Jumat, 13 Agustus 2010

WAJAH HUKUM KITA DAN MASA DEPAN BALI

WAJAH HUKUM KITA DAN MASA DEPAN BALI

I Putu Gelgel


“ Dimana keadilan dirusak oleh ketidak adilan atau kebenaran dirusak oleh kebohongan, sedangkan hakim melihatnya, maka ia akan dihancurkan…oleh karena itu keadilan jangan dilanggar, melanggar keadilan akan menghacurkan kita sendiri “ ( Menawa Dharmsastra VIII, 14-15).

Kearifan dan ketegasan yang terkandung dalam sloka Manawa Dharmasastra di atas nampaknya dapat memberi semangat kepada orang Bali untuk berani memberi pengakuan yang jujur terhadap kenyataan yang sebenarnaya tentang realita wajah hukum di negeri ini, meskipun membawa resiko/kerugian pada diri kita sendiri. Pengakuan yang benar sesuai dengan kenyataan berarti suatu usaha moral dalam menegakkan kebenaran.
Membicarakan masa depan Bali haruslah dibicarakan secara holistik baik dari aspek Agama, budaya, sosial, ekonomi, politik, keamanan termasuk juga dari aspek hukum. Bagaiman wajah/potret hukum dalam konteks mewujudkan masa depan Bali yang lebih baik? Inilah yang ingin disampaikan melalui tulisan ini.

Wajah Penegakan Hukum Antara Harapan dan Ketidak Pastian

Kalau ingin Bali mewujudkan masa depan yang lebih baik, maka masalah penegakan dan pembaharuan hukum baik yang menyangkut bidang perangkat/materi hukum (legal subtance), tatanan/struktur hukum (legal structure), maupun bidang budaya hukum (legal culture), yang selama ini kurang mendapat perhatian serius dari DPRD dan Pemerintah Daerah Bali, perlu dikedepankan.
Saat ini saya sudah merasa miris melihat wajah hukum yang semakin silang sengkarut di negeri ini (termasuk wajah hukum di pulau Bali) dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam penanganan kasus korupsi, lingkungan, keamanan, dan juga politik. Terus terang saya sangat heran melihat kenyataan yang ada. Katanya Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia, tetapi sampai sekarang kita jarang melihat siapa dalang koruptornya, kita hanya mendengar dan mengedus baunya saja. Padahal kita punya undang-undang, punya pengadilan, punya polisi, punya hakim dan punya jaksa, kenapa para koruptor kelas kakap jarang dan sangat sulit tertangkap?. Ada yang diseret ke pengadilan dan sudah jelas-jelas ada indikasi korupsi tetapi yang bersangkutan masih bisa leha-leha menghirup udara segar. Barangkali benar apa yang disampaikan oleh almarhum Prof. Dr Satjopto Raharjo, bahwa kita terlalu terkungkung oleh cara berpikir yang positivis dogmatis, hanya mengkutak-katik undang-undang, asas dan prosedur secara rasional, akhirnya kita tidak bisa menyeret para koruptor yang menilep uang rakyat. Kita lebih banyak berdiskusi mengenai korupsi dari pada menyeret dan menghukum para koruptor tersebut. Dalam situasi seperti sekarang ini masih sulit kita mempercayai para penegak hukum untuk mampu membrantas korupsi karena hukum dikalahkan oleh kekuasaan. Jadi benar postulat dalam sosiologi hukum yang mengatakan bahwa “di negara berkembang, dalam perbenturan antara kekuasaan dan hukum maka kekuasaanlah yang cendrung menang”.
Bagaimana dengan Bali? Apakah hukum juga terkontaminasi oleh kekuasaan? Ketika Reformasi digulirkan, ketika bau korupsi, Kolusi dan Nepotisme mulai tercium, para mahasiswa dan teman-teman di LSM seperti BCW (Bali Corruption Watch) dengan gigih berupaya menggugat dan mengungkap kasus-kasus KKN yang juga melibatkan para penguasa di pulau Bali ( misalnya: kasus Pecatu, kasus pengangkatan PNS, kasus politik uang, dan kasus-kasus lainnya yang terlalu panjang jika di uraikan ditulisan ini). Bagaimana hasilnya? secara riil perjuangan tersebut belum membuahkan hasil seperti yang kita harapkan. Kenapa? karena penyelesaian hukumnya dikalahkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Tetapi secara moral, tidak berlebihan kalau kita acungkan jempol atas keberaniannya mengungkap kasus-kasus tersebut. Memang begitu seharusnya, mau bekerja jujur dan berani adalah merupakan modal dalam mewujudkan masa depan Bali yang lebih baik .

Di bidang Lingkungan State law Meminggirkan Folk law

Pulau Bali dianugrahi kekayaan alam lingkungan dan budaya yang sangat menawan para wisataan, baik wisatawan domistik maupun manca negara. Namun kini kondisi alam lingkungan Pulau Bali telah rusak dan tercemar. Sumber daya alam terutama sumber daya air dan tanah semakin menipis, hal ini diakibatkan oleh kegiatan pembangunan ( kuhususnya di sektor pariwisata ) yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tata Ruang Bali sangat cepat berubah. Ruang publik seperti taman, alun-alun, hutan, tebing bahkan kawasan tempat suci (pura) pun sudah dirambah dan berubah menjadi, hotel, restoran, Bank, Swalayan, ruko, lapangan golf, dll. Tidak salah kalau Bali sekarang dijuluki pulau seribu ruko bukan lagi pulau seribu pura.
Pengaturan dan pengelolaan sumber daya lingkungan selama orde baru (dan tetap berlanjut sampai kini) masih bercorak sektoral dan semata-mata berorientasi pada kepentingan ekonomi sesaat. Pengaturan yang yang demikian kurang memperhatikan kondisi dan kepentingan daerah dan masayarakat Bali (terutama masyarakat desa adat). Pola ini sangat mengabaikan kearifan lokal masyarakat Bali, yang sangat mungkin dapat memberi kontribusi dalam pelestarian sumber daya lingkungan.
Corak yang sektoral menyebabkan terjadinya saling benturan kepentingan dan kurang ada koordinasi, kondisi ini sering mengabaikan dan mengorbankan kelestarian lingkungan. Terlebih lagi dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah ada kecendrungan pemerintah daerah untuk mengekploitasi sumber daya alammya untuk mengejar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD), dan kurang memperhatikan daya dukung dan kelestarian lingkungannya. Disamping itu koordinasi dalam pengelolaan lingkungan antar Pemerintah Daerah/Kota semakin menjauh. Dengan kewenangannya masing-masing Pemerintah Daerah/Kota merasa hanya bertanggung jawab pada wilayah administrasinya sendiri. Peraturan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi sesaat atau jangka pendek juga mengorbankan kepentingan dan menggusur rakyat Bali dari tanah leluhur dan usaha-usaha tradiosionalnya (pertanian).
Kalau kita cermati Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan masalah sumber daya lingkungan seperti UUPA, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Pengairan, Undang-undang Perikanan, kurang memberikan basis bagi perlindungan lingkungan. Peraturan-peraturan tersebut lebih mendorong investasi, penguasaan negara (sentralistis) dan kurang memberi ruang bagi masyarakat Bali untuk berperan serta. Hukum negara (state Law) yang meminggirkan hukum rakyat (folk law) seperti itu, tentu saja akan condong untuk tidak dipilih rakyat, atau kasarnya terkadang akan memperoleh perlawanan dari bawah. Sekalipun hukum negara itu ditopang oleh sanksi yang dilaksanakan secara terorganisir oleh organisasi eksekutif, namun karena pada umumnya hukum negara itu kurang dikenal atau dipandang kurang menguntungkan masyarakat luas, maka hukum negara itu condong untuk terabaikan begitu saja.
Oleh karenanya jika ingin menatap Bali yang lebih baik di masa depan maka pembangunan hukum di Bali hendaknya dapat mengakomodasi nilai-nilai/asas-asas dan norma-norma hukum yang berkembang / senyatanya hidup dalam masyarakat Bali. Sehingga masyarakat Bali merasa tergugah dan merasa memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan pulaunya.

Rasa Keadilan Umat Hindu Yang Terabaikan

Sejarah telah mencatat bahwa umat Hindu di Bali pernah memiliki Peradilan Agama Hindu (Peradilan Kertha). Keberadaannya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi sengketa-sengketa perdata umat Hindu. Namun dalam perjalanannya kemudian, perkara-perkara yang ditangani tidak terbatas pada masalah perdata saja tetapi memekar dan mengembang pada masalah pidana. Materi yang dipergunakan dalam mengadili perkara-perkara dalam Pengadilan Kerta tersebut adalah bersumber pada Hukum Agama Hindu, disamping ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Bukti bahwa Pengadilan Kerta mempraktekkan Hukum Hindu dalam menyelesaikan perkara-perkaranya dapat ditelusuri dari kitab-kitab pegangan para Hakim Kerta seperti: Kitab Agama, Kitab Adigama, Kutara Manawa, Manawa Swarga dan Kitab sesana-sesana lainnya yang semuanya mengacu pada Weda Smerti.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, yang salah satu ketentuan pasalnya menyatkan bahwa Peradilan Kerta tidak berlaku lagi, untuk mengadili perkara-perkara yang timbul dari masyarakat umat Hindu. Tugas dan kewenangannya kemudian diambil alih oleh Pengadilan Negeri. Implikasi dari ketentuan ini adalah aspek Hukum Hindu yang meliputi hukum keperdataan dan juga pidana, yang semula ditangani oleh Pengadilan Kerta menjadi terhapus. Persoalan-persoalan perdata, pidana yang menyangkut segi-segi Agama Hindu kurang memperoleh perlindungan sebagaimana mestinya.
Sejak Pengadilan Kerta tidak diberlakukan lagi, maka umat Hindu di pulau Bali merasakan bahwa kebutuhan perlindungan hukumnya baru sebagian saja dapat terpenuhi melalui Pengadilan Negeri. Banyak keputusan Pengadilan Negeri yang mengabaikan rasa keadilan umat Hindu di Bali. Salah satu contoh misalnya : Keputusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa “ Peralihan agama dari seseorang tidaklah memutuskan hubungan hak waris terhadap leluhurnya “ . Keputusan ini sangat dirasakan tidak adil oleh masyarakat Hindu di pulau Bali. Kerena keputusan ini tidak sesuai dengan norma hukum yang hidup dalam masyarakat Bali (norma Hukum Hindu).
Dalam konstek kasus tersebut di atas, sebagai orang Bali yang ingin agar Bali tetap ajeg kita harus berani dan secara jujur mangakui bahwa dunia peradilan dan para hakim di Bali (termasuk hakim yang beragama Hindu) belum berani mengambil inisiatif untuk mengikuti dan berpihak kepada hukum yang senyatanya ada dan hidup dalam masyarakat Bali (falk law). Padahal hukum ini pernah dijalankan pada jaman kolonial (peradilan kertha seperti terurai di atas). Kenapa begitu sulit dilaksanakan pada jaman kemerdekaan dan reformasi ini? Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghakimi dunia peradilan dan para hakim dan bukan pula bermaksud menyalahkan para penegak hukum dalam menjalankan undang-undang sebagai dokumen hukum positif, tetapi semata ingin mengajak para penegak hukum kitadi pulau Bali ini lebih menggunakan mata hatinurani untuk menjalankan undang-undang itu secara cerdas dan bermakna. Tidak terkungkung oleh cara berpikir yang positivis dogmatis, hanya mengkutak-katik undang-undang secara rasional. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berpijak pada hukum tertulis ( undang-undang ) tetapi juga hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (seperti Hukum Hindu yang dipedomani oleh masyarakat Bali).
Bukankah hukum lokal dan tradisional itu (hukum yang hidup dalam masyarakat Bali) sesungguhnya berumur lebih tua dan lebih mengakar dalam sejarah dari pada apa undang-undang yang kita adopsi dari hukum kolonial?. Kalau kita menoleh kebekang ke sejarah masa lampau, bahwa keberadaan Hukum Hindu di Indonesia telah ada jauh sebelum hukum Islam dan hukum kolonial datang ke Indonesia. Hukum Hindu (baca hukum lokal) di Bali bukan sebatas romantisme atau nostalgia, tetapi hukum Hindu adalah merupakan living law dalam kehidupan orang Hindu (Bali) sampai saat ini. Bukankah hukum lokal walaupun tidak tertulis dan tidak memiliki ciri-ciri yang positip sesungguhnya adalah hukum yang lebih memiliki makna sosial dari pada hukum yang terwujud dan bersitegak atas wibawa kekuasaan –kekuasaan pemerintah? Adalah tragis apabila pengadilan kita yang ingin memiliki predikat Pengadilan Pancasilais termasuk para hakimnya yang telah ditatar Pancasila dan diberitau betapa tingginya nilai Pancasila itu, apa bila keputusannya tidak berani memihak kepada rasa keadilan rakyatnya. Menyedihkan? memang, tetapi inilah realita yang harus kita akui secara jujur dan mencoba bangkit dari keterpurukan hukum kita selama ini.
Sebenarnya, umat Hindu sudah lama mengajukan permohonan untuk dapat dibentuk Peradilan Agama bagi umat Hindu. Pada tahun 1986 mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar dapat di bentuk Peradilan Agama Hindu. Ketetapan Pesamuan Agung Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat tanggal 16 januari 1987 Nomor : 03/Kep/P.A/PHDIP/1987 tentang Permohonan Pembentukan Peradilan Agama Hindu . Pada tanggal 28 Januari 1987 Pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat secara langsung menghadap Bapak Menteri Agama Republik Indonesia mohon agar dapat dibentuk Peradilan Agama bagi umat Hindu.
Kemudian dalam rangka mengantisipasi terbentuknya Peradilan Agama Hindu tersebut Fakultas Hukum Agama, Institut Hindu Dharma Denpasar (sekarang UNHI) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Daerah Propinsi Bali mengadakan penelitian-penelitian tentang keberadaan Hukum Hindu di kantong-kantong umat Hindu di seluruh Indonesia. Gubernur Bali ( Drs Dewa Made Berata) pernah pula menyatakan dukungan atas terwudjudnya Perdilan Agama Hindu ini. Namun perjuangan untuk mewujudkan peradilan untuk umat hindu khususnya di Propinsi Bali rupanya masih memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Inilah nasib Hukum Hindu walaupun lahir sebagai saudara tua di negeri ini tetapi ia tersisihkan di rumahnya sendiri.

Mewujudkan Masa Depan Bali Yang Lebih Baik

Oleh karena itu, bila kita ingin mewujudkan masa depam Bali yang lebih baik maka kini orang Bali tidak ada pilihan lain kecuali harus jujur dan berani: Pertama; tanggap dan peduli terhadap meneyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat Bali, ke dua berani dan secara serius memperjuangkan berdirinya Peradilan Agama Hindu (minimal Peradilan Adat) di setiap Kabupaten/Kota untuk memenuhi kebutuhan hukum rakyat Bali, untuk itu perlu digali dan direvitalisasi mutiara-mutiara yang hilang dari nilai-nilai/asas-asas dan norma-norma hukum yang hidup dan senyatanya ada dalam kehidupan masyarakat Bali, karena hal ini akan dapat mengundang kesetian dan kesediaan masyarakat Bali untuk mentaatinya. Ke tiga berani berjuang untuk kesetian kultural, tetapi tidak menghilangkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Ke empat mengangkat dan mentranformasikan nilai-nilai/asas-asas dan norma-norma Hukum Hindu ke dalam norma-norma hukum positif (minimal ke dalam Peraturan Daerah baik pada tingkat Propinsi maupun tingkat Kota/Kabupaten). Ke lima; berani berjuang menegakkan supremasi hukum kapan dan terhadap siapapun tanpa pandang bulu.
Untuk itu pula marilah kita coba menoleh kemasa lalu tentang kehidupan leluhur kita di pulau ini, sejarah mencatat bahwa pulau Bali di masa lalu sangat terkenal akan keamanan dan ketertiban masyarakatnya. Pencuri, perampok, koruptor, pereman, apalagi teroris nyaris tak didengar oleh masyarakatnya. Kenapa? Kondisi tersebut dapat terwujud tidak lain karena orang Bali memiliki kearifan hukum lokal yang mengkristal dari ajaran-ajaran hukum Hindu yang tertuang dalam tatanan nilai/asas dan norma hukum yang hidup dan dipedomani oleh masyaraktnya yaitu masyarakat Desa Pakraman. Desa pakraman ini dibangun berlandaskan nilai-nilai ajaran Agama Hindu. Agama Hindu adalah merupakan payungnya (grundnorm) dari Awig-awig Desa Pakraman dan organisasi sosial lainnya. Dengan landasan ajaran Agama Hindu tersebut maka kehidupan masyarakat Bali sangat luwes, dinamis, tentram, dan tertib.
Kita memang tidak ingin hidup seperti jaman lampau di era global ini, tetapi kerinduan untuk menoleh kearifan budaya leluhur pada masa lampau patut kita bangkitkan disetiap hatinurani orang Bali. Selama upaya tersebut belum dapat kita lakukan maka masa depan Bali yang kita wacanakan hanya sampai sebatas wacana tidak lebih dari itu, dan Ini tentu tidak kita inginkan. Mudah-mudahan Hyang Widhi bersama kita.

Om Sidhirastu tad astu swaha.


Denpasar, 25 Juli 2010
I Putu Gelgel, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Hindu Indonesia Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar