Jumat, 13 Agustus 2010

PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BERKELANJUTAN (SUISTAINABLE TOURISM DEVELOPMENT) *)

PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN BERKELANJUTAN
(SUISTAINABLE TOURISM DEVELOPMENT) *)

Oleh ;
Drs. I Putu Anom, M.Par.
Dekan Fakultas Pariwisata
Universitas Udayana

I. Pendahuluan
Undang - Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, mengamanatkan bahwa tujuan pembangunan pariwisata adalah: i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Undang-Undang R.I. No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan agar sumber daya dan modal kepariwisataan dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan daya tarik wisata dan destinasi di Indonesia serta memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antar bangsa (Depbudpar, 2009).
Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 1974 tentang ‘Pariwisata Budaya” sebagai acuan pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Perda No 3 Tahun 1974 tersebut yang diperbaharui menjadi Perda No 3 tahun 1991 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu. Dengan demikian kegiatan pariwisata diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi dan harmonis dengan kebudayaan setempat dan berakar pada nilai-nilai luhur Agama Hindu.
Pengembangan kepariwisataan di Bali diharapkan tidak menimbulkan kejenuhan wisatawan serta tetap mampu bersaing dengan daerah dan negara tujuan wisata yang lain, untuk itu diusahakan penemuan potensi objek dan daya tarik wisata yang baru dengan harapan mampu menambah diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta diupayakan penciptaan keamanan yang kondusif serta rasa optimis harus tetap dikobarkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, pendapatan negara, daerah, dan masyarakat secara umum, khususnya masyarakat lokal dengan terus mewujudkan pelestarian lingkungan dan revitalisasi sosial budaya masyarakat (Anom, 2005). Demikian pula menurut kajian bahwa mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke-19 adalah pertanian; pada abad ke –20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke -21 adalah pariwisata (Dowid. J. Villiers 1999 dalam Salah wahab, 1999).
Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and Tourism Education (The Case of Indonesia) menyatakan “ Tourism has been one of the biggest industries in the world, seen from various indicators, such as labor absorption, people movement, and income earned. For a number of countries and territories, tourism has been the biggest contributor in the formation of their gross domestics products”.
Pada beberapa negara di dunia, industri pariwisata merupakan salah satu industri besar di dunia karena banyak menyerap tenaga kerja, peningkatan pendapatan bahkan memberikan kontribusi terbesar pada product domestic brutto suatu negara.
Sektor pariwisata merupakan salah satu lokomotif perekonomian Bali dan merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari pajak hotel dan restauran, untuk itu harus terus diupayakan peningkatan sektor pariwisata sesuai dengan potensi daerah bersinergi dengan sektor lain maupun dengan koordinasi yang baik antar kabupaten/kota di Bali serta semua stakeholders pariwisata agar pembangunan kepariwisataan Bali bisa berkelanjutan.

II. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Istilah “Pembangunan Berkelanjutan” sudah begitu “fashionable” dalam beberapa dasa warsa terakhir ini. Istilah pembangunan berkelanjutan sudah menjadi jargon atau slogan yang selalu terucapkan dalam setiap diskusi tentang pembangunan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Namun demikian, ada fenomena bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan menjadi sangat kabur, karena konsep ini mempunyai arti yang sangat luas, dan setiap orang akan memberikan batasan yang berbeda. Akibatnya, konsep pembangunan berkelanjutan tidak dapat dianalisis secara kritis, serta tidak pula dapat dijadikan panduan untuk perencanaan.
Secara umum, konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang ada pada kutub yang berlawanan dengan konsep pembangunan konvensional, karena pembangunan berkelanjutan mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi yang akan datang, pengurangan ketidakadilan, dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. (Dorcey, 1991).
Di dalam laporan World Convention on Environment and Development (WCED, 1977), disebutkan bahwa “Sustainable Development is Development that Meets the Needs of the Present Without Compromising the Ability of the Future Generation to Meet Their Own Needs”.
Batasan singkat dan sederhana ini tampaknya masih sangat abstrak dan terbuka untuk diperdebatkan, karena sangat interpretatif dan belum dapat diimplementasikan secara riil dalam pembangunan. Batasan di atas yang merupakan elaborasi dari konferensi lingkungan dan pembangunan di Rio de Jeneiro 1992 menjelaskan bahwa pembangunan hendaknya jangan sampai melewati apa yang dibutuhkan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Permasalahannya, bagaimanakah kita harus memberikan batasan terhadap kebutuhan “manusia” ?. Manusia mempunyai berbagai kebutuhan, dan kepuasan bagi seorang belum tentu merupakan kepuasan bagi orang lain. Disamping itu dipertanyakan pula, apakah “social equity” menjamin terjadinya sustainabilitas lingkungan ? Lalu, apakah pertumbuhan ekonomi selalu dapat berjalan bergandengan dengan pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan ?
Meskipun batasan singkat abstrak dan interpretatif, namun ada prinsip – prinsip pembangunan berkelanjutan yang dikedepankan oleh WTO (1993 : 10). Yang dapat dijadikan pegangan umum. Disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus menganut tiga prinsip, yaitu : (1) kelangsungan ekologi; (2) kelangsungan sosial budaya dan (3) kelangsungan ekonomi, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Dalam perencanaan termasuk perencanaan pariwisata harus mempertimbangkan struktur masyarakat yang meliputi : struktur sosial seperti tingkat pendidikan masyarakat, budaya masyarakat seperti : agama, adat – istiadat, keadaan ekonomi masyarakat (mata pencaharian, tingkat pendapatan) agar perencanaan tersebut tidak menimbulkan permasalahan kesenjangan sosial, degradasi budaya, ketimpangan pendapatan, pegangguran, sebagai akibat keterpinggiran masyarakat lokal oleh dominasi investor. Demikian pula halnya pemerintah dalam merencanakan perencanaan pariwisata harus mampu mengakomodasikan agar tercipta keharmonisan masyarakat dengan investor dengan tetap memenuhi dan memuaskan kebutuhan wisatawan (Anom 1999 dalam Sukarsa 1999). Hal ini dapat digambarkan dalam model sebagai berikut :











Sebagai contoh dalam pengembangan fasilitas kepariwisataan sering terjadi benturan antara masyarakat local yang religius dengan investor yang menganut “profit motive”, oleh karena itu harus diakomodasikan agar serasi diantara keduanya, sehingga pemerintah sebagai pengambil kebijakan (policy maker) tetap harus berpijak pada aturan yang telah disepakati, jadi perlu “good will” dari pengambil kebijakan. Dalam perencanaan, agar masyarakat tidak hanya dijadikan objek pembangunan tetapi sekaligus sebagai subjek pembangunan, maka perencanaan dan aspirasi dari atas (top down planning) harus dipadukan dengan perencanaan dan aspirasi dari bawah (bottom up planning).

III. Pembahasan
Penelitian Pitana, Anom, Salain, et.al (2000) tentang “Daya Dukung Bali Dalam Kepariwisataan (Kajian Dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya)” menyatakan antara lain: (1) apabila laju pertumbuhan penduduk maupun kehadiran dari migran tidak dapat dikendalikan maka daya tampung terhadap kehadiran wisatawan akan semakin menurun dan pada tahun 2010 Bali tidak lagi menerima kehadiran wisatawan karena telah kritis sumber daya lahan dan air, (2) masyarakat Bali sangat “Welcome” atas kehadiran wisatawan, dan dari segi sosial budaya kehadiran wisatawan masih dapat ditingkatkan jumlahnya sepanjang kehadiran migran luar daerah dapat dikendalikan, khususnya migran yang tidak mempunyai keterampilan, (3) sampai dengan tahun 2005 sarana akomodasi (kamar) yang tersedia untuk kebutuhan wisatawan baik dari kelas melati maupun hotel berbintang lima sudah mencukupi bahkan telah melampaui kebutuhan, yang memungkinkan hanya pondok wisata/ homestay, yang ada dipedesaan yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan. Hal yang perlu diupayakan adalah peningkatan diversifikasi objek dan daya tarik wisata yang lebih banyak menampilkan produk lokal dan kearifan lokal, dengan tetap menjaga konservasi budaya dan lingkungan, (4) Posisi Bali yang sangat strategis dengan dukungan infrastruktur yang memadai pada era mondial mendatang akan berakibat pada perubahan fungsi lahan yang apabila tidak dikendalikan melalui perencanaan yang menyeluruh dan integratif dalam suatu sistem akan bermuara pada berbagai kebijakan yang akan menjadi bumerang bagi tujuan pembangunan Bali dan, (5) Di sisi lain kepentingan dan adanya kewenangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang diartikan secara sempit, diperkirakan akan memperkuat ego sectoral yang semata-mata didasarkan atas pertumbuhan ekonomi (peningkatan PAD), sehingga persaingan yang tumbuh akan semakin menghalalkan segala cara khususnya dalam pemanfaatan sumber daya, khususnya lahan dan air, oleh karenanya didalam perencanaan Bali ke depan sudah sepatutnya memperhatikan lahan dan air yang tersedia untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan memperhatikan aspek kelestarian untuk kesejahteraan bersama.
Penelitian Parining, Dharma putra, Anom et.al (2001) “Studi tentang Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan di Bali”, menyatakan bahwa beberapa pedoman yang bisa dijadikan model dalam pengembangannya ke depan yaitu: (1) skala kecil; (2) kandungan impor rendah; (3) pemberdayaan masyarakat lokal; (4) bisnis yang ramah lingkungan; (5) dasar pengembangan pariwisata ke depan adalah mengutamakan potensi ecotourism yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten, tanpa mengganggu keaslian alam itu sendiri; (6) respon masyarakat lokal sangat “welcome” kepada penduduk pendatang, namun jumlahnya sebaiknya diatur dan tidak terlalu banyak, karena masyarakat lokal sudah merasa terusik dengan meningkatnya kriminalitas dan keamanan desa wisata sudah mulai terganggu; (7) belum adanya pemerataan pengetahuan di kalangan fungsionaris desa mengenai peraturan perundang – undangan tentang kepariwisataan dan peraturan perundang – undangan lainnya yang terkait dengan penerapan asas pelestarian lingkungan; (8) belum adanya pemerataan pengetahuan di kalangan pengusaha pariwisata mengenai keharusan menerima tenaga kerja setempat sesuai Perda Nomor 8 Tahun 1999; (9) belum adanya sangsi yang termuat di dalam kebijakan kepariwisataan bagi pelanggarnya sehingga masyarakat lokal belum terlindungi haknya; (10) perlu sosialisasi mengenai ajaran Agama Hindu yang sesuai dengan ajaran kitab suci Weda, supaya terjadi keseimbangan antara tatwa, etika dan upakara, sehingga tenaga kerja etnis Bali yang beragama Hindu bisa bersaing di tingkat nasional dan internasional; (11) Supaya terjadi pembenahan bagi aturan desa adat yang masih mempunyai aturan “kaku”, sehingga bisa menguntungkan semua warga yang mengempon aturan tersebut dan mendorong warganya untuk berprestasi tanpa ketakutan akan kesepekang oleh desa adatnya sendiri; (12)perlu diadakan penyempurnaan Perda Pariwisata Budaya dengan memuat secara konsisten asas – asas pariwisata kerakyatan yang telah tertuang dalam peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi seperti GBHN 1999, UU No. 9 Tahun 1990, dan PP No.67 Tahun 1996.
Salah satu hasil penelitian di kawasan wisata Nusadua ditemukan bahwa menurut Anom, Hitchcock, and Sunarta (2005) dalam “Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group Study” menemukan :
“as might be expected there were differences of opinion in the role of tourism in their lives, but there was broad. Aggreement around a number of issues, which were largely regarded as positive. First, they were aware of the diversity of economic opportunities provided by tourism, not only through direct employment in the resort in the hotels, but also in a range of related occupations outside or close to the resort such as retail (clothing and souvenir shops), hospitality (locally owned cafés and hotels) and land and street maintenance; second, there was tourism’s general knock on effect in the economy that improved the quality of life through increased educational opportunities and improved living conditions. An important consideration for the predominantly Hindu villagers was the enhanced ability of people in gainful emplopment to contribute to the maintainance and functioning of the temples”.

Pada kenyataannya masyarakat lokal memang mendapat manfaat dari adanya kawasan wisata Nusadua tetapi mereka baru bisa eksis pada bisnis untuk skala menengah kebawah, bekerja sebagai karyawan pada hotel berbintang baru pada level menengah kebawah.















Gambar 1 ; Peta Pulau Bali

Kalau diamati dari Ilmu Hongsui, Pulau Bali bagaikan Ayam Jantan, dimana maknanya karena pengaruh vibrasi pulau ini maka penduduk yang mendiami memiliki sifat berani, perwira atau berani puputan, berjuang habis-habisan untuk tujuan tertentu menuju kebaikan dan kejayaan tetapi perlu diwaspadai agar jangan mengarah ke hal-hal yang arogan sehingga berakibat terjadi kerusakan dan pengerusakan alam, bangunan fasilitas umum maupun bentrokan antar kelompok masyarakat.
Dilihat dari geografisnya, 1) ujung barat Pulau Bali (daerah Gilimanuk) bagaikan mulutnya ayam sehingga pasti terjadi arus bolak balik manusia dan barang sehingga perekonomian disekitarnya cukup baik; 2) daerah sebelah timur Gilimanuk sampai perbatasan Kabupaten Tabanan bagaikan kerongkongan ayam sehingga tanahnya kurang produktif maka perlu upaya pengolahan lahan, budidaya tanaman dan pengolahan pasca panen yang lebih baik sehingga memberikan manfaat kepada masyarakat; 3) daerah Kabupaten Buleleng bagaikan punggung ayam karena batas antara pegunungan/perbukitan dengan laut sangat dekat sehingga sedikit terdapat dataran rendah maka berakibat perekonomian tidak begitu maju, kemungkinan inilah yang menyebabkan kota propinsi Bali yang dahulunya di Singaraja dipindahkan ke daerah Denpasar dan Badung, maka diperlukan upaya membangun Kabupaten Buleleng dengan prioritas utama memperlancar arus lalu lintas dari Gilimanuk melewati Kabupaten Buleleng menuju Bali timur, menggali dan mengembangkan daerah sesuai dengan potensinya sehingga bisa meningkatkan perekonomian Kabupaten Buleleng; 4) daerah bagian tengah Pulau Bali yang membujur dari barat ke timur bagaikan jantungnya ayam sehingga daerah pegunungan ini harus dijaga dengan baik kelestariannya sebagai daerah resapan atau daerah penyangga, sehingga tidak menimbulkan bencana alam banjir pada musim hujan atau kekeringan pada musim kemarau.; 5) daerah bagian timur Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung bagian tengah, Kota Denpasar maupun daerah bagian barat Kabupaten Gianyar merupakan paha ayam sehingga daerah ini daerah yang subur sehingga perekonomiannya sangat maju maka kota provinsi sudah tepat berada di kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat perdagangan barang dan jasa tetapi perlu dikelola secara baik agar jangan terjadi over kepadatan penduduk sehingga menimbulkan kesemerawutan Tata Ruang Wilayah maupun rentan kriminalitas; 6) daerah disekitar pelabuhan Benoa, Airport Ngurah Rai, Kuta, Sanur merupakan tempatnya “taji ▬▬►“ ayam sehingga daerah ini sering bergejolak maka perlu pengamanan yang ekstra intensif; 7) daerah sekitar Bukit Jimbaran maupun Nusa Dua merupakan daerah cakar ayam yang kalau tidak dikelola secara baik akan rentan terjadi cakar-cakaran atau bentrokan seperti kasus sengketa tanah dll, demikian pula akan terjadi gap/ketimpangan yang semakin lebar kemampuan ekonomi antar golongan masyarakat kelas atas dengan kelas bawah; 8) daerah bagian timur Pulau Bali merupakan daerah buntutnya ayam sehingga daerahnya kurang subur sehingga diperlukan berbagai upaya terobosan untuk memanfaatkan lahan tidur maupun lahan yang kurang produktif untuk bisa dibudidayakan lebih produktif sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian beberapa gambaran untuk bisa sebagai pedoman dalam merencanakan, mengkoordinasikan, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan Bali yang dikelola dengan konsep “one island management” sehingga terwujudlah pembangunan Bali yang berkelanjutan baik fisik, ekonomi maupun sosial budaya.
Bersama ini diilustrasikan bagaimana cita-cita luhur untuk membangun Bali sesuai dengan syair lagu “Bali Sapta Pesona” sebagai berikut ;














Gambar 2; Pura Besakih

BALI SAPTA PESONA
Ciptaan / Vokalis; I Putu Anom

Betapa Tenteramnya Hidup Ini
Di-Alam Pulau Dewata
Bila Ku-Duduk di-Bawah Pohon Cemara
Ku-Pandang Indahnya Gunung Agung

Gunung Agung Yang Menjulang Tinggi
Di-Atas Teluk Padang Bay
Di-Lerengmu Pura Besakih
Itulah Pura-ku Mempesona

Reff;
Ku-Rindu Ingin Bangun
Pulau-ku Yang Tercinta
Indah, Kaya-Raya

Ku-Rindu Ingin Bangun
Bali-ku Yang Tercinta
Sejuk, Aman, Tenteram

Ku-Rindu Ingin Bangun
Rakyat-ku Yang Tercinta
Sopan, Ramah-Tamah


Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang baik harus memiliki 4 (empat) hal :
1. Attraction, merupakan daya tarik wisata baik berupa alam, budaya maupun kombinasi alam dan budaya dan lain-lain mutlak diperlukan agar bisa menjadi daya tarik wisatawan, apalagi daya tarik tersebut memiliki potensi : something to see, something to do dan something to buy.
Permasalahan yang terjadi di Bali, dimana paket wisata dominan yang ditawarkan biro perjalanan masih terfokus pada kawasan Bali Tengah, Selatan dan Timur (Kintamani Tour, Bedugul Tour dan Besakih Tour). Masih perlu dipersiapkan untuk mengembangkan daya tarik wisata yang merata di daerah Bali dengan kekhasan yang berbeda sehingga wisatawan bisa lebih lama tinggal di Bali dan memberikan pemerataan pada pemerintah dan masyarakat di seluruh kabupaten/kota di Bali. Memang ada daya tarik kemasan yang baru tetapi hal itu hanya meniru potensi daerah lain seperti ; wisata gajah, wisata naik onta di tepi pantai Nusa Dua, patung Asmat dan lain-lain yang bukan merupakan potensi asli daerah Bali, diperkirakan ke depan wisatawan akan mengunjungi potensi tersebut dihabitatnya.
2. Accesibilities (kemudahan pencapaian), merupakan prasarana dan sarana (darat, laut dan udara) yang diperlukan untuk mencapai daerah tujuan wisata. Kondisi yang dihadapi Bali saat ini dimana aktifitas kepariwisataan lebih banyak terfokus di wilayah Bali Selatan dan Tengah sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas yang perlu cepat mendapat penanganan.
3. Amenities, merupakan fasilitas pariwisata dan penunjang pariwisata terutama akomodasi dan restoran. Kondisi di Bali saat ini Amenities lebih banyak terfokus di wilayah Bali Selatan walaupun Provinsi Bali telah menetapkan 15 (lima belas) kawasan wisata di Bali. Kedepan perlu dikembangkan kawasan wisata yang belum berkembang seperti di Bali Barat, Bali Utara namun model pengembangannya tidak seperti kawasan wisata Bali Selatan.
4. Ancillaries, merupakan organisasi-organisasi asosiasi kepariwisataan seperti ; Bali Tourism Board (BTB) yang menghimpun organisasi kepariwisataan yang lain seperti ; PHRI, ASITA, HPI, PAWIBA, GAHAWISRI, dll. Namun kondisi di Bali saat ini asosiasi tersebut belum berperan secara optimal, sebagai contoh pemberian ijin akomodasi, restoran yang baru termasuk penambahan jumlah kamar hanya dari pemerintah tanpa mendapat rekomendasi dari PHRI sehingga kelebihan jumlah kamar sering menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Demikian pula halnya ijin baru biro perjalanan tidak mendapat rekomendasi dari ASITA, ijin baru pramuwisata tidak mendapat rekomendasi dari HPI, ijin baru angkutan wisata tidak mendapat rekomendasi dari PAWIBA, sehingga sering menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

IV. Simpulan
1. Pembangunan berkelanjutan termasuk pembangunan kepariwisataan pada prinsipnya; kelangsungan ekologi, kelangsungan sosial budaya dan kelangsungan ekonomi, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
2. Untuk mewujudkan kepariwisataan berkelanjutan harus mensinergikan unsur-unsur komponen pariwisata sebagai berikut :
Unsur Fragmentasi :
• Pemerintah
• Pengusaha Pariwisata  Asosiasi Pariwisata
Unsur Konfrontasi :
• Akademisi
• Jurnalis
• Masyarakat Lokal
3. Goals of Tourism
• Carrying Capacity
ESA (Ecological System Analysis)
EVA (Economics Value Added)
• Empowerment Tourism Development
• Community Based Tourism Development
4. Ciri-Ciri Masyarakat Pariwisata :
• Sopan Santun
• Ramah Tamah
• Attentive/Penuh Perhatian/Sikap Tolong Menolong
• Cinta Damai (tidak ekstrem)
• Komunikatif
• Gotong Royong
• Menghargai tradisi sendiri maupun tradisi luar Bali dan Luar Negeri.
• Dapat menjaga keamanan lingkungan masyarakat.
5. Pulau Bali harus dikelola dengan konsep ”one island management” dengan penyusunan serta implementasi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) maupun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sehingga pembangunan bisa berkelanjutan termasuk pembangunan kepariwisataan.
6. Peran asosiasi kepariwisataan perlu dioptimalkan berkoordinasi dengan pemerintah daerah sehingga dapat mengurangi persaingan usaha yang tidak sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Anom, I Putu, 1999, Pemberdayaan The Input of Tourism Resources yang Berdimensi Kerakyatan Menuju Pariwisata Berkelanjutan, Analisis Pariwisata Vol 2 No. 2, PS. Pariwisata Unud, Denpasar.
----------., 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.
Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.
Anonimus, Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.
…………, Undang-undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.
, Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 1991 Tentang Pariwisata Budaya.
Ardika, I Gde. 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.
Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.
France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited.
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.
Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.
OECD, (1998), New Trends in Rural Policy Making.
Parining, Nyoman; Dharma Putra KG, Anom I Putu, Pitana I Gde, Pasek Diantha I Made., 2001, Studi Tentang Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan, Unud – Bappeda Propinsi Bali, Denpasar.
Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York.
Pitana I Gede, Rumawan Salain Putu, Anom I Putu, Sudarma I Made, Sandi Adnyana I Wayan, Suyarto, Sardani Ni Wayan, Oka Suardi Dewa Putu. 2000, Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud – Bappeda Propinsi Bali, Denpasar.
Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”, Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.
Sukarsa I Made. 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Wahab Salah, 1999, Manajemen Kepariwisataan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar