modernisasi” yang salah diartikan. Berbagai bentuk bangunan usaha pariwisata sudah melampaui daya kreatifitas menjaga keunikan Bali. Sebagai contoh mutakhir, kenapa ada bangunan hotel yang sangat kontras dengan kondisi Bali dibiarkan begitu saja oleh berbagai pihak. Apakah sensitifitas masyarakat Bali akan budayanya sudah demikian rendah apresiasinya? Lihatlah gambar berikut ini yang dimuat dalam Harian Kompas. Kalau ini suatu kenyataan, apakah ini Hotel ”Eden” ataukah Hotel ”Edan” !!! Semua pihak hendaknya merasa malu melihat keadaan ini.





Solusi mengatasi keunikan dan kekhasan.

Masyarakat Bali harus dibangkitkan lagi keyakinannya bahwa masyarakat Bali memiliki kekuatan ”cerlang budaya” untukmenyerap dan mengolah elemen budaya luar untuk menjadi kahs atau unik Bali. Bukan ditentukan oeh pihak luar, yang hanya semaunya untuk memanfaatkan keberadaan Bali untuk mengais keuntungan. Khususnya untuk bentuk bangunan, agar dibentuk dan diaktifkan keberadaan ”Komite Desain Bangunan” khususnya di tingkat Kabupaten/Kota. Suatu Ijin Mendirikan Bangunan (khususnya di bidang pariwisata) antara lain baru bisa diterbitkan apabila telah ada persetujuan dari ”Komite Desain Bangunan” atas desain bangunan yang diusulkan akan dibangun. Disamping itu masyarakat, termasuk para pelaku usaha pariwisata, harus aktif melakukan pengawasan dan koreksi atas hal-hal yang merusak identitas kekuatan Bali. Bali jangan diubah citranya menjadi wajah yang bukan identitas Bali.

KESIMPULAN

Untuk mewujudkan semua saran solusi tersebut diatas memiliki kekuatan pelaksanaan strategis, haruslah menjadi bagian integral dari Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Bali yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan demikian akan mengikat semua pemangku kepentingan pembangunan Kepariwisataan Bali untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan Kepariwisataan Bali.

Semoga ada pemimpin yang dibukakan mata hatinya untuk mewujudkannya.



----------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar